Menyambut tulisan H. A. Salim.
Kaum pergerakan di Indonesia adalah berbesar hati, bahwa semangat persatuan Indonesia sudah masuk ke mana-mana.
Semangat itu sudah melengket di atas bibir tiap-tiap orang pergerakan Indonesia, mendalam ke hati tiap-tiap orang Indonesia yang berjoang membela keselamatan tanah-air dan bangsa. Ia mewahyui berdirinya Studie Club di Surabaya dan di Bandung. Ia menjadi kekuatan-penghidup yang menyerapi badan-persaudaraan pandu Indonesia, yakni P.A.P.I. Ia menjadi alas dan sendi yang teguh bagi gerak dan terjangnya P.N.I. Ia menjadi rokh dan penuntun bagi berdirinya dan geraknya P.P.P.K.I Ia, Semangat Persatuan Indonesia, ialah yang menyebabkan kini tiada lagi perselisihan antara fihak kanan dan fihak kiri, tiada lagi pertengkaran antara kaum “sabar” dan kaum “keras”, tiada lagi percerai-beraian antara kita dengan kita …
Dan di dalam Kerja-Persatuan ini, yang memang tiap-tiap putera Indonesia dan tiap-tiap partai Indonesia telah kerjakan dengan sepenuh-penuh keyakinannya dan sepenuh-penuh kekuatannya, maka P.N.I. sangatlah bersuka-syukur serta mengucap Alhamdulillah, bahwa P.N.I. ada kekuatan ikut urun tenaga dan ikut urun usaha, ikut berdiri di dalam bagian barisan yang terkemuka. P.N.I. di dalam umurnya yang baru setahun itu adalah mempunyai hak untuk berbesar hati, bahwa tiadalah sedikit bagian yang ia ambilnya dalam pengabdian menjadi hamba dari pada Semangat-Persatuan dan Kerja-Persatuan itu. P.N.I., Alhamdulillah, dalam Kerja-Persatuan itu, tidaklah ketinggalan …
Di dalam tiap-tiap rapat, di dalam tiap-tiap pertemuan, di dalam tiap-tiap tulisan, maka voorzitter H.B.P.N.I. (Pengurus Besar P.N.I.) tiada puas-puasnya mengajak dan menggerak-gerakkan kemauan kepada Persatuan Indonesia itu, tiada puas-puasnya membangun-bangunkan keinsyafan akan benarnya pepatah “rukun membikin sentausa”, – tiada puas-puasnya membangkit-bangkitkan bangsa Indonesia masuk ke dalam kalangan pergerakan, tidak sahaja dalam kalangan P.N.I., tetapi jugalah hendaknya masuk ke dalam kalangan Budi Utomo, masuk ke dalam kalangan Pasundan, masuk ke dalam kalangan Partai Sarekat Islam, dan masuk ke dalam kalangan partai-partai Indonesia yang lain, … yakni sebagai suatu bukti, bahwa P.N.I. tidak sekali-kali meninggi-ninggikan diri di atas partai-partai yang lain itu, tidak sekali-kali menyombongkan din sebagai partai yang terbaik satu-satunya.
Tiada puas-puasnya voorzitter (Ketua) H.B.P.N.I. membangun-bangunkan dalam hati-sanubari sesama bangsa Indonesia perasaan cinta pada tanah-air, membangunbangunkan rasa ridla-hati menghamba dan mengabdi pada Ibu-Indonesia, agar supaya dengan kekuatan perasaan cinta tanah-air dan dengan wahyunya keridlaan hati menghamba pada Sang Ibu itu, dengan gampang diperkuat lagi perasaan cinta-rukun satu sama lain, dan dengan gampang diperkuat lagi keridlaan hati membelakangi kepentingan-kepentingan partai yang sempit, guna mengemukakan kepentingan yang lebih besar dan lebih tinggi, yakni kepentingan Persatuan itu adanya.
Dan kita yakin, bahwa memang tiada partai Indonesia yang kini tidak insyaf akan gunanya Persatuan itu, tiada partai Indonesia yang kini sengaja mencari-percerai-beraian, tiada partai Indonesia yang kini tidak bekerja dan berusaha memperkokoh dan memperteguh Persatuan itu. Kita yakin, bahwa Rokh-Persatuan inilah juga yang hidup dalam kalbu saudara Haji Agus Salim, tatkala beliau menulis karangan dalam “Fajar Asia” no. 170 yang akan kita bicarakan di bawah ini. Kita yakin, bahwa tidak sekali-kali saudara Salim itu bermaksud persaingan dan perceraian, tatkala saudara itu, dalam pemandangannya atas pidato voorzitter H.B.P.N.I. tentang faham cinta tanah-air dan faham menghamba pada tanah-air, menulis kalimat-kalimat yang kita kutip di bawah ini:
“Atas nama “tanah-air”, yang oleh beberapa bangsa disifatkan “Dewi” atau “Ibu”, bangsa Perancis dengan gembira menurunkan Lodewijk XIV, penganiaya dan pengisap darah rakyat itu, menyerang, merusak, membinasakan negeri orang dan rakyat bangsa orang, sesamanya manusia.
