DBR Jilid I, BAB XVII : Swadeshi dan Massa Aksi di Indonesia



SWADESHI DAN IMPERIALISME

Tatkala saya diundang oleh kaum studen di Jakarta untuk membikin pidato tentang perlu dan faedahnya pergerakan Rakyat Indonesia diberi alas-alas teori, maka di dalam pidato itu saya telah membicarakan suatu contoh: – swadeshi. Dan saya mengupas soal swadeshi itu ialah oleh karena soal itu sekarang paling ramai dibicarakan orang, dilihat dari kanan dan kiri, dicium-cium, dikutuki, dimaki-maki, dikeramatkan, dipersyaitankan, – tetapi sepanjang pengetahuan saya sampai sekarang belum adalah satu analisa atau pengupasan soal itu yang agak dalam dan mengenai pokok, sehingga banyak sekali orang bangsa Indonesia yang hanya membeokan sahaja ucapan-ucapan pemimpin-pemimpin di negeri lain. Ada yang dengan gampang sahaja meniru semboyan Mahatma Gandhi: “dengan swadeshi merebut swaraj”; ada yang juga dengan gampang sahaja mempersyaitankannya; ada pula yang tiada pendirian sama-sekali dan lantas menjadi bingung; tetapi belum ada yang mencoba dengan saksama membikin suatu penyelidikan tentang hal ini yang ber­sendi kepada analisa dialektik. Oleh karena itu maka soal ini adalah soal yang paling baik untuk dipakai sebagai contoh di dalam rapatnya kaum studen itu, di mana saya meyakinkan kandidat-kandidat pemimpin itu tentang perlu dan faedahnya “theoretische basis” bagi tiap-tiap per­gerakan rakyat. Oleh karena itu pula maka “Suluh Indonesia Muda” dengan segera membicarakan fatsal ini!

Swadeshi di tepi-tepinya sungai Indus dan Gangga, dan swadeshi di nusantara Indonesia, – adakah dua swadeshi itu sama harganya, sama kuatnya, sama tajamnya, sama shaktinya? Jikalau kita ingin menjawab pertanyaan ini, maka kita haruslah lebih dulu membikin suatu analisa tentang sifat dan hakekatnya modern-imperialisme di dua negeri itu. Sebab siapa yang ingin menaker dan mengukur kekuatannya per­gerakan swadeshi di India dan Indonesia itu zonder penglihatan yang jernih tentang sifat-hakekatnya modern-imperialisme itu; siapa yang ingin menyelidiki boleh atau tidaknya semboyan “dengan swadeshi mengejar kemerdekaan” dipakai di Indonesia sini, zonder menganalisa modern-imperialisme itu; pendek-kata siapa yang mau memisahkan soal swadeshi itu daripada soal modern-imperialisme, – ia boleh mempunyai akal yang pintar bagaimana juga dan fikiran yang tajam bagaimana juga, tetapi ia tak akan bisa menemukan kuncinya “teka-teki” itu adanya! Pergerakan swadeshi di India hanyalah bisa kita mengertikan dengan sejelas-jelasnya dan sedalam-dalamnya, jikalau kita mengerti pula dengan sejelas-jelasnya dan sedalam-dalamnya modern-imperial­isme Inggeris yang merajalela di India itu, – mengerti asal-asalnya, mengerti azas-azasnya, mengerti riwayatnya, mengerti sepak-terjangnya, mengerti hakekatnya dengan terang dan jernih. Begitu pula maka kita, jikalau kita ingin menaker pergerakan swadeshi itu bagi Indonesia, haruslah pula mengerti asal-asalnya, azas-azasnya, riwayatnya, sepak­terjangnya, hakekatnya modern-imperialisme di sini.

IMPERIALISME

Apakah imperialisme itu? Imperialisme adalah suatu nafsu, suatu politik, suatu stelsel menguasai atau mempengaruhi ekonomi bangsa lain atau negeri bangsa lain, suatu stelsel overheersen atau beheersen ekonomi atau negeri bangsa lain. Ia adalah suatu verschijnsel, suatu “kejadian” di dalam pergaulan hidup, yang menurut faham kita timbulnya ialah karena keharusan-keharusan atau noodwendigheden di dalam geraknya ekonomi sesuatu negeri atau sesuatu bangsa. Ia terutama sekali adalah wujudnya politik-luar-negeri daripada negeri-negeri Barat di dalam abad kesem­bilanbelas dan keduapuluh. Ialah yang menjadi sebabnya hampir semua Rakyat-rakyat Asia dan Afrika kini terkungkung.

Soal modern-imperialisme sudah banyak sekali yang menyelidiki.

Baik kaum imperialisme sendiri, maupun kaum yang memusuhi imperialisme itu; baik kaum ekonomi-liberal, maupun kaum ekonomi-Marxis, – semua­nya sudah banyak yang memberi “urunan” kepada wetenschap yang menganalisa soal modern-imperialisme itu, semuanya sudah mengemukakan teorinya masing-masing. Terutama kaum Marxislah yang banyak urunan­nya. Mereka sudahlah mengodal-adil teori kaum “liberale-economie” yang menggambarkan imperialisme itu sebagai usahanya kaum kulit putih untuk menggali kekayaan-kekayaan yang belum tergali, bagi keperluannya seluruh dunia-manusia; mereka mengodal-adil pula teori kaum itu, yang dengan menunjuk kepada majunya benua Amerika sesudah dikolonikan oleh Inggeris, mengatakan bahwa dus kolonisasi ada suatu rakhmat; mereka,

1) P a r v u s, Kolonialpolitik und Zusammenbruch.

2) K a u t s k y, Sozialismus und Koionialpolitik.

mengodal-adil pula bohongnya teori kaum itu, bahwa imperialisme itu adalah kerja meninggikan produktivitetnya bangsa kulit berwarna. Mereka membuktikan, bahwa semua imperialisme adalah berazaskan urusan rezeki-sendiri, urusan rezeki-sendiri yang berupa mengambil bekal­-bekal hidup atau levensmiddelen, urusan rezeki-sendiri yang mencari pasar-pasar-penjualan barang-barang alias afzetgebieden, urusan rezeki-sendiri mencari padang-padang pengambilan bekal-industri alias grondstofgebieden, urusan rezeki-sendiri yang mencari tempat-tempat menggerakkan kapital-kelebihan alias exploitatie-gebieden daripada sur­plus-kapitaal. Di dalam saya punya buku-pleidooi adalah saya kemukakan pendapatnya beberapa penulis tentang imperialisme itu, – pendapatnya Brailsford, Trulstra, Dr. Bartstra, Otto Bauer, dan lain-lain. Untuk ring­kasnya artikel ini maka saya persilahkan pembaca membaca sendiri di dalam buku-pleidooi itu.

Tetapi adalah perlu juga agaknya saya ceritakan di sini bahwa di antara Marxistische theoretici daripada modern-imperialisme itu, adalah d u a aliran yang berselisihan satu sama lain. Satu aliran berkata, bahwa modern-imperialisme itu adalah suatu keharusan-ekonomi atau “economische noodzakelijkheid” bagi sesuatu negeri yang sudah “overrijp” kapitalismenya, yakni yang kapitalismenya sudah begitu “matang”, sehingga bedrijfs – dan bank-concentratie-nya sudah Maximum-doorgevuld, – dan satu aliran berkata, bahwa modern-imperialisme itu bukanlah suatu economische noodzakelijkheid bagi kapitalismenya sesuatu negeri, walaupun kapital­ismenya sudah “overrijp”. Artinya: satu aliran berkata, bahwa overrijp kapitalisme di dalam sesuatu negeri itu akan mati atau “stikken” jikalau tidak menjalankan imperialisme, – satu aliran yang lain berkata, bahwa walaupun kapitalisme di dalam sesuatu negeri sudah overrijp, ia zonder imperialisme tokh tidak akan mati. Apakah uitgangspunt-nya aliran yang pertama, mempunyai standpunt bahwa imperialisme adalah suatu economische noodwendigheid bagi hidup-terusnya kapitalisme? Uitgangs­punt-nya ialah, bahwa kapitalisme itu akan “opheffen” diri sendiri, memberhentikan diri sendiri, “menggali liang kubur sendiri”. Tentang hal ini, maka Karl Kautsky menulis: “Naast de periodieke crisissen … ontwikkelt zich steeds sterker de blijvende (chronische) overproductie en de blijvende krachtsverspilling.

Reeds sinds enige tijd vindt de uitbreiding van de markt veel te langzaam plaats; deze vindt steeds meer hindernis, het wordt aldoor onmogelijker, haar productiekrachten ten yolk te ontplooien.

De tijden van opbloei worden steeds korter, de tijden van crisis steeds langer. Daardoor groeit de massa der productiemiddelen die niet voldoende of in het geheel niet gebruikt worden, de massa der rijkdommen die nutteloos verloren gaan, de massa’ arbeidskrachten die braak moeten liggen.

De kapitalistische maatschappij begint in haar eigen overvloed te stikken; ze is steeds minder in staat, de voile ontplooiing van de produc­tiekrachten die ze schiep, te verdragen. Steeds meer productiekrachten moeten braak liggen, steeds meer producten nutteloos ongebruikt liggen, zal zij niet in de war raken.

Zo verandert het privaatbezit van produc­tiemiddelen niet slechts voor de kleinproducenten, maar voor de gehele maatschappij zijn oorspronkelijk wezen in het tegendeel daarvan. Uit een drijfkracht der maatschappelijke ontwikkeling wordt het tot een oorzaak van maatschappelijke stagnatie en ontaarding, – van maatschap­pelijk bankroet.”

Van maatschappelijk bankroet, dan untuk menghindarkan atau setidak-tidaknya menjauhkan datangnya maatschappelijk bankroet yang karena tidak setimbangnya produksi dan afzet itu, maka menurut Kautsky kapitalisme harus menjalankan politik mengulur nyawa: ia mengadakan monopoli-monopoli, ia mengadakan beaya-beaya-proteksi yang setinggi-tinggi, ia mencari “pekerjaan” di dalam pembikinan senjata­-senjata perang darat dan armada laut, dan terutama sekali: ia menjalankan imperialisme.

“Om de noodwendigheid te ontgaan, vermeerderde consumptie-middelen voor de arbeiders van het eigen land te moeten produceren, produceert het kapitalisme in stijgende mate vernietigings-, communicatie- en pro­ductiemiddelen voor het buitenland, d.w.z. voornamelijk voor de economische achterlijke, agrarische landen.”

Jadi: Kautsky memandang imperialisme itu sebagai satu keharusan, satu kemestian, satu okonomische Notwendigkeit; satu syarat-untuk-hidup­ terus bagi kapitalisme yang sudah matang. Zonder imperialisme, zonder melancarkan tangan keluar pagar, zonder buitenlands afzetgebied, maka menurut pendapatnya, niscayalah kapitalisme lantas “mati tertutup napasnya”, niscayalah kapitalisme lantas “verstikken”. Untuk menghindarkan verstikking inilah maka ia economisch noodwendig harus menjalankan imperialisme!

Dan Kautsky tidak berdiri sendiri! Dua kampiun-teori lagi menunjukkan economische noodwendigheid-nya imperialisme bagi kapitalisme yang sudah matang: Rudolf Hilferding dan Rosa Luxemburg, walaupun yang pertama mempunyai analisa sendiri, dan yang kedua juga mempunyai analisa sendiri. Apakah yang Hilferding katakan? Hilferding mengata­kan, bahwa di dalam sesuatu negeri yang kapitalismenya sudah matang, banyak sekali harta yang tertimbun-timbun di dalam bank-bank dan yang tidak bisa mendapatkan tempat-kerja di dalam negeri itu sendiri. Kapital menganggur ini, kapital-kelebihan ini, surplus-kapitaal ini, makin lama makin bertambah sahaja, makin lama makin bertimbun sahaja, makin lama makin accumuleren sahaja dan ia tidak boleh tidak harus dicarikan padang-kerja di luar-negeri, kalau kapitalisme itu tidak ingin mati karena verstikking.

“De verbinding der banken met de industrie heeft tot gevolg dat deze aan de levering van het geldkapitaal de voorwaarde vastknoopt, dat dit geldkapitaal zal dienen om haar (nl. die industrie) werk te verschaffen. Dit doel is te bereiken door dit kapitaal te doen dienen om in andere, in ontwikkeling nog achterlijkelanden, grondstoffen te produceren, die dan naar het industrieland worden geexporteerd.

