Pembaca sudah mengetahui semuanya:
Ir. A. Baars yang kita semua mengenalnya sebagai salah seorang penyebar benih Marxisme di Indonesia, yang berhubung dengan aksi revolusioner dalam tahun 1917 dikeluarkan dari jabatan Gupermen, yang sudah enam tahun ini tidak boleh menginjak Indonesia yang sesudah jatuhnya ia punya externering lantas masuk dalam dinasnya pemerintah Soviet, … Ir. A. Baars ini belum selang berapa lama telah menulis beberapa karangan dalam surat-surat-kabar “S.I.D. de Preangerbode” dan “Surabajaasch Handelsblad”, dengan ini menunjukkan, bahwa ia kini, oleh pengalaman-pengalamannya di negeri Rusia, sudah “bertobat” dari faham, yang bertahun-tahun menyerapi budi-akalnya: komunisme.
Berkali-kali ia dalam tulisan itu memperingatkan kita, janganlah kita mendekati komunisme itu; berkali-kali ia mengatakan, bahwa apa yang ia alami di Rusia itu hanyalah kekalutan dan kesengsaraan sahaja. Dan dengan ucapan, bahwa ia punya “meegevoelen sympathie”, ia punja rasa-cinta terhadap pada penduduk Indonesia masih “belum kurang kekuatannya”(?); dengan ucapan, bahwa ia masih sahaja berpendapat, bahwa penduduk Indonesia itu “harus menaik tempat yang lebih tinggi daripada apa yang sekarang sudah tercapai”,- maka ia bermaksud meyakinkan kita, bahwa ia punya peringatan dan ia punya nasehat itu hanyalah lahir dari pada hati yang sesuci-sucinya sahaja.
Marilah kita terus terang sahaja: Kita tidak mendapat keyakinan, bahwa tulisan-tulisan itu keluarnya ialah dari hati yang suci; tidak mendapat keyakinan, bahwa tulisan-tulisan itu keluarnya ialah dari pada “meegevoel en sympathie” terhadap pada kita yang “belum kurang kekuatannya”; tidak mendapat keyakinan, bahwa tulisan-tulisan bekas komunis ini, yang bukannya sahaja sekarang anti-komunisme, tetapi juga anti-sosialisme, dan juga anti-marxisme dalam umumnya, sebagaimana yang bisa dirasakan di antara kalimat-kalimatnya, ada suatu confessie atau pengakuan yang sesuci-sucinya dari pada seorang manusia, yang lebih dari sepuluh tahun menjadi pengikutnya, ya, salah seorang pahlawannya faham Marxisme itu sebagai faham, de marxistische leer an sich; – kita tidak mendapat keyakinan, bahwa tulisan ini, yang keluarnya dari penanya suatu orang, yang dulu tiada henti-hentinya ikut menuntut kemerdekaan tanah-air kita dan rakyat kita, tetapi yang sekarang di dalam karangannya itu tidak suatu kali menyebutkan perkataan merdeka itu, melainkan hanya mengatakan, bahwa kita ini “harus menaik tempat yang lebih tinggi dari apa yang sudah sekarang tercapai” sahaja, ada terpikul oleh perasaan terhadap pada kita yang sama dengan perasaan, yang mewahyuinya dalam tahun-tahun, tatkala ia didampingnya H. Sneevliet menjadi salah seorang penuntut kemerdekaan kita yang seluas-luasnya itu adanya.
Dan tidaklah pengiraan kita ini menjadi diperkuat, kalau kita mengajukan pertanyaan pula, apa sebab Ir. Baars, yang katanya mengarahkan kata-katanya itu terhadap pada kita, tidak memuatkan tulisannya itu di dalam surat-surat-kabar Indonesia, tetapi dalam surat-surat-kabar fihak sana, fihak yang tak sesuai dengan kita, fihak yang merintangi kita, fihak yang memusuhi kita? Tidakkah pengiraan kita ini diperkuat, tidakkah kita pantas menaruh syak-wasangka atas objectiviteitnya tulisan itu, kalau kita melihat, bahwa Ir. Baars hanya menyebutkan jeleknya dan bangkrutnya pemerintahan komunis sahaja, dan ia, tiada satu perindahan atau penghargaan sama sekali atas majunya perguruan di Rusia, majunya pendidikan badan, majunya pendidikan nasib kaum Yahudi dan lain-lain sebagainya, yang juga sudah diakui terang-terangan oleh lawan-lawannya faham komunisme itu?
