DBR Jilid I, BAB VIII : Pemandangan dan Pengajaran


Mohammad Hatta, Abdul Madjid Djojo Adhiningrat, Mr. Ali Sastroamidjojo dan Muhammad Nasir Datuk Pamuntjak, – empat nama orang muda, pemimpin “Perhimpunan Indonesia” di negeri Belanda, yang di dalam pengabdiannya terhadap pada Ibu-Indonesia, di dalam usahanya memimpin suatu perhimpunan yang mengejar kemerdekaan tanah-air dan bangsa, di dalam perjoangannya menganjuri segolongan pemuda-pemuda yang membela hak dan keadilan, sama mendapat cobaan dan memikul cobaan itu dengan ketetapan-hati dan kegagahan-sikap.

Digeledah rumahnya berkali-kali, ditahan di dalam penjara berbulan-bulan, dituntut di muka hakim di dalam bulan Puasa, bulan perdamaian; didakwa melanggar artikel 131 hukum siksa negeri Belanda, menghasut berontak pada kekuasaan Belanda dengan memuatkan tulisan-tulisan di dalam majalah “Indonesia Merdeka” nomor Maret-April 1927, – maka tiada satu tanda-kelembekan yang tampak di dalam mereka punya kata dan mereka punya jawab, tiada satu kelembekan yang terdengar atau terbaca di dalam mereka punya pembelaan-diri di muka hakim.

Teguh, yakin dan teranglah sikap dan perkataan-perkataannya Moham­mad Hatta, terang di dalam cara mengatakannya, terang pula di dalam caranya mengupas dan membeberkan keadaan-keadaan dan soal-soal yang ia kemukakan.

Memang, terang dan jernihnya ia punya cara mengupas, ia punya cara membeberkan soal-soal, itulah yang menjadikan ia punya kekuatan, ia punya tenaga, ia punya kuasa. Dan di mana ia mengemukakan, bahwa “Perhimpunan Indonesia” ialah tak pernah mengharap-harapkan kekerasan senjata, melainkan hanya membicarakan kekerasan itu sahaja; di mana ia menunjukkan adanja pertentangan antara kepentingan negeri Belanda dengan segenap kekuatannya ada memegang teguh akan Indonesia, sedang Indonesia sebaliknya menuntut kemerdekaannya; di mana ia menga­jukan keyakinannya, bahwa pertentangan ini hanyalah dapat disudahi dengan kekerasan, sebagaimana yang juga sudah dinyatakan oleh anggauta­-anggauta Kamer, dan sebagaimana memang sudah menjadi hukum besi di dalam riwayat; di mana ia memperingatkan, bahwa dari pada kaum kuasa sendirilah tergantungnya sifat penyudahannya pertentangan ini: dengan jalan damai atau dengan tumpahnya darah dan jatuhnya air-mata, maka seolah-olah tak dapat ditangkis lagilah ia punya pembeberan oleh officier van justitie adanya.

“Tetapi debat dalam Tweede Kamer tentang herziening Indische Staats­regeling adalah menimbulkan ketakutan, bahwa nanti darah akan tumpah dan air-mata akan jatuh”, begitulah ia menyatakannya.

Hatta, sebagaimana juga kawan-kawannya, merasa dirinya kuat. Ia tidak mengeluarkan ratapan-tangis; ia menyatakan keadaan-keadaan se­bagai adanya; ia mengupas, ia membeberkan, ia yakin, bahwa apa yang dikejar oleh “Perhimpunan Indonesia” ialah tidak lebih dan tidak kurang dari pada keselamatannya tanah-air dan bangsa: ia yakin, bahwa tanah-air dan bangsa itu ialah ikut hidup dan ikut gembira di dalam semua kenang-­kenangan dan semua cita-cita yang mengisi dadanya pemuda-pemuda yang ia tuntun: ia yakin, bahwa segenap rakyat Indonesia, segenap bangsanya adalah berdiri di samping dan di belakangnya.

Karena itu maka ia berkata: “Tuan-tuan hakim, dengan kami, maka tuan menghukum atau membebaskan rak­yat kami semuanya!”