In dat vreemde land veroor­zaakt dit kapitaal dan een snelle economische ontbinding van de op de oude productenhuishouding berustende verhouding; de uitbreiding van de productie voor de markt, en daarmede de vermeerdering van die pro­ducten die uitgevoerd worden en daardoor weer kunnen om de rente op te brengen van nieuw ingevoerd kapitaal. Betekende het ontsluiten van kolonien en nieuwe markten vroeger voor alles de verkrijging van nieuwe verbruiksartikelen, thans werpt zich het nieuw belegde kapitaal hoofdza­kelijk op bedrijfstakken, die grondstof voor de industrie leveren.”

Dengan lain perkataan, menurut Rudolf Hilferding imperialisme adalah juga suatu buntut yang mesti, suatu keharusan, suatu economische noodwendigheid. Economisch noodwendig, karena harta yang tertimbun-­timbun di dalam bank-bank itu sudahlah menjadi “Finanzkapital”, yakni kapital yang bukan lagi hanya di-“rente”-kan dengan cara hutang-piutang, melainkan ialah kapital yang ikut campur tangan di dalam industri – suatu kapital yang memasuki industri itu, mengawasi industri itu, memimpin industri itu, pendek-kata: mendireksi industri itu.

Rudolf Hilferding menggambarkan imperialisme itu sebagai ismenya Finanzkapital yang mencari belegging,- Kautsky menggambarkan imperialisme itu sebagai ismenya Industrie-kapitaal yang mencari afzet. Tetapi baik Hilferding maupun Kautsky berkeyakinan bahwa isme itu adalah ismenya economische noodswendigheid!

Dan Rosa Luxemburg? Rosa Luxemburg juga berpendapat, bahwa imperialisme bagi kapitalisme yang sudah matang adalah suatu syarat untuk hidup-terus, yang tidak-boleh-tidak harus dipenuhi.

Cara mengupasnya yang berbeda, analisanya yang berbeda.

Rosa Luxemburg menunjukkan, bahwa di dalam sesuatu negeri ada perusahaan­-perusahaan yang hanya membikin alat-alat-produksi alias productie-mid­delen, dan ada perusahaan-perusahaan yang hanya membikin barang kebutuhan manusia sehari-hari alias verbruiks-artikelen. Welnu, di dalam negeri itu productie-middelen-industrie membikin productie-middelen bagi verbruiks-artikelen-industrie, dan verbruiks-artikelen-industrie membikin verbruiks-artikelen bagi productie-middelen-industrie, – antara dua itu adalah “pekerjaan bersama”, antara dua itu ada tukar-menukar, antara dua itu ada uitwisseling van productie, – tetapi karena anarkhinya produksi, lama-kelamaan uitwisseling ini tidak bisa “cocok” lagi atau evenwichtig, dan akhirnya banyak sekalilah verbruiks-artikelen yang tak bisa diambil oleh productie-middelen-industrie itu adanya. Artinya: di ­dalam negeri sendiri produksi-kelebihan alias overproductie itu tidak bisa lagi terjual, overproductie itu tidak bisa lagi mendapat afzet, over­productie itu tidak bisa lagi “terhisap”, – dan imperialismelah jang harus menyambung nyawa!” Imperialismelah yang tentu menjadi buntut, im­perialisme, yang menurut teori ini dus ada juga keharusan-ekonomi bagi hidup-terusnya kapitalisme.

Dr. Anton Pannekoek melawan teori ini. Ia melawan teori, bahwa kapitalisme zonder imperialisme tidak bisa hidup-terus. Ia melawan Luxemburg, yang mengatakan bahwa productie uitwisseling itu selamanya harus menjadi tidak cocok. Ia menunjukkan, bahwa:

“de vraag is hier niet, of het doot practische toevalligheden soms niet sluit, maar of het theoretisch-noodzakelijk niet sluiten kan .”

Bagi Anton Pannekoek modern-imperialisme adalah juga suatu “keharusan” tetapi bukan keharusan sistim produksi, bukan keharusan ekonomi, bukan economische noodzakelijkheid. Baginja, kapitalisme itu tidak harus berimperialisme supaya jangan mati verstikking, – baginya imperialisme itu adalah kemauannya kapitalis guna mendapat untung yang lebih tinggi. Dan hanya karena kapitalis itu di dalam suatu masyarakat kapitalistis mempunyai pengaruh, mempunyai kekuasaan, mempunyai macht, hanya karena itulah maka kemauannya itu niscaya terlaksana, – imperialisme niscaya terjadi. Hanya karena itulah imperialisme meru­pakan suatu “keharusan” di dalam suatu dunia yang kapitalistis. Hanya karena itulah Pannekoek mengakui noodwendigheid-nya imperialisme. Kautsky berkata: “imperialisme adalah economisch noodzakelijk, dus kaum imperialistische politici lah yang menggenggam kekuasaan”, tetapi Anton Pannekoek membantah: “kaum imperialis yang mempunyai kekuasaan, dus imperialisme itu menjadi noodzakelijk!” Dua faham keharusan yang berlainan sama-sekali satu sama lain, dua faham nood­zakelijkheid yang bertentangan satu sama lain! Yang satu suatu noodzakelijkheid yang karena kekuasaannya objectieve feiten, – yang satu lagi suatu noodzakelijkheid yang karena subjectief willen. Yang satu karena “isme”, – yang satu lagi karena “isten””.

Juga Dr. Otto Bauer berpendapat begitu. Juga dia berpendapat bahwa kapitalisme, karena senantiasa tambahnya penduduk di sesuatu ne­geri, tidak usah mati zonder imperialisme. Juga dia berkata, bahwa imperialisme itu hanyalah terjadi karena nafsu angkara-murka daripada klasse kapitalisten, yang haus kepada untung yang lebih tinggi. Rubuhnya kapitalisme bukanlah karena ia mati-tertutup-napas, rubuhnya kapitalisme menurut Bauer ialah karena kekuasaan kaum kapitalis dialahkan oleh kekuasaan kaum proletar.

“Niet aan de mechanische onmogelijkheid, de meerwaarde te realiseren, zal het kapitalisme te gronde gaan. Het zal te gronde gaan door het verzet, waartoe het de volksmassa’s drijft”, begitulah ia menulis dalam surat-mingguan “Die Neue Zeit”.

Imperialisme suatu economische noodzakelijkheid, dan imperialisme bukan suatu economische noodzakelijkheid! Buat apa teori-teori itu saya gambarkan di sini? Tak lain tak bukan, hanyalah untuk memberi inzicht kepada pembaca-pembaca yang kurang faham, bahwa modern-imperial­isme itu adalah berhubungan dengan kapitalisme, dan bahwa teori “memberi kemerdekaan sebagai hadiah” (vide Philippina!) jangan gampang dipercaya! Sebab hanya inzicht di dalam wezennya kapitalisme di Inggeris dan di negeri Belanda-lah yang bisa memberi inzicht kepada kita di dalam wezennya imperialisme Inggeris dan imperialisme Belanda, — inzicht yang mana, sebagai saya katakan di muka, perlu sekali kita mempunyainya, jikalau kita ingin mengukur harganya pergerakan swadeshi untuk cita-cita India-Merdeka dan harganya swadeshi untuk cita-cita Indonesia-Merdeka. Uraiannya Anton Pannekoek, bahwa juga zonder imperialisme, uitwisseling van productie di dalam lingkungan negeri-sendiri bisa dibikin “klop”, uraian itu hanyalah mempunyai harga­ teori, yakni hanyalah mempunyai theoretische waarde belaka. Sebab praktek menunjukkan, bahwa uitwisseling itu sering-sering tidak bisa “klop”,- praktek adalah saban-saban menunjukkan overproductie, prak­tek adalah saban-saban menunjukkan krisis, praktek adalah saban-saban menunjukkan “meleset”!

Bagi kita bangsa Asia yang ingin merdeka, bagi kita yang paling penting ialah ‘bahwa imperialisme itu ada suatu keadaan, suatu kenyataan, suatu feit. Economische noodzakelijkheid bukan economische nood­zakelijkheid, – imperialisme bagi kita adalah suatu feit. Feit, feit yang mentah inilah yang kita hadapi sehari-hari. Feit inilah yang pertama-­tama sekali harus kita analisa di dalam sifat-sifatnya dan hakekat-hakekat­nya. Feit inilah memang yang terutama sekali kita analisa sekarang, analisa yang mana memberi inzicht kepada kita bahwa imperialisme ialah suatu politik, suatu stelsel, suatu “isme”, yang di dalam umumnya mem­bikin negeri-negeri Asia itu terutama sekali menjadi afzetgebied, dan exploitatiegebied buitenlands surplus-kapitaal.1 Untuk menggambarkan feit ini lebih terang lagi bagi pembaca-pembaca yang kurang faham, maka di bawah ini raya kutip keterangannya Otto Bauer yang menulis imperialisme adalah:

“client steeds het doel, aan het kapitaal-beleggingssfeer en afzetmark­ten to verzekeren. In de kapitalistische volks-economie scheidt zich elk ogenblik een deel van het maatschappelijke geldkapitaal uit de circulatie van het industrieele kapitaal af … Een deel van het maatschappelijke kapitaal is dus elk ogenblik doodgelegd, ligt elk ogenblik braak.

Is veel geldkapitaal doodgelegd, heeft het terugstromen der vrijge­komen kapitaalsplinters naar de productiesferen slechts langzaam plaats, dan daalt allereerst de vraag naar productiemiddelen en naar arbeids­krachten.

Dit betekent het onmiddellijke dalen der prijzen en winsten in de productiemiddelen-industrie, de verzwaring van den vakverenigings-strijd, het dalen der arbeidslonen. Beide verschijnselen werken echter ook terug op die industrieen, die verbruiksartikelen vervaardigen.

De vraag naar deze artikelen, die onmiddeliijk dienen tot bevrediging der menselijke behoeften, daalt, omdat enerzijds de kapitalisten, die hun inkomen uit de productiemiddelen-industrie trekken, geringere winsten maken, en omdat anderzijds de grotere werkloosheid en de dalende lonen de koopkracht der arbeidersklasse verminderen. Daardoor worden ook in de bedrijven voor verbruiksartikelen de prijzen, winsten, arbeidslonen kleiner.

Zo heeft het afscheiden van een deel van het geldkapitaal uit de kapitaalskringloop tengevolge: dalende prijzen, dalende winsten, dalende lonen, vermeerderde werkloosheid, in de GEZAMENLIJKE industrie. Deze kennis is voor ons deel van groot belang, want nu eerst kunnen we de doeleinden van de kapitalistische expantiepolitiek begrijpen. Ze streeft naar BELEG­GINGSSFEER VOOR HET KAPITAAL en naar AFZETMARKTEN VOOR DE WAREN.”

Beleggingssferen dan afzetmarkten! Tetapi tiap-tiap masyarakat, tiap-tiap negeri, imperialismenya adalah mempunyai “watak” sendiri­sendiri, “perangai” sendiri-sendiri, “warna” sendiri-sendiri. Negeri yang satu, imperialismenya terutama mencari beleggingssfeer bagi Finanz­kapitalnya, – negeri yang lain, imperialismenya terutama mencari afzetgebied bagi barang-barangnya. Yang satu terutama sekali imperialisme dagang, yang lain terutama sekali imperialisme exploitatie.

Welnu, hanya jikalau kita bisa menjawab pertanyaan, bagaimanakah terutama sekali warnanya imperialisme Inggeris di India, dan bagaimana­kah terutama sekali warnanya imperialisme Belanda di Indonesia; hanya jikalau kita bisa menjawab pertanyaan, sama atau tidaknya warna dua imperialisme itu, – hanya jikalau kita sudah begitu jauhlah, maka kita bisa mengukur harganya swadeshi di tepi-tepinya sungai Gangga dan Indus, dan harganya swadeshi di nusantara Indonesia adanya!

IMPERIALISME INGGERIS DI HINDUSTAN

Bagaimanakah warnanya imperialisme Inggeris itu?

Untuk memahami warna itu, maka kita harus mengerti, bahwa warna imperialisme itu ditetapkan oleh warnanya kapitalisme yang melahirkan­nya. Warna imperialisme, dan warna kapitalisme yang melahirkannya adalah berhubungan satu sama lain, “mengecap” satu sama lain, ber­causaal-verband satu sama lain. Warna imperialisme Amerika adalah akibat dari warna kapitalisme di Amerika, warna imperialisme Sepanyol akibat dari warna kapitalisme di Sepanyol, warna imperialisme Belanda akibat dari warna kapitalisme di negeri Belanda, dan warna imperialisme Inggeris akibat dari warna kapitalisme di Inggeris. Dua warna itu pada hakekatnya yang sedalam-dalamnya adalah dua muka dari badan yang satu.

Bagaimanakah warna kapitalisme Inggeris?