Bahwasanya, … kita, kaum nasionalis, yang bukan kaum Bolshevis, yang tidak memeluk faham komunisme, yang juga mengetahui, bahwa faham pemerintahan Soviet itu dalam banyak hal sudah membuktikan celaka dan melesetnya, – akan tetapi yang untuk adilnya perkara, juga tidak mau membutakan akan beberapa hal-hal kemajuan, yang pemerintahan Soviet itu sudah bisa mencapainya dengan hasil yang baik, sebagai umpamanya kemajuan pengajaran dan lain sebagainya tahadi itu, kemajuan mana dengan bukti-bukti atau angka-angka telah dinyatakan pula oleh orang-orang yang juga datang ke Rusia, – kita menaruh syak-wasangka dan kita bertanya, apakah barangkali tidak ada lain-lain hal yang menggoyangkan penanya Ir. Baars mengeluarkan kritiknya terhadap suatu sistim dan faham, yang menjadi keyakinannya, iktikadnya, credonya bertahun-tahun lamanya itu. Kita, yang berdiri di tengah-tengah padang perjoangan merebut keadilan, hanyalah boleh memakai ukuran pengadilan itu pula terhadap pada apa sahaja, juga terhadap pada komunisme, juga terhadap pada hasil atau tidaknya pekerjaan Soviet-Rusia adanya.
Terhadap pada keadaan di Rusia ini, memang hampir semua kabar kurang adil. Terutama di zaman mula-mulanya Soviet-Republik itu berdiri, tatkala berjuta-juta manusia kelaparan, tatkala hampir semua bagian pergaulan-hidup di situ kacau susunannya, tatkala keadaan mendekati keadaan neraka, maka hanya sedikitlah manusia yang menunjukkan sikap kemanusiaan pula. Beberapa waktu yang lalu saya menulis:
“Untuk adilnya kita punya hukuman terhadap pada “prakteknya” faham Marxisme itu, maka haruslah kita ingat, bahwa “failliet” dan “kalang-kabut”nya negeri Rusia itu adalah dipercepat pula oleh penutupan atau blokkade oleh semua negeri-negeri musuhnya: dipercepat pula oleh hantaman dan serangan pada empatbelas tempat oleh musuh-musuhnya sebagai Inggeris, Perancis, dan Jenderal-jenderal Koltchak, Denikin, Yudenitch dan Wrangel; dipercepat pula oleh anti-propaganda yang dilakukan oleh hampir semua surat-kabar di seluruh dunia.”
Di dalam pemandangan kita, maka musuh-musuhnya itu pula harus ikut bertanggungjawab atas matinya limabelas juta orang yang sakit dan kelaparan itu di mana mereka menyokong penyerangan Koltchak, Denikin, Yudenitch dan Wrangel itu dengan harta dan benda: di mana umpamanya negeri Inggeris, yang menyokong membuang berjuta-juta rupiah untuk menyokong penyerangan-penyerangan atas diri sahabatnya yang dulu itu, telah “mengotorkan nama Inggeris di dunia dengan menolak memberi tiap-tiap bantuan pada kerja-penolongan” si sakit dan si lapar itu; di mana Amerika, di Rumania, dan Hongaria pada saat bencana itu pula, oleh terlalu banjaknya gandum, orang sudah memakai gandum itu untuk kayubakar, sedang di negeri Rusia orang-orang di distrik Samara makan daging anaknya sendiri oleh karena laparnya.