Dan betul pada hari Lebaran maka kita, yang tinggal di rumah, yang tinggal di Indonesia, mendengar putusannya hakim: Walaupun officier van justitie, yang di dalam ia punya requisitoir tak lupa menyebut-nyebutkan nama Moskow dan nama Komintern, menetapkan bahwa empat pemuda itu ada berbahaya bagi keamanan di Indonesia; walaupun officier ini tak lupa pula menginjak lapangnya administratief recht dengan memberi kejapan-mata, supaya empat pemuda ini nanti dilarang masuk kembali ke-Indonesia; walaupun officier ini memintakan hukuman dua sampai tiga tahun beratnya, – maka majelis memutuskan, bahwa mereka menurut maknanya wet dan barangkali juga dalam kemauannya ialah tidak meng­hasut, tidak mengaju-ajukan ke arah revolusi, tidak boleh dijatuhi penuntutannya artikel 131 hukum siksa negeri Belanda, – dan bahwa mereka oleh karena itu harus dibebaskan adanya!

Kita tidak mengetahui, bagaimana rasa hati officier van justitie itu, tatkala ia mendengar putusannya majelis yang sama sekali menolak akan penuntutannya tahadi; kita hanyalah membaca kabar, bahwa pada hari yang majelis itu mengumumkan putusannya, ia tidak terlihat ditempatnya. Kita mengira, bahwa ia akan naik appel; akan tetapi kita salah pengiraan; ia tidak naik appel; ia menerima juga putusannya majelis tahadi adanya. Apakah kabar kenaikan appel, yang kita dapatkan mula-mulanya itu, ada suatu suruhan-halus, suatu nasehat-tertutup, suatu sugesti dari pada dienst pekabaran yang tak senang akan kebebasan studen-studen itu, supaya officier van justitie jangan menerima baik putusannya majelis, dan meneruskan perkara ini ke muka majelis yang lebih tinggi, yang



barangkali mau menghukum “kejahatannya”, “penghasut-penghasut” dan “pemberontak-pemberontak” ini? Kita tidak mengetahui; dan kita tidak akan menyelidiki lebih jauh.

Kita hanyalah memperhatikan feitnya, bahwa di dalam empatbelas hari sesudahnya putusan majelis itu jatuh, yakni tempo buat meminta naik­ appel itu, officier van justitie tidaklah meminta kenaikan appel tahadi. Kita hanyalah memperhatikan feitnya, bahwa di dalam perkara ini tiadalah suatu badan lagi yang akan membikin susah pada saudara-saudara kita itu. Kita hanyalah memperhatikan feitnya, bahwa saudara-saudara kita empat itu, kini sudah tetap bebasnya, sudah tetap merdekanya kembali, sudah tetap terhindarnya buat ini kali dari pada ranjau-ranjau yang tersebar di atas jalan yang menuju ke atas, jalan ke arah Sinar yang satu yang berkilau­-kilauan di tepi-langit, jalan ke arah cita-cita kita semua, jalan ke arah kemerdekaan Tanah-air dan Bangsa!

Bagaimana pengajaran yang kita ambil dari pada perkara ini?

Perkara ini adalah berhubungan serapat-rapatnya dengan jalannya pergerakan di Indonesia. Ia adalah suatu dari apa yang kejadian di sini:

Terkejut oleh meletusnya pemberontakan komunis di Indonesia, terperanjat oleh hamuknya kaum yang tertutup jalan untuk bergerak dengan cara terbuka, terdahsyat oleh pengalaman bahwa pergerakan itu terbukti mempunyai tenaga dan kekuatan, maka segeralah kaum sana membongkar-bongkar semua lapisan-lapisan pergerakan komunis itu, mengobrak-abrik dan menjungkir-balikkan semua susunan organisasinya, – dan menajamkan juga pengintipannya di atas semua lapisan-lapisan pergerakan nasional Indonesia dan Pan-Islam, menggandakan hati-hatinya terhadap semua pergerakan yang mengejar kemerdekaan.

Komunis, nasionalis atau Pan-Islamis, semuanya baginya berartilah suatu musuh yang meminta perhitungan di atas segenap perbuatan dan kesalahannya; suaranya kwaad geweten, suaranya sanubari yang dosa, senantiasalah mengejar dianya kemana-mana, melenyapkan segala rasa ketenteraman dari hatinya, dan memenuhi hatinya itu dengan bimbang dan khawatir. Dan walaupun beratus-ratus, beribu-ribu bangsa kita komunis; dan kaum pemberontak sudah di-Digul-kan; walaupun beribu-ribu pula bangsa kita yang tersangka ikut berontak sudah masuk dalam bui tahanan, maka belumlah berontaknya kwaad geweten dari pada kaum sana itu menjadi tenteram.

Kemauannya, kaum nasionalis juga harus dikejar; kaum Pan-Islam juga harus diburu!