Pada penghabisan abad yang kedelapanbelas dan permulaan abad yang kesembilanbelas di negeri Inggeris terjadi sesuatu “revolusi” yang dengan sesungguhnya akan merobah susunan pergaulan hidup-tua di seluruh muka bumi,- menggali, membongkar susunan pergaulan hidup-tua itu sampai kepada sendi-sendinya dan akar-akarnya. Revolusi itu ialah mechanische dan industrieele revolutie. Ia merobah cara produksi di negeri Inggeris, daripada stelsel huisindustrie dijadikan tingkat yang pertama daripada modern kapitalistische productiewijze. Ia merobah stelsel “perusahaan di rumah” dijadikan “perusahaan di paberik”.

Ia mengganti alat-alat productie-tua dengan alat-alat productie-baru, yakni bengkel-bengkel dan mesin-mesin. Ia sangat sekali membesarkan “kekuatan-membikin” dari negeri Inggeris itu, sangat sekali menginginkan kemampuan produksi daripada negeri Inggeris itu.

Ia bisalah terjadi di negeri Inggeris, oleh karena negeri Inggeris itu adalah suatu negeri yang memang sempat atau tepat untuk suatu mechanische dan industrieele revolutie. Negeri Inggeris adalah suatu negeri dengan banyak syarat-syarat, suatu negeri dengan banyak tambang­-tambang, banyak arang-batu, banyak tambang-besi, – suatu negeri yang penuh basisgrondstoffen untuk subur-hidupnya mechanisme dan indus­trialisme itu. Basisgrondstoffen inilah syarat-syaratnya tiap-tiap mechan­isme dan industrialisme yang besar, basisgrondstoffen inilah yang mem­bikin biasanya mechanisme dan industrialisme itu menjadi subur. Albion yang mempunyai daerah basisgrondstoffen sebagai Zuid Wales, pegunungan Peak, tanah ngarai Schot, Middlesborough. Pegunungan Cumbris dan lain-lain, di mana kekayaan ibu-bumi tersedia tinggal mengaut­nya dan mengeduknya sahaja,- Albion itu sepantasnyalah menjadi negeri di mana bendera mechanisme dan industrialisme itu berkibar-kibar. Albion itu pula yang pada waktu itu melahirkan putera-putera ingenieur pembikin uitvindingen atau pendapatan-pendapatan baru. Newcomen yang mula-mula membikin mesin-uap, James Watt yang menyempurnakan mesin-uap itu, Arkwright yang membikin mesin-tenun yang pertama, ingenieur-ingenieur ini semua adalah Albion-putera adanya.

Hatsilnya mechanisme dan industrialisme itu? Hatsilnya ialah, sebagai saya tuliskan di muka, tambah-besarnya kemampuan produksi Inggeris. Pembikinan-barang dengan sedikit-per-sedikit secara stelsel huis-industrie yang sediakala pembikinan-barang secara “beperkte waren-productie” itu, – pembikinan-barang itu kini menjadi pembikinan-barang sebanyak­-banyaknya, yakni pembikinan-barang secara “massa-waren-productie”.

Pasar-penjualan yang dulu cukup di negeri Inggeris sendiri segera menjadi terlampau sempit, pasar-penjualan itu perlu sekali dibuka pula di luar pagar-pagar sendiri: Proses “sesak-napas” mulai berjalan, modern-imperialisme mulai bekerja. Inilah sebabnya, rnengapa Albion, yang dulu hanya menduduki beberapa tempat sahaja di Hindustan, yang dulu hanya puas bersarang di Fort St. George, Fort Wil­liam, Bombay dan lain-lain sahaja, yang dulu seolah-olah tak mempunyai keinginan sama-sekali menaklukkan daerah-daerah di India-dalam, – lalu seolah-olah dengan sekonyong-konyong kejangkitan penyakit ingin me­nyebarkan “beschaving”, peradaban dan “orde-en-rust”, tertib dan damai di seluruh benua Hindustan yang luas itu: seolah-olah penyakit “ingin menyebarkan beschaving dan orde-en-rust” itu menjadi penyakit demam, sebagai seorang yang keranjingan syaitan, sebagai raksasa yang tiwikrama, maka bergeraklah ia ke kanan dan ke kiri, melancarkan tangan ke kanan dan ke kiri, “kiprah” ke kanan dan ke kiri. Benggala diambil, Benares didu­duki, Karnatik ditaklukkan, Orissa ditundukkan, … bagian-bagian dari Mysore, kemudian Dekkan, kemudian propinsi Bombay yang sekarang, kemudian tiap-tiap pelosok India yang belum merasakan lezatnya “beschaving” beserta “orde-en-rust” made in Great Britain! Dan bukan di Hindustan sahaja politik menyebar “beschaving” dan “orde-en-rust” ini dijalankan!

Juga di luar Hindustan itu udara menjadi menggetar mendengarkan dengungnya nyanyian imperialisme Inggeris “Rule Britan­nia, Rule the waves!” …

Dan modern-imperialisme Inggeris ini, sebagaimana orang gampang bisa yakinkan daripada saya punya uraian tahadi, adalah di dalam tingkatnya yang pertama-tama, suatu imperialisme yang membawa barang-perdagang­an alias waren keluar Inggeris, suatu imperialisme yang mencari pasar­ penjualan bagi barang-barang itu, suatu handels-imperialisme yang mencari afzet. Memang karena suksesnya imperialisme ini muka bumi lantas seolah-olah terlanda suatu banjir barang-barang bikinan Inggeris. Memang karena suksesnya imperialisme ini negeri Inggeris lantas men­dapat nama “bengkel bagi dunia”, “the workshop of the world”. Pisau­-pisau, gunting-gunting, palu-palu, mesin-mesin, tricot-tricot, kain-kain … di mana-mana orang jumpai barang-barang itu, di mana-mana orang baca cap “Made in Great Britain”.

“Made in Great Britain” – itulah yang terutama sekali menjadi nyanyiannya John Bull sambil berjalan-jalan di kanan-kiri sungai Indus dan Gangga. “Made in Great Britain” menjadi anasir yang ia tuliskan di atas panji-panji yang ia tanamkan di seluruh Hindustan, “Made in Great Britain” menjadi dasarnya “usaha-kemanusiaan” mendatangkan “Be­schaving dan orde-en-rust” di kota-kota dan di desa-desa di sebelah selatan gunung Himalaya.

Tetapi, di situ sendiri sejak zaman kuno sudah ada suatu industri Bumiputera yang subur, yang produksinya malahan sampai orang dagangkan keluar Hindustan juga!

Apa yang John Bull perbuat? John Bull menjalankan ajaran moral ia punya “beschaving” dan ia punya “orde-en-rust”: Ia mengadakan beberapa peraturan yang menghalang-halangi suburnya industri Bumiputera itu, – merintang-rintangi, memadam-madamkan, membinasakan industri Bumiputera itu. Ia mengadakan invoerrecht (bea masuk) yang tinggi bagi barang-barang India yang mau masuk ke Inggeris, tetapi invoerrecht yang rendah bagi barang-barang Inggeris yang mau masuk ke Hindustan. Ia mengadakan aturan-aturan pajak yang mencekek lehernya industri-kain di Hindustan itu, aturan pajak yang menutup nafasnya tiap-tiap concur­rentie dari fihaknya industri Bumiputera itu. Begitu besar ia punya sukses di dalam kerja “beschaving” dan “orde-en-rust” ini, sehingga se­belum tahun 1850, industri Hindustan itu menjadi binasa sama-sekali oleh karenanya!

Dan bukan sahaja membinasakan sama-sekali industri Bumiputera itu, sehingga Hindustan bisa menjadi afzetgebied yang sempurna! Ia juga mengusahakan Hindustan itu menjadi salah satu negeri tempat-pengam­bilan bekal bagi industri tekstil Inggeris, yakni tempat-pengambilan ruw katoen atau kapas-kasar, sutera-kasar, wol-kasar, dan lain-lain bakal. Ia membikin Hindustan itu menjadi afzetgebiednya yang nomor satu, tetapi juga salah-satu daripada grondstoffengebied-nya yang penting. Ia men­jalankan teorinya Thomas Bazle, ketua Kamer van Koophandel di Manchester, yang berkata:

“In Indie is er een grondgebied van enorme uitgestrektheid, en de bevolking ervan zou Engelse manufacturen in geweldige hoeveelheden kunnen gebruiken. De vraag met betrekking tot onzen handel op India, is eenvoudig of zij ons betalen kan met de gewassen die ze teelt, voor hetgeen wij bereid zijn haar aan industrieproducten to leveren.”

Rakyat India yang celaka! Industrinya padam sama-sekali, dan ruw katunnya dipaksakan menjual dengan harga yang rendah-rendah. Industrinya padam, sehingga beribu-ribu kaum pertukangan lantas menjadi kehilangan pencarian hidupnya, dan lantas mencoba menyambung nyawanya dengan masuk ke dalam pertanian. Ke dalam pertanian yang hatsilnya ruw katoen begitu rendah harganya, ke dalam pertanian yang sudah begitu penuh-sesak dengan wong-tani yang sempit hidup, ke dalam pertanian yang belastingnya kadang-kadang sampai 80 a 90 prosen tingginya! Ke dalam pertanian, yang oleh karena itu, makin lama makin menjadi kocar-kacir, makin lama makin tak cukup manfaat memberikan sesuap nasi. Rakyat India yang celaka! Herankah kita, kalau matinya industri dan kocar‑ kacirnya pertanian yang demikian ini lalu menjadi sebabnya India itu saban-saban kali kejangkitan oleh bahaya kekurangan makan, yakni kejangkitan bahaya-kelaparan, kejangkitan oleh “paceklik”, kejangkitan oleh “famines” yang saban-saban kali menyapu jiwanya berpuluhan juta manusia, dan yang mendirikan bulunya seluruh dunia. En tokh, … imperialisme Inggeris membawa juga pengaruh lainnya pada masyarakat India. Imperialisme Inggeris di Hindustan yang terutama sekali datang dengan barang-dagangan dari “workshop of the world” itu, imperialisme Inggeris yang terutama sekali handels-imperialiame yang mencari afzet, imperialisme Inggeris itu mempunyai kepentingan atau belang supaya Rakyat India itu tidak melarat-melarat sekali. Ia butuh kepada suatu Rakyat yang ada daya-beli sedikit-sedikit, suatu Rakyat yang bisa membeli apa-apa yang ia dagangkan. Ia butuh kepada suatu masyarakat yang kenal akan kebutuhan, suatu masyarakat yang kenal akan behoeften. Ia butuh pula kepada suatu kelas pertengahan yang menjadi jembatan antara dia dengan Rakyat-jelata yang ia dagangi barang-barangnya itu, – suatu middenst and yang menjadi intermediair antara dia dengan pembeli yang jutaan itu. Ia, imperialisme Inggeris di Hindustan itu, ia oleh karena itu, memang lekas sekali mengadakan onderwijs sedikit-sedikit, oleh karena ia mengetahui, bahwa onderwijs adalah menambah kebutuhan-kebutuhan Rakyat.

Ia terutama sekali memang lekas mengadakan sedikit onderwijs yang utilistisch bagi kaum middenstand India, – mengadakan colleges, mengadakan high-schools, mengadakan universities, membangunkan golongan intelek, agar supaya kaum pertengahan dan intelek itu cakap menjalan­kan kerja-intermediair yang sangat perlu itu. Ia pendek-kata tidaklah sangat-sangat sekali “membunuh kutu-kutunya” Rakyat India, dan teru­tama sekali tidaklah sangat-sangat sekali “membunuh kutu-kutunya” middenstand India, yang ia butuh perantaraannya itu. Golongan menengah yang menjadi saingan baginya adalah ia punya musuh, – karena itulah ia bunuh industri Bumiputera! tetapi golongan menengah yang bekerja bersama-sama dengan dia, middenstand yang menjadi intermediair, middenstand yang afhankelijk daripadanya, adalah ia punya sahabat.

Inilah sifatnya dan perangainya imperialisme Inggeris di Hindustan itu: suatu sifat-perangai yang selamanya “tergoyang-goyang”, suatu sifat­ perangai yang “terlenggang-lenggang”, suatu sifat-perangai yang “slingerend” antara dua ujung. Satu ujung ialah ujungnya “grondstofgebied” yang ingin membeli kapas-kapas dan lain sebagainya dengan murah dan yang dua menekan “kutunya” masyarakat India itu, satu ujung lagi ialah ujungnya “afzetgebied” yang ingin menjual barang-barang Inggeris dengan mahal, – ujung yang menjaga supaya “kutu” itu jangan mati-mati sekali dan supaya middenstand-intermediair tetap ada.