Bahwa sesungguhnya: luhurlah sikapnya H. G. Wells, penulis Inggeris yang masyhur itu, seorang yang bukan komunis, di mana ia dengan tak memihak pada siapa juga, menulis bahwa, umpamanya kaum Bolshevik itu “tidak dirintang-rintangi, mereka barangkali bisa menyelesaikan suatu experimen (percobaan) yang maha-besar faedahnya bagi perikemanusiaan …
Tetapi mereka dirintang-rintangi”.
Akan tetapi bagaimanakah sikap kita, kaum nasionalis, terhadap pada sosialisme atau komunisme itu dalam umumnya?
Sosialisme, sosial-demokrasi, komunisme adalah suatu reaksi, suatu faham-perlawanan terhadap pada kapitalisme, suatu faham-perlawanan yang dilahirkan oleh kapitalisme itu juga. Ia adalah anaknya kapitalisme, tetapi ia adalah pula suatu kekuatan yang mencoba menghancurkan kapitalisme itu juga. Ia tidak bisa berada dalam sesuatu negeri, di mana kapitalisme belum berdiri, dan ia tentu ada suatu negeri, jikalau negeri itu mempunyai aturan kemodalan, ia tentu ada suatu negeri, jikalau negeri itu susunan pergaulan-hidupnya ada kapitalistis.
Ia dalam hakekatnya bukanlah bikinannya beberapa orang “penghasut”, bukanlah anggautanya beberapa orang “penusuk” atau “pengadu”, bukanlah buah akalnya Karl Marx atau Friederich Engels atau Saint Simon atau Proudhon atau Lassalle, – ia adalah bikinannya, buahnya kapitalisme sendiri. Apa yang “penghasut-penghasut”, “pengadu-pengadu”, atau “penusuk-penusuk” itu kerjakan; apa yang Karl Marx, Friederich Engels, Lassalle dll itu adakan, hanyalah bangunnya dan caranya vorm dan metodenya reaksi atau faham-perlawanan itu sahaja adanya. Sebagai suatu bayangan yang ikut ke mana-mana, sebagai suatu musuh yang membuntuti lawannya ke tiap-tiap tempat, maka pergerakan sosialisme atau komunisme itu bisa didapatkan di mana sahaja kapitalisme terdapat: kapitalisme dan sosialisme adalah dua musuh yang tertalikan satu sama lain.
Dan begitulah, maka, walaupun sosialisme atau komunisme itu diperangi sehaibat-haibatnya atau ditindas sekeras-kerasnya, walaupun pengikut-pengikutnya dibui, dibuang, digantung, didrel atau dibagaimanakan juga: walaupun oleh penindasan yang keras dan pemerangan yang haibat ia kadang-kadang seolah-olah bisa binasa dan tersapu sama sekali, maka tiada henti-hentinyalah ia muncul lagi dan muncul lagi di negeri yang kapitalistis, tiada henti-hentinyalah ia membikin gemparnya kaum yang dimusuhinya, menyatakan diri di dalam riwayat dunia, sebagai di tahun 1848, di tahun 1871, di tahun 1905 dan di tahun 1917, – tiada henti-hentinya ia memperingatkan juru-riwayat yang menulis tambonya negeri-negeri Perancis, Jerman, Inggeris, Rusia, Amerika, dan lain-lain negeri kapitalistis di dalam abad kesembilanbelas dan abad kedua puluh, bahwa riwayat dunia-kapitalistis, tak dapatlah tertulis jikalau riwayat itu tidak dihubungkan dengan riwayatnya dan pengaruhnya pergerakan sosialisme atau komunisme tahadi.
Selama kapitalisme sendiri belum lenyap, selama sumber-asalnya sosialisme atau komunisme sendiri masih mengalir, selama aturan yang memeras tenaga dan kehidupan kaum buruh itu belum berhenti, maka reaksi di atasnya yang berupa pergerakan kaum buruh itu tidaklah bisa dihilangkan pula adanya.
