Tatkala saya baru keluar dari penjara Sukamiskin, maka saya menyanggupi kepada kaum Marhaen Indonesia akan berusaha sekuatkuatnya untuk mendatangkan persatuan antara Partai Indonesia dan Pendidikan Nasional Indonesia. Saya mempunyai cita-cita yang demikian itu karena keyakinan, bahwa di dalam zaman sekarang ini, di mana malaise makin haibat, di mana kesengsaraan Marhaen makin meluas dan mendalam, di mana musuh makin mengamuk elan merajalela, di mana udara makin penuh dengan getarannya kejadian-kejadian yang telah datang dan yang akan datang, yang paling perlu untuk keselamatan Marhaen ialah persatuannya barisan Marhaen, agar supaya tidak hancur tergilas oleh roda zaman yang baginya pada waktu ini ada begitu kejam, – lebih kejam lagi daripada yang sudah-sudah. Dan sayapun mempunyai cita-cita yang demildan itu karena saya yakin, bahwa di dalam hakekatnya P.I. dan P.N.I. adalah mempunyai satu belangen-basis dan tiada perbedaan azas yang dalam. Saya tidak mungkin mempunyai cita-tcita yang demikian itu, kalau saya melihat, bahwa P.I. dan P.N.I. mempunyai perbedaan-belangen-basis dan perbedaan-azas yang besar. Juga sampai pada saat saya menulis maklumat ini, saya tetap mempunyai keyakinan itu.
Pendapat setengah orang, bahwa perselisihan antara P.I. dan P.N.I. boleh dibandingkan dengan pertengkaran antara kaum sosial-demokrat dan komunis, bahwa dus P.I. dan P.N.I. harus selamanya menjadi seteru bebuyutan satu sama lain -, pendapat yang demikian itu tak dapat saya sebutkan benar. Saya sendiri seorang nasionalis yang terlalu memakan garam Marxisme untuk tidak mengetahui perbedaan antara sosial-demokrasi dan komunisme, dan untuk tidak mengetahui bahwa perbedaan antara sosial-demokrasi dan komunisme itu tidak sesuai dengan “perbedaan” antara Partai Indonesia dengan Pendidikan Nasional Indonesia. Saya yang enam bulan lamanya dengan secara netral bisa mengawaskan perselisihan ini dengan tenang, saya tetap berkeyakinan, bahwa terutama sekali salah-faham dan salah-penghargaan-persoonlah yang menjadi pokok sebabnya kepanasan hati antara beberapa anggauta dari kedua fihak. Saya tak menyangkal, bahwa ada perbedaan-perbedaan yang kecil tentang azas dan taktik, tetapi perbedaan-perbedaan itu tidaklah begitu besar atau fundamentil untuk menjadi sebab berpisahan satu sama lain.
Saya malahan berkata, bahwa di dalam tiap-tiap partai adalah perbedaan-perbedaan yang kecil itu antara golongan-golongan di dalam partai itu, – bahwa di dalam tiap-tiap partai satu fihak adalah sedikit lebih “sengit” dan satu fihak sedikit lebih “tenang”.
Saya, oleh karena hal-hal itu semua, tak jemu-jemu menganjurkan persatuan, tak jemu-jemu mendinginkan segala rasa kepanasan hati, tak jemu-jemu mencoba menghilangkan segala kesalahan faham.
Saya sebagai salah satu pemimpin kaum Marhaen merasa wajib mengikhtiarkan persatuan itu, wajib berusaha memulihkan lagi organisasi kaum Marhaen itu, wajib mencoba apa yang boleh dicoba, – dengan menyerahkan hatsil atau tidaknya ke dalam tangan Allah. Saya sering melihat orang bersenyum sambil berkata, bahwa semua orang tentu senang akan “persatuan”, tetapi saya tanya: Siapakah dari orang-orang itu yang mengikhtiarkan persatuan itu?
Saya tidak mau seperti banyak orang hanya memuji persatuan sahaja, – saya mengikhtiarkan persatuan itu. Sejarah nasional nanti tak dapat mempersalahkan saya, bahwa saya tidak menjalankan saya punya kewajiban.
Enam bulan lebih saya bekerja buat persatuan itu. Enam bulan lebih saya sengaja tak duduk dalam salah satu partai, tak lain tak bukan hanya supaya usaha-persatuan lebih gampang bisa berhatsil. Enam bulan lebih saya tak ikut memegang commando perjoangan Marhaen. Enam bulan lebih saya kadang-kadang mendapat sindir-sindiran dari orang-orang yang tak mempunyai verantwoordelijkheids-gevoel, yang mengeluarkan suara hanya untuk mengeluarkan suara. Enam bulan lebih saya mengejar saya punya cita-cita. Cita-cita saya itu, yakni satu barisan Marhaen yang radikal dan Marhaenistis, kini belum laksana, tetapi kepanasan hati antara sebagian persoon dengan persoon sudah banyak menjadi lenyap, kesalahan faham yang kadang-kadang mengenai barang yang tidak-tidak banyak menjadi kurang, kecurigaan antara beberapa anggauta kedua fihak yang kadang-kadang seolah-olah penyakit, banyak menjadi padam. Di Bandung mitsalnya, P.I. dan P.N.I. duduk di dalam satu clubhuis; buat hatsil ini sahaja saya sudah mengucap syukur!