Middenstand-intermediair! Sedikitlah Albion mengerti, bahwa middenstand ini nanti akan menghidupkan lagi shaktinya persaingan. Sedikitlah Albion mengerti, bahwa “kutu middenstand” yang ia tidak bunuh-sama-sekali, nanti akan hidup lagi menjadi kutu yang besar yang bisa menggigit kepadanya. Golongan intelek atau kelas kaum terpelajar yang ia bangunkan sendiri itu, intellectuelendom yang ia paberikkan di ­dalam ia punya colleges, di dalam ia punya high-schools, di dalam ia punya universities, – intellectuelendom itu nanti menjadilah salah satu motor yang penting di dalam proces-hidup-lagi atau proces renaissance daripada golongan menengah itu. Dasar memang turunan kaum industri, dasar memang turunan kaum yang “berkutu”, dasar memang “kutu” itu tidak sangat-sangat sekali terbunuh, maka, walaupun sudah tahun 1850 industri Bumiputera binasa sama-sekali, di dalam tahun 1851 didirikan lagilah pa­berik-kain yang pertama di kota Bombay. Dasar memang industri Bumi­putera itu cukup segala syarat-syaratnya, maka segeralah ia subur di segala cabang-cabangnya. Terutama tatkala di dalam perang besar 1914-1918 impor dari Inggeris menjadi tipis, maka ia mendapat impetus yang tak dikenalkan sedia-kalanya. Industri tekstil Bumiputera yang memang se­diakala industri yang termuka, majulah dengan pesat, industri tekstil itu di dalam tahun 1891 sudah mempunyai 127 paberik, di dalam tahun 1901 sudah mempunyai 152 paberik, di dalam tahun 1911 sudah 234 paberik, di dalam tahun 1927 sudah 336 paberik, dengan 8.700.000 spindel dan 162.000 weefspoel !

Dan bukan industri tekstil sahaja! Industri yang lain-lainpun seolah-­olah mendapat wahyu-baru dan tenaga-baru. Di atas lapang industri yang lain-lainpun, mitsalnya industri-listrik, industri-goni, industri-gula, in­dustri-gelas, industri-besi, sebagai kepunyaannya famili Tata di Jamshud­pore, – di atas lapang industri yang lain-lainpun, maka energi golongan menengah Bumiputera menjadi haibat.8 Kaum imperialis Inggeris menjadi geger. Terutama kaum kapitalis tekstil tak terhingga marahnya. Mereka memaksa kepada pemerintah Inggeris untuk menghapuskan sama-sekali bea impor yang tokh sudah rendah itu, yang mereka harus bayar kalau mereka memasukkan barang-dagangannya di India. Mereka memaksa pemerintah mengadakan bea di India yang mengenai kain-­kain bikinan India! Mereka tentu tak sia-sia berteriak sebagai orang di tengah lautan pasir, mereka tentu dituruti kemauannya!

Perhatikanlah pembaca! Untuk menekan saingan yang keluar dari fihak industri-kain di India, maka kain bikinan India itu di India sendiri dikenakan pajak sehingga terpaksa menjadi mahal ! “Een dergelijke belasting is nooit in eenig beschaafd land geheven!”, – begitulah Koch berkata.

Tetapi kekuatan-kekuatan masyarakat tak gampang direm semau­maunya. Kekuatan masyarakat India itu memang menuju kepada industrialisasi. Pada zaman sekarang, Hindustan sudah menjadi negeri­ industri yang kedelapan di seluruh dunia, dan malahan Prof. Sarkar mengatakan sudah menjadi negeri-industri yang pertama di seluruh dunia-panas. Pada zaman sekarang, saingan daripada industri India tak dapatlah ditundukkan lagi oleh Albion, walaupun bagaimana juga Albion mencoba menundukkannya!

En tokh aneh sekali: sifat imperialisme Inggeris yang “slingerend” itu tahadi, yang tergoyang-goyang antara dua ujung, sifat-perangai yang de­mikian itu masih sahaja kita jumpai kembali, sekalipun dengan rupa yang baru. Nafsu imperialisme Inggeris untuk memadamkan industri Hindustan itu niscaya tetap ada, nafsu perdagangan Inggeris untuk mem­bunuh tiap-tiap saingan India itu niscaya tetap menyala, tetapi adalah kepentingan Inggeris pula yang melarang matinya industri Bumi­putera itu. Kepentingan ini ialah kepentingan militer atau strategi. Kepentingan militer itu mempunyai belang atas adanya industri yang cukup-besar di Hindustan, yang ia boleh pakai sebagai “Schlussel-indus­trie” di masa perang yang akan datang. Kepentingan militer itu adalah menuntut, yang India itu harus bisa siap dipakai sebagai basis bagi operasi­-operasi perang di Asia-Barat, Asia-Tengah dan Asia-Timur. Kepen­tingan muter itulah yang menjadi salah-satu ujungnya sifat-perangai imperialisme Inggeris di Hindustan. Satu ujung ingin membunuh in­dustri Bumiputera, satu ujung lagi menjaga hidupnja industri Bumi­putera itu! Satu ujung menjadi musuh, satu ujung lagi menjadi “sahabat”. Sesungguhnya benarlah perkataan Srinivasa Yengar, bahwa imperialisme Inggeris adalah imperialisme “banci”!

Karena imperialisme yang “banci” itulah industri Bumiputera di Hindustan kini tidak begitu sukar untuk berdiri tegak kembali.

SWADESHI DAN SWARAJ

Tiap-tiap pergerakan Rakyat adalah “gambarnya” perbandingan-perbandingan di dalam masyarakat, jakni “gambar”-nya sociaal-economische verhoudingen, Pergerakan Rakyat India adalah gambarnya sociaal-econo­mische verhoudingen pula. Pergerakan Rakyat India itu, sebagai juga pergerakan-pergerakan Rakyat di negeri Asia yang lain, adalah suatu reaksi atas imperialisme yang mengungkungnya. Ia bukanlah bikinannya salah-satu atau beberapa pemimpin “in een slapelozen nacht”, – ia adalah bikinannya pergaulan hidup yang ingin mengobati diri sendiri. Ia bukan­lah produknya idealisme sahaja,- ia adalah produknya kepentingan-­kepentingan mentah di dalam masyarakat India sendiri. Ia, sebagai tiap­-tiap pergerakan Rakyat di mana-mana, adalah terikat kepada sociaal­-economische determinatie dan sociaal-economische praedestinatie.

Ia mulai berorganisasi di dalam tahun 1885, yakni di dalam All India National Congress. Congress ini mula-mula adalah suatu organisasi yang “lunak” sekali. Tetapi tatkala di antara tahun 1890 dan 1900 industri Bumiputera itu makin pesat dan makin subur, maka segeralah kita melihat aliran-aliran yang lebih radikal di dalam National Congress itu. Memang kaum pertengahanlah, kaum pertukangan, kaum saudagar, kaum “intermediair”, kaum industri, yang lama sekali menjadi nyawanya per­gerakan India itu. Memang National Congress itu di dalam hakekatnya adalah tempat perjoangan kaum perusahaan-India yang ingin merebut hak-hak yang perlu untuk suburnya ia punya perusahaan, ia punya per­dagangan, ia punya industri. Memang aksinya National Congress itu lama sekali adalah berupa aksi yang terang-terangan untuk hak-hak kaum perusahaan itu.

Hal ini kentara sekali di dalam sepak-terjangnya aliran-aliran di dalam Congress semenjak tahun 1880-1900. Ada aliran yang “lunak”, ada aliran yang setengah-radikal, ada aliran yang radikal atau “extremist”. Aliran yang “lunak” ialah alirannya kaum yang setuju dengan susunan dan azasnya pemerintah Inggeris, asal sahaja mereka mendapat tempat di dalamnya. Aliran yang setengah-radikal ialah alirannya kaum yang menuntut perobahan-perobahan di dalam susunannya pemerintahan di pro­pinsi-propinsi, alirannya kaum saudagar dan kaum industri, yang (mitsalnya kaum industri goni) tak begitu menderita saingannya imperial­isme Inggeris. Aliran yang radikal atau “extremist” ialah alirannya itu kaum industri Bumiputera yang sangat sekali merasakan saingannya imperialisme Inggeris, yakni alirannya itu kaum industri yang ingin mem­pengaruhi fiscale-politieknya pemerintah, terutama sekali politik pajak dan bea impor. Dan tiga macam aliran ini makin lama menjadi makin terang, makin lama makin tajam garis-garisnya, makin lama makin gedifferentieerd. Makin lama makin keraslah tiga aliran itu bertentangan satu sama lain, bermusuhan satu sama lain, bertabrakan satu sama lain. Dan akhirnya, di dalam tahun 1907 didalam rapatnya Congress dikota Surat, meletuslah perselisihan ini: kaum extremis di bawah pimpinannya Arvindo Ghosh dan Bal Gangadhar Tilak, memisahkan diri daripadanya! National Congress menjadi kubra, National Congress, itu simbulnya “persatuan bangsa” tak luputlah kena hukumnya sociaal­economische determinatie, – National Congress itu menjadi terpecah­belah dan hancur-bawur-berantakan! Tetapi tiap-tiap imperialisme adalah daya-mempersatukan. Tiap-tiap imperialisme adalah pengaruh-menghubung. Tiap-tiap imperialisme adalah associatiet endenz.

Juga National Congress kemudian menjadi satu lagi!

Dan tatkala perang-dunia membakar masyarakat Barat di antara tahun 1914 dan 1918, tatkala perhubungan Inggeris – India menjadi tipis, tatkala impor barang Inggeris ke India menjadi sangat kurangnya, maka semua tangga kaum perusahaan India diarahkan kepada kesempatan yang bagus ini untuk memperbesar industri-sendiri dan untuk merebut semua pasar India bagi barang-barang bikinan industri-sendiri. Tatkala itu maka kaum industri India adalah mengalami “hari emas” alias banyak untung atau gouden dagen! Tetapi sesudah perang-dunia itu habis, sesudah dewa Mars boleh lagi ke kayangan, maka Albion segeralah berusaha sekuat­-kuatnya merebut kembali pasar India itu bagi keperluan industrinya yang sekian lamanya terpaksa “hidup megap-megap”. Albion mulai lagi mem­bombardir barricade-economie industri India dengan meriamnya impor­ barang-barang “Made in Great Britain”.

Bende Mataram! Kaum perusahaan India, jang di dalam masa perang­ besar itu tahadi sudah bisa menguatkan kedudukannya, yang sudah bisa melebar-lebarkan lapang-usahanya di lingkungan pagar sendiri, yang sudah hampir-hampir bisa merebut hegemonie atau cakrawarti di negeri-sendiri, – kaum perusahaan India itu .niscaya lantas bercancut -tali-wanda melawan hantaman Albion tahadi: National Congress menjadi sengit lagi, aksi Mohandas Karamchand Gandhi menggetarkan udara India dari Calcutta sampai ke Bombay, dari Madras sampai ke Kasymir.

Apakah senjata yang dipakai oleh Rakyat Hindustan di dalam perjoangannya yang bertahun-tahun itu? Senjata yang dipakainya ialah politik: Satyagraha dan non kooperasi ekonomi; swadeshi. Tiga kali palu­ godam swadeshi itu ia hantamkan di atas punggungnya imperialisme Inggeris. Tiga kali api boikot barang-barang Inggeris dan api cinta barang-barang sendiri berkobar-kobar. Tiga kali Albion menderita, gemetar seluruh tubuhnya: pertama dalam tahun 1905-1910, kedua dalam tahun 1920-1922, ketiga dalam tahun 1930 sampai sekarang. Albion yang tidak takut akan bedil atau bom atau meriam, Albion yang armadanya nomor satu di dunia, Albion itu terpaksalah mengakui bahwa palu-godam yang saban-saban gemuntur di atas tubuhnya itu sebenarnyalah suatu lim­pung yang maha-berat dan maha-shakti!

Apakah swadeshi itu? Swadeshi adalah diartikan dalam beberapa arti yang macam-macam oleh kaum-kaum politik India sendiri. Ia ada yang mengartikan sebagai suatu boikot tak mau membeli barang­-barang bikinan Inggeris, yakni sebagai suatu taktik-perjoangan yang menyerang. Ia ada pula yang mengartikan hanya sebagai usaha-positif memajukan kerajinan sendiri, pertukangan sendiri, industrialisme sen­diri. Ia ada yang memandangnya sebagai suatu senjata-politik, dan ada pula yang memandangnya sebagai suatu usaha-ekonomi yang tak bersang­kutan dengan politik sama-sekali. Macam-macam orang, macam­-macam. pendapat! Tetapi marilah kita membaca ucapan-ucapan di bawah ini, agar supaya pembaca bisa mendapat sedikit pemandangan tentang swadeshi itu.