Kita ingat akan ini semuanya. Kita mengakui haknya yang demikian itu, dan kita karena itu hanya bersenyum. Kita di sini hanya menetapkan feitnya sahaja. Kita ingat bagaimana sesudahnya pemberontakan, kaum sana meneriaki setinggi langit pergerakan Pan-Islam sebelum dan sesu­dahnya kongres di Pekalongan; bagaimana sesudahnya pemberontakan ia memukul kentongan di atas pergerakan nasional Indonesia semenjak P.N.I. timbul; bagaimana sesudahnya pemberontakan ia menunjukkan tabiatnya yang serendah-rendahnya dengan mengotorkan nama-prive dari saudara kita dokter Soetomo; bagaimana sesudahnya pemberontakan ia mem­bencanai saudara kita dr. Tjipto Mangunkusumo … Kita mengerti yang ini sudah semestinya; kita hanya bersenyum, dan kita mengambil pengajaran: Pengajaran, bahwa sikap kaum itu terhadap pada kita bukanlah tergantung dari beginsel kita, bukanlah tergantung dari pada azas kita, bukanlah tergantung dari pada “isme” kita, akan tetapi ialah tergantung dari pada besarnya bahaya yang mengancam kepentingannya oleh sikap dan gerak kita adanya!

Pergerakannya saudara-saudara kita studen di negeri Belanda juga mendapat pengalaman dari pada kedahsyatan kaum sana itu.

Dari sejak-mulanya pergerakan di Indonesia menjadi sadar dan hangat, dari sejak-mulanya rakyat Indonesia memberi bangun pada segenap kemauan dan cita-citanya, maka saudara-saudara kita di negeri Belanda itu adalah menunjukkan sikap yang berazas pada rasa yang gembira. Akan tetapi, walaupun saudara-saudara itu makin hari makin menunjukkan kesa­daran-azas dan kesadaran-sikap, walaupun saudara-saudara itu di dalam tahun 1923 mengeluarkan buku-peringatan yang penuh dengan bukti kesadaran semangat nasional yang sejati-jatinya, walaupun mereka punya ajaran-ajaran, dan mereka punya suara-pembangunan juga masuk ke dalam kalangan-kalangan pergerakan di Indonesia, walaupun mereka mulai melebarkan mereka punya propaganda ke negeri-negeri Eropah yang lain dan menghubungkan diri dengan pemuda-pemuda bangsa Asia yang lain-lain yang hatinya juga penuh dengan api-kemerdekaan, – pendek kata: walaupun suburnya kerja-nasional dari pada saudara kita itu makin lama makin mengkhawatirkan hati kaum sana, – maka kaum sana itu hanyalah berkertak gigi sahaja dan hanyalah mencoba merintang-rintangi suburnya kerja-nasional itu dengan pelbagai jalan “halus”, baik jalan menyusah-nyusahkan hidupnya studen-studen nasional itu, maupun jalan mengelus-elus studen-studen yang antipasional, maupun jalan ancam­an yang macam-macam “kehalusannya” … sampai pada saatnya yang mereka dengan dahsyat mendapat kaget yang haibat dari pada detus­nya senapan dan gemertaknya kelewang kaum komunis, bahwa sebagian rakyat Indonesia bergeraknya ialah bukan cara main-main! Dahsyat yang menajamkan sikapnya terhadap pada kaum nasionalis dan kaum Islamis di Indonesia, dahsyat itu juga menajamkan sikap kaum sana itu terhadap pada geraknya saudara-saudara kita di negeri Belanda adanya.

Terlebih-lebih pulalah kaum sana itu tergandakan curiganya, dimana saudara-saudara itu kelihatan mempunyai perhubungan dengan saudara Semaun, di mana saudara-saudara itu kelihatan kadang-kadang mendapat kiriman uang (sedikit) dari padanya. Kaum sana tidak melihat lebih jauh, buat apakah saudara-saudara itu menghubungkan diri dengan orang bang­sanya sendiri di Moskow itu; tidak melihat lebih jauh, buat maksud apakah saudara-saudara itu mendapat kiriman uang yang sedikit tahadi … tidak melihat lebih jauh, bahwa perhubungan itu adanya ialah antara persoonnya beberapa studen yang sengsara dengan persoonnya Semaun yang merasa belas kasihan melihat kesengsaraannya itu, dan bahwa uang yang sedikit itu keluarnya ialah dari kantongnya persoon Semaun sendiri untuk menyambung hidupnya persoon studen-studen yang seolah-olah hampir mati kelaparan adanya. Tidak! Semaun ada orang ko-mu-nis. Semaun ada orang bol-she-vik. Semaun ada orang “pelempar-bom”, – dus perhu­bungan itu tentu dengan pemerintah Soviet atau sedikit-dikitnya dengan Komintern, – dus orang itu datangnya tentu dari pemerintah kaum komunis dan “pelempar-bom” itu, – dus studen-studen itu menjadi satu dengan pemerintah bol-she-vik, menjadi satu dengan pemerintah “pelempar bom” adanya!