Kini sudah temponya saya kembali ikut memegang commando perjoangan Marhaen. Kini sudah temponya saya kembali ikut menyusun kekuasaan Marhaen, machtsvorming Marhaen. Politik buat saya bukanlah pertama-tama menciptakan suatu idee, – politik buat saya ialah menyusun suatu kekuasaan yang terpikul oleh idee. Hanya machtsvorming yang terpikul oleh idee itulah yang bisa mengalahkan segala musuh kaum Marhaen. Jawaharlal Nehru, itu pemimpin rakyat India, pernah berkata:
“Dan jikalau kita bergerak, maka haruslah kita selamanya ingat, bahwa cita-cita kita tak dapat terkabul, selama kita belum mempunyai kekuasaan yang perlu untuk mendesakkan terkabulnya cita-cita itu. Sebab kita berhadap-hadapan dengan musuh, yang tak sudi menuruti tuntutan-tuntutan kita, walaupun yang sekecil-kecilnya. Tiap-tiap kemenangan kita, dari yang besar-besar sampai yang kecil-kecil, adalah hatsilnya desakan dengan kita punya tenaga. Oleh karena itu, “teori” dan “prinsip” sahaja buat saya belum cukup. Tiap-tiap orang bisa menutup dirinya di dalam kamar, dan menggerutu “ini tidak menurut teori”, “itu tidak menurut prinsip”. Saya tidak banyak menghargakan orang yang demikian itu. Tetapi yang paling sukar ialah, di muka musuh yang kuat dan membuta-tuli ini, menyusun suatu macht yang terpikul oleh suatu prinsip. Keprinsipiilan dan keradikalan zonder machtsvorming yang bisa menundukkan musuh di dalam perjoangan yang haibat, bolehlah kita buang ke dalam sungai Gangga. Keprinsipiilan dan keradikalan yang menjelmakan kekuasaan, itulah kemauan Ibu!”
Perkataan Jawaharlal Nehru ini saya ambil sebagai perkataan saya sendiri. Juga kita kaum Marhaen Indonesia tak cukup dengan menggerutu sahaja. Juga kita harus menjelmakan azas atau prinsip kita ke dalam suatu machtsvorming yang maha-kuasa. Juga kita haruslah insyaf seinsyaf-insyafnya, bahwa imperialisme tak dapat dialahkan dengan azas atau prinsip sahaja, melainkan dengan machtsvorming yang terpikul oleh azas atau prinsip atau idee itu!
Kini orang banyak yang memanggil saya kembali ke “practische politiek”. Juga zonder panggilan itu saya niscaya kembali kepractische politiek, karena memang kewajibanku ikut berjoang di atas practische politiek. Ya, sebenarnya hari keluar saya dari penjara Sukamiskin saya sudah kembali kepractische politiek, yakni mulai mengusahakan persatuan Marhaen.
Tetapi lebih tegas lagi: kini saya masuk salah suatu partai. Kini saya masuk Partai Indonesia. Kini orang “bisa melihat, di mana Bung Karno duduk”. Di dalam kongres Pendidikan Nasional Indonesia yang baru lalu saya bersumpah, bahwa saya selamanya akan mengabdi kepada Marhaen. Baik di dalam Partai Indonesia maupun Pendidikan Nasional Indonesia saya bisa mengabdi kepada Marhaen itu.
Memang P.I. dan P.N.I. adalah dua-duanya organisasi Marhaen. Memang P.I. dan P.N.I. adalah dua-duanya membela kepentingan Marhaen. Memang juga bukan tanda penyangkalan kemarhaenan P.N.I. kalau saya masuk Partai Indonesia. Saya masuk Partai Indonesia oleh karena Hak saya sendiri, menentukan sendiri bagaimana seyogianya saya memenuhi sumpah saya tahadi itu!
Kaum Marhaen Indonesia, masih tetap keinginan saya melihat satu barisan Marhaen yang radikal dan Marhaenistis, – satu barisan yang niscaya membesarkan kita punya Kekuasaan. Marilah kita senantiasa membesar besarkan machtsvorming kita itu. Marilah kita berjoang dengan berdiri tegak serapat-rapatnya, rapat di dalam perjoangan biasa, lebih rapat di dalam masa musuh mengamuk dan merajalela. Marilah kita memeras tenaga menjalankan suruhan riwayat, – suruhan riwayat yang hanya kaum Marhaen sendiri bisa melaksanakannya, yakni mendatangkan suatu masyarakat yang adil dan sempurna!
Adil dan sempurna buat negeri Indonesia!
Adil dan sempurna buat bangsa Indonesia!
Adil dan sempurna buat Marhaen Indonesia!