Marilah kita mendengarkan putusan National Congress yang ke-22, yang berbunyi: “dat het Congres zijn grootste steun zal ver­lenen aan de swadeshi-beweging en dat het het yolk oproept om voor haar succes te arbeiden, door er ernstig naar te streven de groei van inheemse industrieen te bevorderen en de productie van inheemse artikelen te stimuleren door ze, desnoods met enige opoffering, te verkiezen boven geimporteerde waren”?

Marilah kita mendengarkan Abdul Rasul, presiden Barisal Conference, yang berkata: “Ik kan de mensen niet begrijpen, die de zaak der swadeshi voorstEkan, doch de boycott van de hand wijzen. Dit is een economische questie, – het een moet noodwendig volgen op het andere. Het woord boycott moge in sommige oren agressief klinken, maar het succes van de swadeshi-beweging betekent het zich onthouden van vreemde goederen of de boycott er van. Als wij de voorkeur geven aan goederen in ons land gemaakt, en de in vreemde landen vervaardigde weigeren, dan betekent dat het boycotten van vreemde waren. Waarom zou het aanstoot geven het gouvernement of aan wie ook? In ons eigen huis zijn we toch zeker onze eigen heer en meester, en mogen wij zelf kiezen wat wij willen kopen en wat wij weigeren.”

Marilah kita mendengarkan Bat Gangadhar Tilak, yang dengan jitu telah berkata: “Lord Minto opende hier laatst de Industrieele Tentoonstelling, en zeide bij die gelegenheid, dat de ware swadeshi moet worden gescheiden van politieke aspiraties.

Dit is een oneerlijke voorstelling van de werkelijke staat van zaken … Het is een blunder, om de politiek van de swadeshi te scheiden!”

Marilah kita mendengarkan pidatonya Surendra Nath Ba­nerjee yang berkata: “Swadeshi is gebaseerd op vaderlandsliefde en niet op haat voor de vreemdeling …

Ons doel is het gebruik van inheemse goederen algemeen te maken, de groei en ontwikkeling van inheemse kunsten en industrieen te bevorderen, en het land te behoeden voor het groeiend kwaad der verarming … De atmosfeer is doortrild met de industrieele geest.

De slavengeest heeft een knak gekregen.

De geest van zelfverwerkelijking dringt overal door. Verzamel U rond van dorp tot dorp, van stad tot stad. Zweer den Swadeshi-eed, en ge legt breed en diep de grondslagen van Uw industrieele en politieke emancipatier.”

Dan marilah kita sebagai penutup mendengarkan perkataannya Mahatma Gandhi yang berseru: “Het is een zonde, Amerikaanse tarwe te eten, terwijl uw buurman, de korenkoopman, door gebrek aan klanten te gronde gaat … Ook maar een el uitheems weefsel in Indie invoeren, beduidt, een stuk brood uit de mond van een, die gebrek lijdt, wegnemen”. “De boycotten en de verbranding van vreemde weefsel hebben niets te maken met een rassenhaat tegen Engeland, die Indie niet koestert, ja zelfs niet kent.”

Jadi: macam-macam orang, macam-macam pendapat. Tetapi, poli­tik atau bukan politik, boikot atau bukan boikot, kebenyian atau bukan kebencian,- hatsilnya bagi imperialisme Inggeris adalah setali t i g a wang! lebih lakunya barang bikinan India, dan lebih tidak lakunya barang bikinan Inggeris; lebih majunya industri di Bombay dan Madras dan Jamsheedpore, dan lebih surutnya industri di Bradford dan Man­chester dan Birmingham. Hatsilnya bagi imperialisme Inggeris ialah, bahwa imperialisme Inggeris itu terkena ulu-hatinya, terkena pusat-nyawanya, terkena lak-lakan-rongkongannya ibarat Niwata Kawaca terkena pula lak-lakan-rongkongannya oleh Begawan Mintaraga! Sebab, – dan di sinilah sekarang pembaca mengerti perlunya mengetahui, “warna”-nya imperialisme Inggeris di Hindustan itu, sebab imperialisme Inggeris di Hindustan itu adalah teristimewa suatu handels‑imperialisme yang mencari afzet.

Angka-angka impor di dalam tahun 1910 adalah kira-kira 90.000.000, di dalam tahun 1912 kira-kira £ 115.000.000, di dalam tahun 1914 kira-kira £ 95.000.000, di dalam tahun 1915 kira-kira 105.000.000, di dalam tahun 1918 kira-kira /125.000.000, di dalam tahun 1920 kira-kira

£ 335.000.000. Dari impor ini, selamanya bagian yang terbesar adalah dari negeri inggeris, dan sebagian besar pula berupa kain-kain manu­facturen. Tetapi ekspor?

Ekspor biasanya adalah sedikit lebih besar daripada impor tetapi ekspor ini sebagian yang besar adalah ekspor bekal-bekal, mitsalnya kapas-kasar, kulit-kulit dan lain sebagai­nya, – yang nanti, sesudah di-“olah”, diimpor ke India lagi!

Jadi: senjata swadeshi di India adalah senjata haibat yang bisa meremukkan tubuhnya imperialisme Inggeris. Herankah kita, bahwa swadeshi itu sedari mulanya lalu mendapat Nap” dari fihak Inggeris, disebut pergerakan yang timbul dari rasa chauvinisme-rendah belaka, suatu pergerakan kebencian, suatu pergerakan kaum “penghasut” yang tiada maksud lain melainkan maksud “destructive” dan merusak? Heran­kah kita, bahwa propagandis-propagandis swadeshi itu beribu-ribu yang ditangkap, beribu-ribu yang diseret di muka hakim, beribu-ribu yang di­hukum dan dilemparkan ke dalam penjara, dituduh “sedition” dan merusak ketenteraman umum?

En tokh, sebagai yang kita lihat dimana­-mana, palang-pintu kaum imperialisme tidak bisa mengurangi pergerakan itu, bahkan malahan mempergiatnya! Sebagai angin yang makin lama makin meniup menjadi angin taufan, sebagai aliran yang makin lama makin mengebah menjadi banjir, sebagai kekuatan-rahasia yang makin lama makin mengelectriseer sekudjur badannya bangsa, maka pergerakan swadeshi ini, yang pada hakekatnya ialah pergerakannya kaum middenst and dan kaum industrieel menjadilah suatu per­gerakan yang menyerapi tulang-sungsumnya dan nyawanya Rakyat-jelata. Terutama sesudah Mahatma Gandhi memasukkan dua elemen di dalam pergerakan swadeshi itu, yakni elemen pemakaian barang tenunan ­tangan: terutama sesudah Gandhi dengan dua elemen ini bisa memberi kesempatan-mencari-sesuap-nasi kepada kaum tani yang enam bulan tiap-tiap tahun terpaksa menganggur, – terutama sesudah itulah maka pergerakan swadeshi itu menjadi sangat populer sekali.

Charkha dan kadhar buat abad keduapuluh pada hakekatnya adalah dua elemen yang memundurkan jarum kemajuan masyarakat, dua elemen yang merem evolusi, dua elemen yang maatschappelijk-reaction­nair, – tetapi charkha dan kadhar itu, sebagai alat ganjil hidupnya kaum tani India yang enam bulan setahunnya terpaksa menganggur, bisa juga ada harganya. “Tachtig procent der Indische bevolking is telkens een half jaar lang noodgedwongen werkloos; hen kunt ge alleen helpen, door een in vergetelheid gei akt handwerk te doen herleven en tot bron te maken van nieuwe inkomsten, Indie moet van honger sterven, zolang men geen arbeid bezit, die voedsel verschaft.” “Ik zou de twijfelaars willen verzoeken, de huizen der armen binnen te gaan, wier karige inkomsten alleen door het spinnewiel weer vergroot worden; al deze lieden zullen verklaren,

dat met het spinnewiel weer licht en vreugde hun woningen zijn binnengetrokken.” “Voor een uitgehongerd en niet-actief yolk is de enige vorm, waarin God het kan wagen to verschijnen: de Arbeid, met de belofte van eten als betaling … Het spinnewiel be­tekent het leven voor millioenen stervenden. Het is de honger die Indie naar het spinnewiel drijft”,— begitulah Gandhi berkata.

Tetapi reaksioner sama-sekali perkataan Sang Mahatma itu, bahwa segala mesin-mesin harus dihapuskan dan diganti dengan charkha. Reak­sioner sama-sekali Sang Mahatma punya ucapan, bahwa mesin-mesin adalah “pendapatan syaitan”! Mesin-mesin bukanlah pendapatan syaitan, mesin-mesin bukanlah mendatangkan celakanya manusia, – mesin-mesin adalah “Rakhmat-Tuhan” dan salah-satu hatsilnya evolusi pergaulan hi­dup yang tinggi harganya. Mesin-mesin itu tidak bersalah, melainkan stelsel-produksi yang memperusahakannya!



En tokh, … bagaimana juga bencinya Gandhi kepada mesin­mesin, bagaimana juga bencinya Gandhi kepada mechanisme dan industrialisme, justru kaum industrilah yang paling keras menyokong pergerakannya, justru kaum industrilah yang terutama sekali menjadi motornya pergerakan swadeshi itu. Kaum industri itulah yang menjadi “gemuk” karena tidak lakunya barang Inggeris. Barang-barang bikinan industri sendiri, barang-barang keluaran Bombay atau Jamsheedpore, yang selamanya mendapat persaingan long begitu haibat dari barang­-barang keluaran Inggeris, – barang-barangnya kaum industri India itu oleh adanya pergerakan swadeshi lantas menjadi laku seperti kuweh. Dan di sampingnya kaum industri itu maka kaum tani di desa-desalah yang terutama sekali menjadi pengikut Gandhi yang setia. Teriakan “Gandhi kidzjai, Gandhi kidzjai!” kita dengar di dalam gubug-gubug sederhana di dusun-dusun, Gandhi punya filsafat sosial yang mistik, yang memandang sebagai ideal: suatu pergaulan hidup tani-tani-kecil dan tukang-tukang-kecil seperti di zaman purbakala, – Gandhi punya filsafat sosial itu adalah cocok dengan ideologinya kaum tani di dusun-dusun itu.

Dalam pada itu, maka keadaan kaum buruh yang bekerja pada industri Bumiputera itu adalah mengingatkan kita kepada keadaan kaum buruh Lawean atau Lasem di Indonesia sini. Pergerakan kaum buruh di India memang makin lama makin menjadi pesat. Pergerakan kaum buruh itu adalah ikut bekerja keras bagi India-Merdeka, tetapi ia memusuhi juga kapitalisme bangsa sendiri.

Ia memang suatu koreksi yang seharusnya bagi pergaulan hidup yang tak adil, yang bersendi kepada pengambilannya meerwaarde oleh “kaum atasan”, dan kemelaratan atau Verelendungnya “kaum bawahan”. Ia adalah suatu peringatan bagi kita, bahwa bukan tiap-tiap seru “nasionalisme” adalah mencari kesela­matannya seluruh Rakyat!”

Apakah pelajaran yang kita ambil daripada uraian di muka ini? Pelajaran yang kita ambil ialah, bahwa semboyan perjoangan “dengan swadeshi merebut kemerdekaan!” di tepi-tepinya sungai Indus dan Gangga adalah suatu semboyan yang berisi shakti yang nyata, suatu semboyan yang berisi tenaga yang haibat, suatu semboyan yang berisi rieele macht. Semboyan itu jikalau didengung-dengungkan lebih haibat lagi dan meng­getarkan lebih haibat lagi angkasa Hindustan, bisa menjadi angin-taufan yang menyapu tiap-tiap impornya Albion. Dengan tenaga semboyan itu maka pergerakan India bisa menjadi bertenaga guntur yang meremuk­kan imperialisme Inggeris. Dengan tenaga semboyan itu India-Inggeris bisa menjadi India-Merdeka.

Mengapa swadeshi itu tidak bisa dipakai sebagai senjata yang terpenting untuk mendatangkan Indonesia-Merdeka, akan saya uraikan lebih lanjut.

IMPERIALISME DI INDONESIA

Dalam karangan saya yang lalu, sudah saya terangkan dengan seterang­-terangnya, bahwa pergerakan swadeshi itu buat India adalah suatu pergerakan yang mempunyai shakti yang nyata, suatu pergerakan yang mem­punyai tenaga yang haibat, suatu pergerakan yang mempunyai rieele macht akni oleh karena imperialisme Inggeris di India bisa gugur terkena ulu-hatinya oleh pergerakan swadeshi itu.