Karena itu maka tak hairanlah kita, bahwa di negeri-negeri Asia, di mana kapitalisme sudah mulai berkembang, misalnya di negeri Jepang, Tiongkok, India dan lain-lainnya, timbullah pula suatu pergerakan kaum buruh yang sosialistis atau komunistis sifatnya; masuknya kemodalan di Asia juga diikuti oleh masuknya faham sosialisme dan komunisme. Pergerakan komunisme Tiongkok di bawah pimpinannya Li Ta Chao, pergerakan sosialis Jepang di bawah pimpinan Suzuki, kaum Bolshevik India yang dianjurkan oleh Manabendra Nath Roy, itu semuanya adalah suatu reaksi terhadap pada kapitalisme dan imperialisme yang mulai subur di negeri-negeri itu, yang makin lama makin berkembang dan menjalar. Dan walaupun pergerakan kaum buruh Tiongkok itu kini sudah hampir tersapu, walaupun hidupnya di Jepang sangat dirintang-rintingi oleh wet-wet dan aturan-aturan, walaupun ia di India belum mencapai tingkatan yang tinggi, walaupun dimana-mana diadakan propaganda anti sosialisme dan anti-komunisme, – maka pastilah ia esok lusa hidup lagi dan berdiri lagi, bergerak lagi di sana dengan lebih giat dari pada yang sudah; majunya industrialisasi dan imperialisme tak boleh tidak pasti menyebabkan majunya reaksi diatasnya juga.
Dan di Indonesia? Di negeri tumpah-darah kita? Indonesia pun tak akan hindar dari pada jurusan-jurusan atau tendenz-tendenz yang dilalui oleh negeri-negeri lain. Indonesia-pun tak akan hindar dari pada sociaal-economische praedestinatie, yang juga sudah menjadi nasibnya negeri-negeri Asia yang lain; tak akan bisa hindar daripada keharusan-keharusan yang sudah pula menetapkan jalan-jalannya susunan pergaulan-hidup negeri-negeri lain, yakni keharusan-keharusannya hukum evolusi, artinya: Indonesia juga akan menaiki semua tingkat-tingkat susunan pergaulan-hidup yang sudah dinaiki oleh negeri-negeri itu; – Indonesia juga akan meninggalkan tingkat susunan pergaulan hidup yang sekarang ini, dan akan naik keatas tingkat susunan pergaulan hidup yang kemudian, masuk kedalam zaman kepabrikan, masuk kedalam zaman kapitalisme yang sebenar-benarnya, sebagaimana yang sekarang memang sudah kentara adanya. Indonesia oleh karena itu juga tak luput mengenali “pengikutnya” kapitalisme itu; suatu pergerakan yang berazaskan sosialisme atau komunisme, sebagaimana yang memang sudah kita alamkan permulaannya pula.
Dan jika diperhatikan dengan jalan penyelidikan kita sekarang ini, jikalau diperhatikan dengan kita punya analisa sekarang, maka, walaupun pergerakan buruh dan tani itu dirintangi atau ditindas sekeras-kerasnya, walaupun perkataan komunisme sekarang sudah sama artinya dengan Digul, maka pastilah pergerakan ini, – entah kapan -, akan muncul lagi dan muncul lagi selama kapitalisme masih ada di Indonesia, pastilah saban-saban lagi timbul reaksi ini timbul, tidaklah dapat dikatakan sekarang atau dikira-kira lebih dulu, oleh karena tergantung dari pada sikapnya kaum yang dimusuhinya, akan tetapi bolehlah dipastikan lebih dulu, bahwa, selama kapitalisme dan imperialisme itu masih ada, pasti reaksi itu akan datang.
Akan tetapi, marilah kita kembali lagi pada yang kita hendak selidiki; sikap kita, kaum nasionalis, kaum kebangsaan, terhadap pada sosialisme atau komunisme itu.
Penyelidikan soal ini akan saya uraikan dalam karangan yang akan datang.
“Suluh Indonesia Muda”, 1928