Mengulangi lagi yang kita tuliskan di atas: Dahsyat sesudahnya pemberontakan di Indonesia, tertambah oleh perhubungan yang kelihatan antara studen-studen itu dengan orang bangsanya sendiri yang berhaluan komunis, dengan orang dari fihak yang sudah mengobarkan udara In­donesia, dengan orang dari fihak yang terbukti mempunyai kekuatan menggetarkan tiang-tiangnya gedung penjajahan, dahsyat itulah yang sangat menajamkan bimbang dan khawatirnya kaum sana itu terhadap pada kerja nasional yang diusahakan oleh studen-studen kita di Eropah tergandakan lagi oleh hasutannya “raadsman” Westenenk, yang dengan muka-kayu merodok-rodok di belakang kelir, dengan muka-kayu menyogok­-nyogok dan menggosok-gosok kaumnya dan fihaknya supaya merintangi hidup dan usahanya studen-studen itu. Westenenk, yang dengan muka­-kayu menjalankan pengaruhnya supaya orang-orang tuanya studen-studen itu jangan mengirimkan uang lagi ke Eropah, – yang dengan muka-kayu menyiarkan kabar bohong, bahwa studen-studen yang nasional itu “tidak belajar” dan “membikin hutang” sahaja, sedang ia mengetahui, bahwa yang “tidak belajar” dan “membikin hutang” hanyalah satu-dua studen­ konconya sahaja, yakni studen anti-nasional merk Noto-Suroto dan merk Suripto, – Westenenk, yang memang sudah bersumpah akan membongkar dan mengobrak-abrik “Perhimpunan Indonesia” itu secindil-abangnya!

Lalu datanglah penggeledahan-penggeledahan di rumah beberapa saudara-saudara kita, penggeledahan yang oleh pers kaum sana begitu digegerkan dan begitu di “kocakkan”, dengan ceritera, bahwa saudara Mohammad Hatta ketika itu kabur keluar negeri Belanda, bahwa masing­-masing anggauta Pengurus “Perhimpunan Indonesia” ketika itu adalah bersenjata revolver, dan bahwa dalam sebuah piano ada terdapat bom beberapa butir!

Tidak lama sesudahnya itu maka empat saudara kita lantas ditangkap, dimasukkan dalam tahanan, – tersangka berhubungan dengan Moskow, terkira menjadi anggauta suatu perhimpunan rahasia dan terlarang, dan membuat suatu rancangan pemberontakan di Indonesia yang sangat kejamnya. Dan selagi sebagian rakyat Indonesia di tengah-tengah men­jalankan puasa, selagi majelis-majelis kehakiman di Indonesia ada tutup berhubung dengan “bulan perdamaian” ini, maka dituntutlah saudara-saudara itu di muka hakim, dijatuhi dakwaan memuatkan dalam “Indonesia Merdeka” nomor Maret-April 1927 tulisan-tulisan yang meng­hasut kepada kekerasan senjata adanya.

Di manakah tinggalnya dakwaan, bahwa saudara-saudara itu berhubungan dengan Moskow? Di manakah tinggalnya dakwaan, bahwa saudara­-saudara itu menjadi anggauta suatu perhimpunan rahasia dan terlarang? Di manakah tinggalnya dakwaan, bahwa rancangan saudara-saudara itu membuat rancangan pemberontakan di Indonesia … ?

Westenenk, jawablah! …

Tidak, tidak sedikitpun dari pada sangkaan-sangkaan itu dapat dibuat dakwaan di muka hakim; tidak sedikitpun dari pada sangkaan-sangkaan itu dapat dibuat senjata untuk menghukum saudara-saudara kita! Perka­ra yang menggoncangkan, yang tahadinya begitu digegerkan, yang tahadinya begitu dikocak-kocakkan, perkara ini ternyatalah mengkeret menjadi perkara persdelict yang kecil, mengkeret menjadi perkara “opruiing”, mengkeret menjadi perkara artikel 131, yang begitu lembek dan begitu lemah alasan-pendakwaannya, sehingga majelis yang memeriksanya men­jatuhkan putusan bebas di atas saudara-saudara itu adanya!