Bagaimanakah sekarang pergerakan swadeshi itu buat Indonesia, – berapa jauh akibatnya, berapa jauh tenaganya? Pergerakan swadeshi buat Indonesia tidaklah sama-akibat, tidaklah sama-tenaga, tidaklah sama­ kekuasaan dengan pergerakan swadeshi di tepi-tepinya sungai Indus dan Gangga. Pergerakan swadeshi itu buat Indonesia adalah ditetapkan “harga”-nya oleh “warna” imperialisme yang ada di Indonesia, sebagai­mana pergerakan swadeshi itu buat India adalah ditetapkan pula “harga”- nya oleh “warna” imperialisme yang ada di India. Pergerakan swadeshi itu buat Indonesia, walaupun antara batas-batas yang tertentu pantas men­dapat sokongan tiap-tiap nationalis Indonesia, tidaklah sebagai di India boleh dipakai di dalam semboyan “dengan swadeshi merebut kemerdekaan”, yakni tidak boleh dipakai sebagai senjata yang terpenting untuk mengejar Indonesia-Merdeka.

Sebab imperialisme yang ada di Indonesia adalah berlainan “warna”- nya dengan imperialisme yang ada di India. Sedang imperialisme Inggeris yang mengaut-aut kekayaan India adalah imperialisme yang dilahirkan oleh suatu mechanische dan industrieele revolutie, sedang imperialisme Inggeris itu adalah imperialisme yang semi-liberaal, sedang imperialisme Inggeris itu tidak membunuh-bunuh sama-sekali semua “kutu-kutu” Rakyat India, maka imperialisme yang ada di Indonesia adalah suatu imperialisme yang timbulnya bukan karena suatu mechanische dan indus­trieele revolutie, – suatu imperialisme yang oleh karenanya anti-liberaal, suatu imperialisme “kuno”, suatu imperialisme “orthodox” yang senantiasa berusaha membunuh tiap-tiap “kutu” Rakyat Indonesia adanya.

Tatkala dunia belum “kenal-kenal-acan” akan mechanische dan industrieele revolutie, tatkala dunia masih “kuno”, maka imperialisme Belanda sudahlah mulai menunjukkan kegiatan yang besar sekali: kera­jaan-kerajaan di kepulauan Maluku, kerajaan Makasar, kerajaan Banten, kerajaan Mataram,- semua kerajaan itu sudahlah merasakan indung-indungnya tangan “beschaving en orde-en-rust” Belanda sebelum John Bull, karena mechanische dan industrieele revolutienya, kena penyakit ingin “menyopankan” seluruh Hindustan. Tatkala Albion baru menduduki Fort St. George, Fort William, Bombay dan lain-lain sahaja, maka setengah tanah Jawa sudahlah menjadi tanah kompeni.

Memang imperialisme Belanda bukanlah anaknya suatu mechanische dan industrieele revolutie. Memang negeri Belanda tidak pernah menga­lamkan suatu mechanische dan industrieele revolutie. Memang negeri Belanda tak akan kenal suatu mechanische dan industrieele revolutie.

Sebab masyarakat Belanda bukanlah suatu masyarakat yang mem­punyai syarat-syarat untuk hidup-suburnya modern industrialisme. Masya­rakat Belanda adalah suatu masyarakat yang melarat akan basis-grondstof­fen, suatu masyarakat yang tiada tambang-tambang besi, suatu masyarakat yang kurang arang-batu, suatu masyarakat yang terlalu “bloedarm” untuk bisa menjadi suatu masyarakat yang liberaal-industrialistisch. Kota-kota sebagai Leeds, sebagai Birmingham, sebagai Manchester, tidaklah ada di negeri Belanda itu, – ya, kota-kota yang semacam itu tidak akan bisa ada di negeri Belanda itu.

Imperialisme Belanda dilahirkan oleh suatu masyarakat yang “ouder­wets” dan yang selamanya akan tetap tinggal “ouderwets” di dalam segala‑ galanya. Imperialisme Belanda itu dilahirkan dan diteruskan hidupnya oleh suatu masyarakat yang selamanya akan tinggal “bau-bau kiju dan mentega”. Herankah kita, kalau imperialisme yang demikian ini, juga di dalam “warna”-nya ada berupa “ouderwets” dan orthodox, berlainan se­kali dengan imperialisme Inggeris di Hindustan yang di dalam banyak hal­-hal menunjukkan sikap modern-liberalisme? Herankah kita, kalau impe­rialisme Belanda ini di dalam hakekat yang sedalam-dalamnya tak pernah kenal akan ajaran-ajarannya modern-liberalisme itu, yakni kemerdeka­an dalam beberapa hal, mitsalnya “vrij arbeid, vrij concurrentie, vrij beroepen, vrij contracten”, dan lain-lain sebagainja? Herankah kita, kalau imperialisme Belanda itu pada hakekatnya selamanya adalah monopolistis? Di dalam zaman Compagnie ia mono­polistis, di dalam zaman na-compagnie ia monopolistis, di dalam zaman cul­tuurstelsel ia monopolistis, di dalam zaman “modern-imperialisme” ia masih juga monopolistis!

“Sesudah Oost-Indische-Compagnie pada kira-kira tahun 1800 mati”, – begitulah saya menulis dalam saya punya buku-pleidooi,- “sesudah Oost­Indische-Compagnie pada kira-kira tahun 1800 mati, maka tidak ikut ma­tilah stelselnya monopolie, tidak ikut matilah stelselnya mengaut-aut untung yang bersendi pada paksaan. Malahan, … sesudah tahun-tahun 1800­1830; sesudah habis zaman “tergoyang-goyang” antara ideologie-tua dan ideologie-baru, sebagai yang disebar-sebarkan oleh revolusi Perancis; se­sudah habis “tijdvak van de twijfel” ini maka datanglah stelsel kerja­paksa yang lebih kejam lagi, lebih mengungkung lagi, lebih memutuskan nafas lagi, – yakni stelsel kerja-paksa daripada cultuurstelsel, yang sebagai cambuk jatuh di atas pundak dan belakangnya rakyat kita !”

Dan juga di zaman sekarang, di dalam abad keduapuluh, di dalam zaman “kesopanan”, di mana imperialisme di Indonesia itu tidak lagi bernama imperialisme-tua tetapi ialah imperialisme-modern, – juga di zaman se­karang ini, maka pada hakekatnya politik monopoli itu belumlah dilepaskan oleh imperialisme Belanda itu. Juga di dalam zaman sekarang ini, maka masih banyaklah monopoli dari zaman Compagnie yang masih terus hidup. Dan di sampingnya “monopoli-kuno” itu, maka modern-imperialisme Be­landa itu adalah “modern-monopolistis” di dalam hampir semua econo­mische politiek-nya.

Kita melihat monopoli, jikalau kita mempelajari benar-benar rintangan -rintangan yang orang adakan pada perusahaan-karet Bumiputera, yang melulu berarti suatu penindasan perusahaan-karet Bumi­putera itu, agar supaya perusahaan-karet asing bisa menggagahi semua pasar. Kita melihat monopoli, jikalau kita menyelidiki benar-benar kesukaran-kesukaran yang orang adakan bagi vennootschap Bumiputera, dengan macam-macam alasan ini dan itu, yang merintangi suburnya per­dagangan fihak Bumiputera itu. Kita melihat monopoli, kalau kita per­hatikan benar-benar, bagaimana, sebagai nanti saya uraikan lebih lanjut, imperialisme asing itu merendah-rendahkan dan memadam-madamkan productiviteit Rakyat Bumiputera dan masyarakat Bumiputera, agar supaya ia bisa memegang kecakrawartian sendiri dan bisa membikin untung yang besar.

Dan imperialisme yang ada di Indonesia itu, sebagai yang telah sering sekali saya terangkan di mana-mana, kini sudahlah menjadi raksasa yang makin lama makin bertambah tangan dan kepalanya. Imperialisme-tua yang dulunya terutama hanya sistim mengangkuti bekal-bekal-hidup saha­ja, imperialisme-tua yang dulunya terutama hanya membikin Indonesia menjadi levensmiddelengebied sahaja, – imperialisme-tua itu kini su­dahlah … menjelma menjadi-imperialisme-modern yang empat ma­cam saktinya: pertama Indonesia tetap jadi levensmiddelengebied, kedua Indonesia menjadi afzetgebied, ketiga Indonesia menjadi grond­stoffengebied, keempat Indonesia menjadi exploitatiegebied daripada buitenlands surplus-kapitaal. Dan di dalam keempat shakti ini, maka imperialisme-modern itu sudahlah menjadi imperialisme yang campuran. Bukan modal Belanda sahaja, yang kini mengaut-aut kekayaan Rakyat Indonesia dan negeri Indonesia. Bukan modal Belanda sahaja yang kini berpesta di kalangan Rakyat Indonesia dan berdansa di atas bumi-Indonesia. Yang kini mengaut-aut kekayaan kita ialah, sejak adanya opendeur-poli­tiek, juga modal Inggeris, juga modal Amerika, juga modal Perancis-Belgia, juga modal Jepang, juga modal Jerman, juga modal Swis, – pendek-kata suatu imperialisme internasional yang bermilyar-milyar rupiah jumlah dan tenaganya.

Tetapi “warna” imperialisme yang ada di Indonesia, “warna” yang begitu perlu kita ketahui agar kita bisa mengukur tenaga pergerakan swadeshi untuk Indonesia, – bagaimanakah “warna” imperialisme itu? Warna im­perialisme di Indonesia bisalah kita tetapkan dengan angka-angka yang kita sajikan di bawah ini, angka-angka daripada . . . besarnya impor dan ekspor buat tahun-tahun 1920-1930.

Buat tahun 1920 impor f. 1.116.213.000 ekspor f.2.224.999.000

1924 f. 678.268.000 f. 1.530.606.000

1925 f. 818.372.000 f. 1.784.798.000

1926 f. 865.304.000 f. 1.568.393.000

1927 f. 871.732.000 f. 1.624.975.000

1928 f. 969.988.000 f. 1.580.043.000

1929 f. 1.072.139.000 f. 1.446.181.000

1930 f. 855.527.000 f. 1.159.601.000

Dengan angka-angka ini maka ternyatalah dengan seterang-terangnya, bahwa imperialisme di Indonesia itu terutama sekali ialah imperialisme yang mengekspor, suatu imperialisme yang menunjukkan export-excedent yang sangat besar, suatu imperialisme yang di dalam masa yang normal rata-rata dua kali jumlah harganya kekayaan yang ia angkuti keluar dari­pada yang ia masukkan kedalam. Dengan angka-angka ini maka ternya­talah bahwa “warna” imperialisme di Indonesia itu ada berlainan sekali daripada “warna” imperialisme Inggeris di Hindustan, yang jumlahnya impor dan ekspor rata-rata boleh dikatakan sama besarnya.” Dengan angka-angka ini, maka ternyatalah dengan seterang-terangnya, bahwa, se­bagai nanti akan saya terangkan lebih jelas, pergerakan nasional Indo­nesia dus tak boleh sama taktiknya dengan pergerakan di Hindustan adanya.

Rata-rata dua kali gandanya ekspor daripada impor!, bahwasanya memang suatu perbandingan yang celaka sekali, suatu perbandingan yang memang memegang record daripada semua imperialistische drainage yang ada di seluruh muka bumi! Indonesia yang celaka! Sedang perbandingan­nya ekspor : impor di negeri-negeri jajahan yang lain-lain ada “mendingan” sedang perbandingan itu di dalam tahun 1924

buat Siam adalah 108,9/100

buat Afrika Selatan 118,7/100

buat Philippina 123,1/100

buat India 123,3/100

buat Argentinia 124,7/100

buat Mesir 129,9/100

buat Ceylon 132,8/100

buat Chili 175,4/100

maka perbandingan itu buat Indonesia menjadilah yang paling celaka, yakni 220,4%. Dua ratus dua puluh komma empat prosen besarnya ekspor dibandingkan dengan impor! Herankah kita, bahwa seorang statisticus sebagai Prof. van Gelderen sia-sia mencari angka yang lebih tinggi, dan berkata bahwa “kalau kita bandingkan angka-angka di Hindia dengan angka-angka negeri lain, maka ternyatalah, bahwa tidak ada satu negeri di muka bumi yang procentage uitvoeroverschotnya begitu tinggi seperti Hindia Belanda”. Herankah kita, bahwa seorang Komunis C. Santin, yang tokh biasa melihat angka-angka yang kejam, menyebutkan imperialisme di Indonesia itu suatu imperialisme yang “terrible”, yakni suatu imperialisme yang mendirikan bulu roma.

Dua ratus dua puluh komma empat prosen besarnya ekspor, apakah yang diekspor itu? Yang diekspor ialah terutama sekali hatsil cultures dan minyak. Yang diekspor ialah terutama sekali gula, karet, tembakau, teh, petroleum, bensin, dan lain sebagainya, yang menurut angka-angka di atas tahadi semua totalnya di dalam zaman “normal” adalah paling “apes” f. 1.500.000.000.

Yang diekspor itu di bawah ini saya berikan percontohan, – dari tahun 1927.