Atas nama “tanah-air” kerajaan Pruisen merubuhkan Oostenrijk daripada derajat kemuliaannya itu.
Atas nama “tanah-air”, balatentara Perancis menurut tuntutan Napoleon menakluk-menundukkan segala negeri dan bangsa yang berdekatan dengan dia, menghinakan raja-raja orang dan menindas rakyat bangsa lain.
Atas nama “tanah-air” pemerintah Jerman pada sebelum perang besar dan dalam masa perang itu, menarik segala anak laki-laki yang sehat dan kuat dari pada ibu-bapaknya, dari pada kampung dan halamannya, bagi menguatkan balatentara untuk mengalahkan, menaklukkan dunia.
Atas nama “tanah-air” Italia sekarang ini memberi senjata, sampai kepada anak-anak, laki-laki dan perempuan, supaya kuat negerinya merendahkan derajat orang di negeri orang, merampas hak orang atas tanah-air orang itu, memperhambakan kepada bangsanya juga.
Bahkan, atas nama “tanah-air” masing-masing, kita lihat bangsa-bangsa Eropah merendahkan derajat segala bangsa luar Eropah, bagi meninggikan derajat bangsa Eropah atas segala bangsa luar Eropah.
Demikianlah kita lihat, betapa “agama”, yang menghambakan manusia kepada berhala “tanah-air” itu mendekatkan kepada persaingan berebut-rebut kekayaan, kemegahan dan kebesaran; kepada membusukkan, memperhinakan dan merusakkan tanah-air orang lain, dengan tidak mengingati hak dan keadilan. Inilah bahaya, apabila kita “menghamba” dan “membudak” kepada “Ibu Dewi” yang menjadi tanah-air kita itu karenanya sendiri sahaja; karena eloknya dan cantiknya; karena kayanya dan baiknya; karena “airnya yang kita minum”, dan “nasinya yang kita makan”.
Atas dasar perhubungan yang karena benda dunia dan rupa dunia belaka tidaklah akan dapat ditumbuhkan sifat-sifat keutamaan yang perlu untuk mencapai kesempurnaan.”
Begitulah tulisan Haji Agus Salim. Begitulah tulisan, yang walaupun kita sesalkan kurang jelasnya, sekali-kali tidak menimbulkan pada kita dugaan akan persaingan dan perceraian, dan memang tidak bermaksud persaingan dan perceraian itu. Bukankah begitu, saudara Haji Agus Salim?
Dan begitu juga kitapun, – kita, yang memang menulis anasir Persatuan Indonesia di atas panji dan di atas bendera kita kitapun tidak sekali-kali bermaksud persaingan, tidak sekali-kali bermaksud perceraian serambutpun dengan tulisan ini, bahkan mendoa-doa, moga-moga oleh tulisan ini Persatuan antara kita dengan kita dapat menjadi lebih kokoh dan lebih sentausa karenanya. Kitapun masih menetapi akan pepatah: “di dalam persatuan kita berdiri, di dalam perceraian kita jatuh, – united we stand, divided we fall” … Tulisan ini hanyalah tulisan penambah. Ia hanyalah bermaksud mengemukakan apa-apa yang H. Salim lupa mengemukakan. Ia hanyalah bermaksud mengenyahkan salah-faham yang bisa juga timbul dari pads tulisan H. Salim itu. Ia tidak membantah, ia tidak menyerang.
Ia menambah belaka …
Sebab Haji Agus Salim lupa mengatakan, bahwa rasa-kebangsaan yang beliau gambarkan dengan kalimat-kalimat yang kita kutipkan tahadi, ialah rasa-kebangsaan yang berlainan dengan rasa-kebangsaan yang kini berapi-api di dalam hati-sanubari kita, kaum Nasional Indonesia.