Sudah barang tentu kaum sana dan pers kaum sana marah-marah sekali atas kebebasan ini. Sebab perkara ini dalam hakekatnya bukanlah perkara “melanggar, atau tidak melanggar artikel 131 hukum siksa negeri Belanda” sahaja; ia dalam hakekatnya bukanlah suatu “perkara crimi­neel” sahaja; ia dalam hakekatnya ialah suatu perkara yang mengenai sedalam-dalamnya perkara kepentingan Indonesia dan kepentingan negeri Belanda adanya. Ia, adalah suatu perkara politik; ia, adalah terjadi oleh karena satu bangsa merasa terancam kepentingannya oleh bangsa lain; ia, adalah timbul dari pada belangen-tegenstelling dari pada pertentangan ­kepentingan dan pertentangan-butuh yang berada di antara bangsa yang menjajah dan bangsa yang dijajah itu …

Oleh karena itu, maka perkara ini, adalah perkara yang semestinya terjadi. Jikalau umpa­manya tidak hari-sekarang, jikalau umpamanya tidak hari-esok, jikalau umpamanya tidak hari-lusa, maka tentulah hari-kemudian lagi ia akan muncul, dan tentulah pertentangan-kepentingan antara bangsa yang terperintah dan bangsa yang memerintah itu akan berasap keluar. Dan di dalam perkara ini, maka Westenenk-pun hanyalah suatu “katalisator” sahaja; hanyalah suatu “pencepat” dari pada terjadinya perkara ini; ia hanya ikut menjadi lantaran: Ia hanya membesarkan jalannya sumber; tetapi bukanlah ia sumber itu sendiri adanya.

Artinya: Westenenk ada, atau Westenenk tidak ada, – perkara ini akan terjadi. Dan lainlah orang yang akan menjadi katalisator.

Sebab tiap-tiap kesadaran rakyat yang tak merdeka adalah menimbulkan ben­tusan dengan rakyat yang menjajahnya; tiap-tiap bangkitnya semangat nasional, tiap-tiap bangkitnya kemauan nasional, tiap-tiap lahirnya per­buatan dan fi’il nasional dari pada rakyat yang terperintah, tentulah mendapat aduan dari pada rakyat yang memerintah itu. Oleh karena itu, maka perkara ini tampaknya pada kita sebagai suatu perkara warna-kulit, suatu perkara bangsa, suatu perkara r a s . Sebagai yang dikatakan oleh Mr. Duys yang sosial-demokrat ini mengatakannya dalam ia punya pidato­-pidato pembelaan, maka perkara ini adalah menunjukkan perbedaan: Parket yang tak menghalang-halangi hasutannya orang lain (bangsa Belanda), parket itu juga memerkarakan hasutan-hasutannya terdakwa (bangsa Indonesia). “Selamanya adalah studen-studen yang revolusioner; apakah sebabnya studen-studen Belanda tidak patut dihukum, sedang studen-studen Indonesia patut dihukum?” “Kalau studen-studen ini patut dihukum, maka saya barangkali meringkuk seumur hidup dalam penjara.”

Kita ulangi lagi: perkara ini tampaknya pada kita ialah sebagai perkara warna-kulit. Dan oleh karena itu, maka untunglah saudara-saudara itu mendapatnya perkara tidak di Indonesia, – tidak di negeri jajahan Indonesia, tidak di dalam suatu negeri, di mana lapang pergulatan antara pertentangan-kepentingan dan pertentangan-butuh itu ada terletak, yakni tidak di dalam suatu negeri, di mana kebencian-warna-kulit atau rassenhaat itu berkobar setinggi-tinggi langit oleh karenanya.

Saudara-saudara kita bebas!

Apakah kita tidak harus mengucap terima kasih kepada majelis yang membebaskan saudara-saudara kita itu?

Kita tidak mengucap terima kasih. Kita tidak pula marah umpama­nya saudara-saudara kita itu tidak dibebaskan. Kita hanya memperhatikan sahaja. Sebab jikalau majelis itu membebaskan saudara-saudara itu, jikalau ia tak menuruti teriaknya kaum sana dan teriaknya pers kaum sana, maka ia berbuat begitu ialah oleh karena ia harus berbuat begitu. Ia membebaskan saudara-saudara kita itu, oleh karena saudara-saudara itu harus dibebaskannya, dan oleh karena saudara-saudara itu memang tidak melanggar artikel 131 hukum siksa, harus dilepaskan dari pada ancamannya artikel 131 itu tahadi. Ia hanya menjalankan apa yang mesti; ia hanya menetapi garis-garis kekuasaannya.