Hatsil-hatsil minjak-tanah total f. 149.916.000

Arachides f. 4.335.000

Karet f. 417.055.000

Damar f. 9.911.000

Copra f. 73.083.000

Gambir f. 1.194.000

Getah-Pertja f. 1.895.000

Djelutung f. 2.073.000

Topi f. 2.405.000

Kaju f. 9.106.000

Kulit f. 16.067.000

Babakan kina f. 5.454.000

Kina (kinine) f. 1.821.000

Hopi f. 74.376.000

Djagung f. 4.033.000

Kain-kain f. 5.425.000

Minjak-minjak (dari tanaman) total f. 14.766.000

Pinang f. 7.307.000

Rotan f. 8.521.000

Beras f. 2.373.000

Rempah-rempah total f. 33.409.000

Spiritus f. 3.125.000

Arang-batu f. 5.019.000

Gula total f. 365.310.000

Tembakau total f. 113.926.000

Tepung ketela f. 21.423.000

Teh f. 90.220.000

Tin total f. 93.864.000

Bungkil f. 4.132.000

Kapuk, serat nanas, d.1.1. f. 38.250.000

lain-lain hal f. 42.484.000

Total: f. 1.622.278.000 1.622.278.000

Inilah daftar daripada “makan-jalan” di dalam pesta untuk merayakan “beschaving-orde-en-rust” yang diadakan oleh imperialisme di Indonesia!

Perhatikanlah nama-nama dan angka-angka yang dicetak dengan huruf tebal: Kecuali minyak-tanah dan tin, maka nama-nama itu adalah semua­nya nama-nama hatsil cultures, dan semuanyapun angka-angka yang paling gemuk. Karet sekian milyun, copra sekian milyun, kopi sekian milyun, minyak-minyak-tanaman sekian milyun, gula sekian milyun, … tem­bakau, teh, kapuk, serat-nanas sekian millioen, delapan macam hasil cul­tures ini sahaja jumlah ekspornya sudahlah f. 1.186.986.000 atau kurang lebih 75% dari semua jumlah ekspor yang f. 1.622.278.000 itu! Conclusie? Conclusie ialah, bahwa imperialisme yang jengkelitan di atas padang per­ekonomian Indonesia itu ialah terutama sekali imperialisme-cultures, atau lebih tegas lagi: landbouw-industrieel-imperialisme. Conclusie ialah, bahwa pusat pengautan imperialisme ialah tanah Jawa dan Sumatera, yakni oleh karena delapan hatsil cultures itu terutama sekali ialah berpusat di tanah Jawa dan Sumatera.

Dan jika kita menyelidiki daftar “makan-jalan” itu seluruhnya?

Jika kita menyelidiki daftar itu seluruhnya, maka conclusie ialah, bahwa Indonesia terutama sekali adalah menjadi padang penanaman-modal alias exploitatiegebied buitenlands surplus–kapitaal, yang sebagian membikin product yang sudah “jadi”, dan sebagian lagi mengeduk barang-barang yang masih berupa grondstof, sebagai mitsalnya karet, copra, kulit, babakan kina, tembakau dan lain-lain sebagainya. Jika kita menyelidiki daftar itu seluruhnya, maka kita dus mendapat conclusie, bahwa daripada empat shaktinya imperialisme di Indonesia itu, shakti ketiga dan keempatlah yang paling haibat dan paling merajalela. Shakti ketiga dan keempatlah, – shakti grondstoffengebied dan shakti exploitatiegebied surplus-kapitaal, – yang menjadi nyawanya internationaal-imperialisme di Indonesia. Shakti ketiga dan keempat itulah karenanya, yang harus kita gugurkan kalau kita ingin menggugurkan imperialisme di Indonesia!

Imperialisme di Indonesia bukanlah pertama-tama imperialisme “a la Kautsky”, imperialisme di Indonesia itu pertama-tama ialah imperialisme “a la Hilferding”, yakni imperialismenya Finanzkapital yang mencari belegging. Ia bukanlah pertama-tama imperialisme yang mencari pasar-perdagangan, – impor rata-rata hanyalah separonya ekspor! Ia pertama-tama ialah hatsilnya kapitalisme di dunia Barat yang telah terlalu banyak modal, dan yang menyebarkan modal itu ke negeri-negeri yang bisa menerimanya. Ia, oleh karenanya, tidak sama-sikap, tidak sama-perangai, tidak sama-houdingnya terhadap kepada Rakyat dan negeri yang ia duduki, dengan imperialisme Inggeris di Hindustan. Sedang imperialisme Ing­geris di Hindustan tidak membunuh-bunuh sama-sekali semua “kutu-­kutu” Rakyat Hindustan oleh karenanya ia sebagai handels-imperialisme butuh kepada Rakyat yang mempunyai daya-beli dan butuh kepada suatu middenstand-intermediair, sedang imperialisme Inggeris itu lekas mem­beri onderwijs sedikit-sedikit yang bisa memajukan perdagangannya, sedang imperialisme Inggeris itu adalah imperialisme yang tidak terlalu-­lalu sekali memadamkan productiviteitnya Rakyat, – maka imperialisme di Indonesia adalah terutama sekali imperialisme landbouw-industrie dan mijnbouw-industrie yang butuh kepada Rakyat melarat yang suka bekerja sebagai kaum buruh dengan upah yang murah dan suka menyewakan tanah dengan sewa yang murah, – suatu imperialisme yang mempunyai kepen­tingan atau belang atas rendahnya productiviteit Rakyat Indonesia itu adanya.

Sedang imperialisme Inggeris di India adalah suatu imperialisme yang semi-liberal, maka imperialisme di Indonesia adalah imperialisme yang orthodox dan monopolistic di dalam darah-dagingnya dan di dalam jiwa-raganya. Tiap-tiap apa sahaja yang bisa meninggikari productiviteit Rakyat Indonesia itu ia tindas, tiap-tiap nafsu ia padamkan, tiap-tiap ke­giatan ia rintang-rintangi, tiap-tiap energie ia bunuh! Sebab, tinggi-rendah­nya upah-buruh dan tinggi-rendahnya sewa-tanah di sesuatu masyarakat ditetapkan oleh tinggi-rendahnya productiviteit daripada masyarakat itu: Di dalam masyarakat kaya upah adalah tinggi dan sewa adalah mahal, di­ dalam masyarakat melarat upah adalah rendah dan sewa adalah murah, – di dalam masyarakat yang hampir mati-kelaparan orang suka bekerja dan menyewakan tanah asal bisa mendapat sesuap nasi penolak bahaya maut.

Bilamana pergaulan hidup Bumiputera bertambah sehatnya, sehing­ga harga-sewa-tanah juga lantas naik ke atas, maka perusahaan kaum modal Eropah itu menjadi kurang untungnya”, begitulah Prof. van Gelderen berkata, dan ucapan ini kami tambahi dengan ucapan Meyer Ranneft yang menulis: “Jumlah harta yang digali oleh modal dan perusahaan itu menjadi lebih besar, kalau tingkatnya masyarakat Bumiputera ada lebih melarat !” kami tambahi lagi dengan tulisannya Prof. Boeke yang berbunyi: mereka punya modal itu hanyalah mengharap dari Hindia tanah yang subur dan kaum buruh yang murah! Rakyat-penduduk bagi mereka tak lebih daripada suatu alat atau merupakan suatu kesusahan yang tak dapat dihindarkan. Buat mereka, yang paling perlu hanyalah banyaknya kaum buruh dan harganya tanah; kalau kaum buruh ada banyak jumlahnya, sehingga harga dan upah menjadi rendah, maka merekalah yang untung.

Dan bukan sahaja memadamkan productiviteit di atas lapangannya rezeki, bukan sahaja memadamkan economische productiviteit! Productiviteit geestelijk itu semuanyapun mendapat bagiannya! Apa yang orang jumpai di atas lapangan onderwijs dan opvoeding di Indonesia, mem­bikin orang tersenyum kalau dibandingkan dengan onderwijspolitiek John Bull di negeri Hindustan. Sedang di Hindustan orang sudah adakan banyak sekolah-sekolah tinggi dan pertengahan dan rendah ber puluh­pulu h t a hun yang l a l u maka di Indonesia hal-hal itu dimulainya terlambat sekali, dengan hatsilnya orang yang bisa baca-tulis sampai se­karang baru … 7%. Sedang di Hindustan onderwijspolitiek boleh dikatakan semi-liberal, maka onderwijspolitiek di sini adalah suatu sistim pendidikan kaum buruh yang bersemangat buruh belaka. “Ethische politiek” yang orang adakan di sini tempo-hari, yang bermaksud “kemanu­siaan” terhadap kepada bangsa kita, yang antara lain-lain memberi “lebih banyak” onderwijs kepada kita,- ethische politiek itu tidak “kebetulan”- lah orang adakan pada masa modern-imperialisme makin subur dan makin merasa kekurangan kaum-buruh-intelectueel dan kaum-penjilat-pena.

Menjadi: memang sudah sepantasnyalah imperialisme yang asal­turunnya dan di dalam darah-dagingnya suatu imperialisme yang anti-liberal dan orthodox, bersikap yang demikian itu. Dan karena dari dulu sampai sekarang, dari zaman Compagnie sampai ke zaman sesudah-compagnie, dari zaman cultuurstelsel sampai kezaman modern-imperialisme, tiap-tiap “kutu” kita dipitas dan dibunuh, maka susunan pergaulan hidup Indonesia menjadilah sangat primitief atau bersahaja. Tidak ada suatu kelas in­dustrieel dan golongan menengah Bumiputera sebagai di Hindustan yang kini berdiri di Indonesia.

Tidak ada suatu nationale bourgeoisie di Hindustan yang kini kita dapatkan di Indonesia. Tiap-tiap akar dari perusahaan-besar Bumipu­tera sudahlah tercabut dan terbasmi dari dulunya, tiap-tiap perusahaan kerajinan atau industri atau pelayaran sudahlah dihalang-halangi dan dibikin tidak bisa hidup lagi oleh imperialisme-tua dan modern yang dua­-duanya monopolistis itu. Perdagangan, pelayaran, pertukangan, ya perusahaan-besar apa-sahaja,- semuanya sudah matilah oleh mono­polisme itu. Kini tinggallah perdagangan-kecil belaka, pelayaran-kecil belaka, pertukangan-kecil belaka, pertanian-kecil belaka, … ketam­bahan lagi miliunan kaum buruh yang sama-sekali tidak mempunyai peru­sahaan sendiri, – kini masyarakat Indonesia adalah masyarakat merk-kecil, suatu masyarakat merk-kromo, suatu masyarakat merk-Marhaen yang apa­-apanya semua kecil. Padahal aduhai, betapakah tidak tingginya tingkat perusahaan Bumiputera di zaman sebelum imperialisme asing merajalela! Marilah saya di bawah ini mengulangi lagi beberapa citaat yang tempo-hari saya kemukakan di dalam saya punya pleidooi. Marilah kita mendengarkan Th. St. Raffles yang menulis: Begitu sukarnya menceritakan luasnya per­dagangan di tanah Jawa pada saat orang Belanda mulai di tepi lautan­lautan Timur, begitu menyedihkan hatilah menceritakan bagaimana perdagangan itu dihalang-halangi, dirobah dan dikecil-kecilkan oleh perbuatan bangsa asing itu, yakni dengan kekuasaannya monopoli yang sudah bobrok, dengan ketamaan dan keserakahan akan duit … Marilah kita mendengarkan Prof. Veth yang menceritakan, bahwa bangsa kita “masih di dalam abad keenambelas, sebagai juga di dalam zaman Majapahit, ada­lah terkenal sebagai kaum saudagar yang besar-usaha, kaum pelayar yang gagah, kaum perantau yang berani”, dan bahwa bangsa kita itu “tentunya ada kena perobahan yang besar sekali, menjadi kaum tani yang diam dan jinak sebagai sekarang inil”, diam dan jinak karena “semangat-harimau­nya sudah tumpas sampai kutu-kutunya”, diam dan jinak karena “obat­ tidur ketaklukan pada bangsa asing yang lama sekali itu sudah bekerja”? Marilah kita mendengarkan Prof. van Gelderen yang berkata: “Dengan adanya pusaka yang luas, maka tak bisalah disangkal lagi bahwa pada zaman dulu itu sudah ada permulaan daripada perdagangan yang giat, daripada perhubungan niaga dengan tanah seberang. Oleh adanya contingenten dan leverayncien, kemudian oleh adanya stelsel cultuur-paksa­an, maka kaum producent Bumiputera didesaklah dari pasar-dunia, dan dihalang-halangi suburnya suatu kelas majikan dan kelas saudagar bangsa sendiri.” Begitulah maka perusahaan-perusahaan asing zaman sekarang ini sudahlah memadamkan sama-sekali pertukangan-pertukangan di rumah.