Haji Agus Salim lupa mengatakan, bahwa rasa cinta pada tanah-air yang menggelapkan matanya pengikut-pengikut Lodewijk XIV, pengikut-pengikut Napoleon, pengikut-pengikut Bismarck, pengikut-pengikut Mussolini, pengikut-pengikut “raja-riwayat” yang lain-lainnya, – bahwa rasa cinta pada tanah-air yang menjadi sebabnya tabiat angkara-murka di Eropah itu ialah rasa-kebangsaan yang agressif, rasa-kebangsaan yang menyerang-nyerang.
Haji Agus Salim lupa mengatakan, bahwa beliau tabu, bahwa rasa-kebangsaan yang dimaksudkan oleh Ir. Sukarno ialah rasa-kebangsaan yang tidak agressif, tidak menyerang-nyerang, tidak timbul daripada keinginan akan merajalela di atas dunia, tidak diarahkan keluar, tetapi ialah diarahkan ke dalam.
Haji Agus Salim lupa mengatakan, bahwa nasionalisme ke-Timur-an yang mitsalnya mewahyui juga Mahatma Gandhi, atau C. R. Das, atau Arabindo Ghose, atau Mustafa Kamil, atau Dr. Sun Yat Sen dan juga mewahyui kita, kaum nasional Indonesia, – bahwa nasionalisme ke-Timuran ini adalah sangat berlainan dan menolak pada nasionalisme ke-Barat-an, yang menurut Bipin Chandra Pal ialah nasionalisme yang “duniawi”, nasionalisme yang “kerah (Jv) satu sama lain”.
Bahwa sesungguhnya… Sebagai yang sering-sering kali sudah kita terangkan di mana-mana, sebagai yang kebetulan juga pernah kita tuliskan, maka nasionalisme kita, kaum nasional Indonesia, bukanlah nasionalisme yang demikian itu. “Ia bukanlah nasionalisme yang timbul dari kesombongan bangsa belaka; ia adalah nasionalisme yang lebar, – nasionalisme yang timbul daripada pengetahuan atas susunan dunia dan riwayat; ia bukanlah “jingo-nationalism” atau chauvinisme, dan bukanlah suatu copie atau tiruan daripada nasionalisme Barat.
Nasionalisme kita ialah suatu nasionalisme, yang menerima rasa-hidupnya sebagai suatu wahyu, dan menjalankan rasa-hidupnya itu sebagai suatu bakti. Nasionalisme kita adalah nasionalisme, yang di dalam kelebaran dan keluasannya memberi tempat cinta pada lain-lain bangsa, sebagai lebar dan luasnya udara, yang memberi tempat pada segenap sesuatu yang perlu untuk hidupnya segala hal yang hidup.
Nasionalisme kita ialah nasionalisme ke-Timur-an, dan sekali-kali bukanlah nasionalisme ke-Barat-an, yang menurut perkataannya C. R. Das adalah “suatu nasionalisme yang menyerang-nyerang, suatu nasionalisme yang mengejar keperluannya sendiri, suatu nasionalisme perdagangan yang untung atau rugi” … Nasionalisme kita adalah nasionalisme yang membuat kita menjadi “perkakasnya Tuhan”, dan membuat kita menjadi “hidup dalam Rokh” sebagai yang saban-saban dikhotbahkan oleh Bipin Chandra Pal, pemimpin India yang besar itu.
Dengan nasionalisme yang demikian ini maka kita insyaf dengan seinsyaf-insyafnya, bahwa negeri kita dan rakyat kita adalah sebagian daripada negeri Asia dan rakyat Asia, dan adalah sebagian daripada dunia dan penduduk dunia adanya … Kita, kaum pergerakan nasional Indonesia, kita bukannya sahaja merasa menjadi abdi atau hamba daripada tanah tumpah darah kita, akan tetapi kita juga merasa menjadi abdi dan hamba Asia, abdi dan hamba semua kaum yang sengsara, abdi dan hamba dunia” …
Sekali lagi: nasionalisme kita, kaum nasional Indonesia, tidaklah berlainan daripada nasionalisme pendekar Islam Mustafa Kamil, yang mengatakan bahwa “cinta pada tanah-air adalah perasaan yang terindah yang bisa memuliakan nyawa”, – ia tidaklah berlainan daripada nasionalismenya Amanullah Khan, pendekar Islam dan raja di Afghanistan, yang menyebutkan dirinya “hamba daripada tanah-airnya”; – ia tidaklah berlainan dengan nasionalismenya pendekar Islam Arabi Pasha yang bersumpah “dengan Mesir ke sorga, dengan Mesir ke neraka”; – ia tidaklah berlainan dengan nasionalismenya Mahatma Gandhi, yang mengajarkan bahwa nasionalismenya ialah sama dengan “rasa-kemanusiaan”, sama dengan “menselijkheid” …
Ia, nasionalisme kita, yang oleh biru-birunya gunung, oleh indah-indahnya sungai, oleh molek-moleknya ladang, oleh segarnya air yang sehari-hari kita minum, oleh nyamannya nasi yang sehari-hari kita makan, menjunjung, menjunjung tanah-air Indonesia di mana kita lahir dan di mana kita akan mati itu menjadi I b u kita yang harus kita abdii dan harus kita hambai, – nasionalisme kita itu tidaklah berlainan dengan nasionalisme yang berseri-seri di dalam semangatnya lagu nyanyian Bande Mataram yang menggetarkan udara pergerakan nasional India, yakni nyanyian yang juga memuji-muji negeri India oleh karena “sungai-sungainya yang berkilau-kilauan”, juga menjatuhkan air mata patriot India oleh pujiannya atas segarnya “angin yang meniup dari puncaknya bukit-bukit Vindhya”, juga menguatkan bakti kepada tanah-air itu menjadi bakti kepada Janani Janmabhumi, yakni bakti kepada Ibu dan Ibu Tanah-Air adanya.