Kita, yang gembira mendengar kabar kebebasan itu, kita hanyalah mengucap hormat kepada Tuan-tuan Mr. Duys dan Mr. Mobach, yang dengan begitu gagah membela nasibnya saudara-saudara kita itu. Kita hanyalah mengucap hormat pada partai S.D.A.P. yang mempunyai anggauta­-anggauta sebagai dua advocaat ini adanya!

Dan sebagai yang kita tuliskan di atas, kita tak akan marah, apabila umpamanya saudara-saudara itu dijatuhi hukuman. Kita tidak akan dendam, apabila saudara-saudara itu berhubung dengan perkara ini dima­sukkan penjara lagi berbulan-bulan. Sebab apabila umpamanya majelis tahadi menjatuhkan hukuman pada saudara-saudara itu, apabila umpama­nya saudara-saudara ditutup lagi berbulan-bulan, maka itulah sudah kaum sana punya hak, itulah sudah haknya kaum, yang merasa terancam kepentingannya. Hanyalah kita juga mempunyai hak; kita juga mempunyai recht: recht kita sendiri dan rekhtnya alam, akan merebut kita punya kepentingan dan kita punya nasib, dengan jalan kita sen­diri dan cara kita sendiri. Haknya kaum sana hendaklah tinggal haknya kaum sana; hak kita sendiri hendaknya tinggal hak kita sendiri juga!

Dalam pada itu, maka adalah suatu pengajaran lagi yang harus kita ambil dari pada perkara. ini: Studie di negeri Belanda adalah kurang “aman” bagi pemuda-pemuda Indonesia yang tunduk dan turut akan sua­ranya sanubari nasional, kurang tenteram bagi pemuda-pemuda Indonesia yang tunduk dan turut akan panggilannya nationaal geweten. Untuk pemuda-pemuda yang demikian ini, untuk putera-putera Indonesia yang mengabdi kepada Ibu-Indonesia dengan segenap raga dan segenap jiwanya, untuk putera-putera Indonesia yang hatinya penuh dengan api-kemerde­kaan tanah-air dan bangsanya, maka “negeri-negeri luaran” sebagai Jerman, Perancis, Inggeris, Swiss, Amerika, Jepang dan lain-lain seba­gainya, adalah lebih aman dan lebih tenteram buat belajar.

Sekarang sudahlah beberapa studen Indonesia yang menghisap pengetahuan di uni­versitet-universitet dan hoogeschool-hoogeschool “negeri luaran” itu; dan jumlahnya makin lama makin tambah. Dan jikalau di kemudian hari tiada satu studen Indonesia yang belajar di negeri Belanda, jikalau di kernudian hari tiada satu studen Indonesia yang terdapat di atas bangku-­bangkunya sekolah-sekolah tinggi di Leiden, di Delft, di Rotterdam, di Amsterdam atau di Utrecht … jikalau di belakang hari semua pemuda­-pemuda kita sama belajar di sekolah-sekolah tinggi di negeri-negeri lain, di mana mereka tidak mendapat ajaran-ajaran yang berbau pada didikan­ menerima dan didikan-sabar, melainkan sebaliknya ialah mendapat didikan-merdeka dan didikan-menjunjung-derajat-bangsa, – maka bu­kanlah hal ini salahnya studen-studen Indonesia itu, bukanlah hal ini salahnya bangsa Indonesia, akan tetapi ialah salahnya kaum sana sendiri, dan salahnya bangsa Belanda sendiri!

Saudara-saudara kita bebas! Bahagialah saudara-saudara itu! Bahagialah Ibu-Indonesia yang mempunyai Putera-putera yang segagah itu!

Dan kamu, Mohammad Hatta, Abdul Majid, Ali, dan Nazir Pamuncak, kamu, putera-putera Indonesia, yakinlah, bahwa segenap rakyat Indonesia adalah berhangatan hati melihat sikapmu itu. Oleh karena itu, saudara-saudara, majulah, maju lagi di atas jalan yang kita lalui semua, maju lagi di atas jalan ke arah kemerdekaan Tanah-air dan Bangsa.

“Suluh Indonesia Muda”, 1928

Post a Comment

Previous Post Next Post