Perdagangan ekspor Bumiputera adalah menjadi binasa sama-sekali, dan perusahaan-perusahaan yang hanya membikin barang-barang untuk daerah sendiri sahaja menjadilah hilang tersapu oleh gelombang barang-barang bikinannya massaproductie.

Marilah kita mendengarkan ceritanya Du Bus yang berbunyi:

“Pada zaman dahulu tanah Jawa adalah mengambil kain-kain yang rada alusan dari pasisir, tetapi kain-kain untuk keperluan sehari-hari ia bisa bikin sendiri, cukup untuk memenuhi kebutuhan se­luruh tanah Jawa, malahan juga cukup untuk sebagian daripada kepulauan Hindia. Berkapal-kapallah barang-barang itu meninggalkan tanah Jawa, menyebar kian-kemari ke seluruh nusa-nusa di sekeliling­nya” – disambung dengan perkataan Schmalhausen yang membubuhi komentar: “Sedang Du Bus diantara sebab-sebabnya keadaan-jelek ini menyebutkan pula musnanya perusahaan-perusahaan ekspor, maka kita di dalam Zaman sekarang ini, jugalah boleh mengatakan lagi, bahwa ba­nyak perusahaan-perusahaan Bumiputera menjadi megap-megap atau binasa sama-sekali.”Marilah … tetapi cukup! Cukup sekian sahaja! Sebab siapakah bisa membantah bahwa diantara Rakyat Indonesia kini tidak ada lagi perusahaan-perusahaan yang agak besar, siapakah yang bisa membantah bahwa diantara Rakyat Indonesia tidak ada manufacturen, perbengkelan atau paberik-paberik, siapakah yang bisa membantah bahwa Rakyat Indonesia tiada nationale bourgeoisie sebagai Rakyat Hindustan, siapakah yang bisa membantah bahwa masyarakat Indonesia ialah suatu masyarakat yang segala-galanya merk-kecil, yakni suatu masyarakat yang Kromoistis dan marhaenistis? Bahwasanya: benarlah conclusienya Dr. Huender tatkala ia menutup ia punya economisch over zicht yang terkenal, bahwa: “Een Indonesische middenstand als ruggegraat dezer maatschappij ontbreekt; de enkele grootgrondbezitters of kapitalisten ge­heel” yakni bahwa “tidak adalah di sini suatu middenstand-Indonesia yang menjadi tulang-punggungnya masyarakat; kaum tani-besar atau kapitalist yang hanya satu-dua itu, tidaklah menjadi satu hubungan-ekonomi dengan rakyat murba lainnya.”

Conclusie daripada semua yang kita tuliskan di atas ini ialah, bahwa politik swadeshi di Indonesia tidak bisa dipakai sebagai senjata jang terpenting untuk melemahkan imperialisme atau untuk mendatangkan Indonesia-Merdeka; kita di sini terutama sekali adalah berhadapan dengan grondstoffenimperialisme dan kapitaalbeleggingsimperialisme, yang dua­-duanya tak bisa dilemahkazi dengan politiek swadeshi itu. Kita di sini tidak ada kaum middenstand dan industrieel Bumiputera sebagai di India, yang bisa menjadi motornya pergerakan membrantas imperialisme itu.

Kita tidak bisa melemahkan imperialisme itu dengan suatu politik “national-economische self-containing”, tidak bisa menundukkan imperial­isme itu dengan suatu boycott-economie, tidak bisa memberhentikan imperialisme itu dengan pergerakan yang menentang impor. Kita harus mengerti, bahwa paberik-paberik gula, bahwa paberik-paberik karet, bahwa paberik-paberik kopi, bahwa paberik-paberik teh, bahwa paberik­-paberik minyak, bahwa paberik-paberik lain yang sernacam itu, yang semua menjadi tulang-punggungnya imperialisme di Indonesia itu, akan dengan tenteram bekerja terus, walaupun seluruh Rakyat Indonesia semua memakai pakaian “lurik” atau barang-barang bikinan sendiri.

Tidak! Dengan suatu masyarakat yang sembilan puluh lima prosen terdiri dari kaum yang segala-galanya kecil itu, dengan suatu masyarakat yang sembilan puluh lima prosen terdiri dari kaum Marhaen itu, dengan suatu masyarakat yang tiada industrieel middenstand dan yang terutama sekali ialah dicengkeram oleh grondstoffenimperialisme dan capitaal­beleggings–imperialisme itu, dengan masyarakat yang demikian itu tenaga yang bisa mendatangkan Indonesia-Merdeka terutama sekali ialah organi­sasinya Kang Marhaen yang milyunan itu di dalam suatu politieke-massa­actie yang nationaal-radicaal dan marhaenistis di dalam segala-galanya! Dengan masyarakat dan imperialisme yang demikian itu, maka zwaarte­puntnya kita punya aksi haruslah terletak di dalam politiek bewustmaking dan politieke actie, yakni di dalam menggugahkan keinsyafan politik dari­pada Rakyat dan di dalam perjoangan politik daripada Rakyat. Dengan masjarakat dan imperialisme yang demikian itu kita tidak boleh “meng­genuki” aksi ekonomi sahaja, dengan mengabaikan aksi politik dan mendorongkan aksi politik itu ketempat yang nomor dua. Dengan masyarakat dan imperialisme yang demikian itu kita tidak boleh menenggelamkan, verdrinken politieke bewustmaking dan politieke actie itu di dalam aksi “konstruktif” mendirikan warung ini dan mendirikan warung itu, – aksi “konstruktif” yang akhirnya hanya mempunyai harga “penam­bal” belaka.

0, perkataan jampi-jampi, o, perkataan peneluh, o, perkataan mantram, o, toverwoord “constructief” dan “destructief”. Sebagian besar daripada pergerakan Indonesia kini seolah-olah kena dayanya toverwoord itu, sebagian besar daripada pergerakan Indonesia seolah-olah kena gen­dhamnya mantram itu! Sebagian besar daripada pergerakan Indonesia mengira, bahwa orang adalah “konstruktif” hanya kalau orang mengadakan barang-barang yang boleh diraba sahaja, yakni hanya kalau orang mendi­rikan warung, mendirikan koperasi, mendirikan sekolah-tenun, mendirikan rumah-anak-yatim, mendirikan bank-bank dan lain-lain sebagainya saha­ja, – pendek-kata hanya kalau orang banyak mendirikan badan-badan sosial sahaja, – sedang kaum propagandis politik yang sehari-ke-sehari “cuma bicara sahaja” di atas podium atau di dalam surat-kabar, yang barangkali sangat sekali menggugahkan politiek bewustzijn daripada Rakyat-jelata, dengan tiada ampun lagi diberinya cap “destructief” alias orang yang “merusak” dan “tidak mendirikan suatu apa”! Tidak sekejap mata masuk di dalam otak kaum itu, bahwa semboyan “jangan banyak bicara, tetapi bekerjalah”, harus diartikan dalam arti yang lugs. Tidak sekejap mata masuk di dalam otak kaum itu, bahwa “bekerja” itu tidak hanya berarti mendirikan barang-barang yang boleh dilihat dan diraba sahaja, yakni barang-barang yang tastbaar dan materieel.

Tidak sekejap mata kaum itu mengerti bahwa perkataan “mendirikan” itu juga boleh dipakai untuk barang yang abstrak, yakni juga bisa berarti mendirikan semangat, mendirikan keinsyafan, mendirikan harapan, mendirikan ideologie atau geestelijke gebouw atau geestelijk artillerie yang menurut sejarah-dunia akhirnya adalah artillerie yang satu­satunya yang bisa menggugurkan sesuatu stelsel. Tidak sekejap mata kaum itu mengerti bahwa terutama sekali di Indonesia dengan masya­rakat yang merk-kecil dan dengan imperialisme yang industrieel itu, ada baiknya juga kita “banyak bicara”, di dalam arti membanting kita punya tulang, mengucurkan kita punya keringat, memeras kita punya tenaga untuk mernbuka mata Rakyat-jelata tentang stelsel-stelsel yang menceng­keram padanya, menggugah keinsyafan-politik daripada Rakyat-jelata itu, menyusun segala tenaganya di dalam organisasi-organisasi yang sempurna techniknya dan sempurna disiplinnya, pendek-kata “banyak-bicara” meng­hidup-hidupkan dan membesar-besarkan massa-actie daripada Rakyat­-jelata itu adanya!

Tidak! semboyan “dengan swadeshi Mendatangkan kemerdekaan” yang buat India ada begitu besar shaktinya, semboyan itu buat Indonesia tidaklah bisa dipakai. Semboyan itu buat Indonesia adalah semboyan yang kosong, semboyan yng hampa, semboyan yang tidak berisi rieele macht. Kemerdekaan Indonesia tidaklah bisa didatangkan dengan pergerakan swadeshi, kemerdekaan Indonesia hanyalah bisa didatang-kan dengan poli­tieke-massa-actie yang berazas Marhaenisme.

Marilah kita camkan conclusie kita ini. Marilah kita belajar memikir yang analytis. Dan marilah kita juga belajar memikir “in werelddelen”, belajar memikir “benua-perbenua”. Marilah kita belajar ingat, bahwa imperialisme yang ada di Indonesia ialah imperialisme yang internasional. Di daerah cultures sekitarnya Deli 43,83% dari semua kapital adalah kapital asing yang bukan Belanda, di daerah cultures Sumatera Selatan prosentase ini adalah 36,6, di perusahaan minyak B.P.M. 40% dari semua aandeel adalah kepunyaan­nya “Shell”, – buat seluruh Indonesia prosentase kapital asing yang bukan Belanda adalah kurang lebih 30%. Musuh yang begitu banyak anggautanya itu, musuh yang terdiri dari persekutuan gembong-gembong dan belorong-belorong yang begitu banyak jumlahnya itu, musuh yang ibarat raja raksasa Rahwana yang sepuluh kepalanya itu, – amboi, musuh yang demikian itu tidak dapat dialahkan dengan swadeshi-swa­deshian sahaja.

Oleh karena itu, tidak! Dan sekali lagi: tidak! Tidak bolehlah kita membeo sahaja kepada semboyan-semboyan yang dipakai oleh perjoang­an-perjoangan Rakyat di lain negeri, tidak boleh kita mengover sahaja segala leuzen zonder meng-analyseer sendiri. Pergerakan Indonesia ha­ruslah memikir sendiri, mengupas soal-soalnya sendiri, mencari semboyan-semboyannya sendiri, menggembleng senjata-senjatanya sendiri. Hanya dengan cara demikianlah kita bisa menjauhi segala pemborosan tenaga! Tetapi dalam pada itu … adakah dengan segala hal yang saya uraikan di atas itu, saya mau mengatakan bahwa saya dus anti segala pergerakan swadeshi di Indonesia? Saya tidak anti segala pergerakan swadeshi di Indonesia.

Saya bukan seorang nasionalis kalau saya tidak senang melihat bangsa saya bisa membikin sendiri barang ini dan itu, saya bukan seorang nasionalis kalau saya tidak senang melihat bangsa saya mempunyai creatiefvermogen dan berusaha mempertinggi creatiefvermogen itu, saya bukan seorang nasionalis kalau saya tidak merasa wajib-ikut berusaha membesar-besarkan creatiefvermogen bangsa sendiri itu. Saya hanyalah merasa wajib membantah, yang orang mengira, sebagai tempo-hari sering saya dengar, bahwa swadeshi itu bisa mendatangkan Indonesia-Merdeka, dan merasa wajib menjaga, jangan sampai pergerakan politik menge­jar Indonesia-Merdeka itu ditenggelamkan atau di-verdrinken didalam pergerakan swadeshi, ditenggelamkan dan di-verdrinken di dalam suatu pergerakan yang tidak boleh dipakai sebagai senjata untuk menghantam grondstoffen dan kapitaal-beleggings-imperialisme.

Di dalam karangan saya yang akan datang akan saya terangkan apa faedahnya swadeshi itu, ­faedahnya bagi belajar meninggikan productiviteit masyarakat Indonesia, dengan syarat-syaratnya agar supaya swadeshi itu tidak menjadi suatu pergerakan yang sosial-reaksioner, dan agar supaya pergerakan swadeshi itu tidak menjadi alat bagi kaum munafik candidaat-bourgeoisie untuk menggemukkan kantongnya sendiri. Tetapi karangan saya ini tidak bisa saya tutup dengan tidak satu kali lagi memperingatkan: Lenyapkanlah segala pengiraan bahwa swadeshi bisa mendatangkan Indonesia-Merdeka.

“Suluh Indonesia Muda”, 1932

Post a Comment

Previous Post Next Post