Atau haruslah nasionalismenya Mustafa Kamil, nasionalismenya Amanullah Khan, nasionalismenya Arabi Pasha, nasionalismenya Mahatma Gandhi, nasionalismenya Dr. Sun Yat Sen, nasionalismenya Aurobindo Ghose, – haruskah nasionalismenya pendekar-pendekar yang di dalam pemandangan kita ada maha-besar dan maha-luhur itu, kita sebutkan agama yang menghambakan manusia kepada berhala “tanah-air” itu? Haruskah nasionalisme yang berseri-serian di dalam kalbu pahlawan-pahlawan dan panglima-panglima kemanusiaan itu kita sebutkan pembudakan kepada “benda”?
Haruskah nasionalisme ke-Timur-an dari pada pendekar-pendekar ini, yang berganda-ganda kali lebih tingginya daripada imperialistisch nationalisme ke-Barat-an yang “berkerah” satu sama lain, – haruskah nasionalisme yang demikian itu kita sebutkan berdasar “keduniaan” belaka? Amboi, jikalau memang harus disebutkan begitu, – jikalau i t u yang disebutkan menyembah berhala, jikalau i t u yang disebutkan membudak kepada benda, jikalau i t u yang disebutkan mendasarkan diri atas keduniaan, – maka kita, kaum nasional Indonesia, dengan segala kesenangan hati bernama penyembah berhala, dengan segala kesenangan hati bernama pembudak benda, dengan segala kesenangan hati bernama mendasarkan diri atas keduniaan itu!
Sebab kita yakin, bahwa nasionalisme pendekar-pendekar itu, yang pada hakekatnya tidak beda asal dan tidak beda sifat dengan nasionalisme kita, adalah nasionalisme yang luhur !
Begitulah tambahan kita atas tulisannya Haji Agus Salim.
Tambahan ini, sekali lagi kita katakan, tidaklah bermaksud persaingan, tidaklah bermaksud perpecahan. Jauh sekali kita daripada persaingan; jauh sekali kita dari pada perpecahan. Akan tetapi dekat sekali, sampai melengket di atas bibir kita, bersulur-akar dalam hati kita, terfiilkan dalam perbuatan-perbuatan kita, – dekat sekali kita daripada mencari pekerjaan-bersama dan Persatuan. Sebab di dalam pepatah “dalam persatuan kita berdiri, dalam perpecahan kita jatuh”, – di dalam pepatah inilah letaknya rahasia rakyat-rakyat menjadi besar, di dalam pepatah inilah juga letaknya rahasia rakyat-rakyat menjadi tersapu dari muka bumi.
Di dalam pepatah inilah letaknya rahasia, yang P.N.I. dalam pekerjaan-bersama dengan Partai Sarikat Islam, ada cukup kekuatan untuk mendirikan P.P.P.K.I. Di dalam pepatah inilah letaknya jawab atas pertanyaan kita akan menang atau kita akan kalah, – jawab atas pertanyaan Indonesia-Sentausa atau Indonesia-Binasa, Indonesia-Luhur atau Indonesia-Hancur.
Oleh karena itu: tiada perceraian, tetapi maju, ke arah persatuan!
SUKARNO
Dari fihak Nasional Indonesia.
Bandung, 12 Agustus 1928.
“Suluh Indonesia Muda”, 1928