Berikut Pandangan Islam Dalam Pemikiran Seorang Sukarno



Seperti yang kita ketahui bersama, Soekarno adalah seorang Muslim. Namun, ternyata Soekarno bukanlah lahir dari keluarga yang kental nuansa Islamnya. Sang ayahanda, Raden Sukemi Sosrodihardjo, lebih dikenal sebagai penganut kepercayaan teosofi Jawa atau Kejawen, meskipun secara formal beragama Islam. Sementara ibunda Soekarno, Idayu, bukan penganut Islam. Ibunda Bung Karno adalah seorang pemeluk agama Hindu-Bali.

Jadi, bila merujuk pada kategorisasi umat Islam Indonesia yang digagas oleh Antropolog Amerika Clifford Geertz, dapat dikatakan bahwasanya Soekarno berasal dari kalangan Islam abangan. Penganut Islam abangan sendiri memiliki arti secara identitas-formal menganut Islam, namun dalam praktiknya masih melakukan hal-hal maupun ritual yang bukan berasal dari agama Islam atau lebih tepatnya dari tradisi pra-Islam. Berdasarkan latar belakang keluarga seperti itu, maka bisa disimpulkan bila Islam yang dianut Soekarno merupakan Islam akulturatif, atau Islam yang telah berakulturasi dengan kultur lokal (Jawa).

Pro-Pluralisme dan Anti-Taqlidisme

Seiring dengan waktu, pemahaman Soekarno terhadap Islam secara lebih mendalam pun muncul tatkala Soekarno menginjak usia remaja dan tinggal di kediaman H.O.S Tjokroaminoto, tokoh Sarekat Islam (SI), di Surabaya. Melalui berbagai diskusi dan bacaan, Soekarno mulai mengenal Islam secara intensif ketika itu. Kesadaran diri sebagai seorang Muslim datang beriringan dengan kesadaran anti kolonialisme dalam diri Soekarno di masa remajanya.

Hal ini sangat dipengaruhi oleh keterlibatannya dalam kegiatan pergerakan yang diselenggarakan SI sebagai organisasi bergaris massa yang paling maju tendensi anti kolonialnya pada masa itu. Sehingga Islam yang berkembang dalam diri Soekarno adalah Islam yang anti penindasan dan anti penjajahan.

Tetapi, tetap saja cakrawala berpikir Soekarno tidak terbatas pada satu paradigma religiusitas ke-Islam-an saja. Ia juga menyerap ajaran-ajaran teologis lainnya yang hidup dalam alam pikiran masyarakat nusantara, dan itu makin memperkaya keyakinannya akan Sang Khalik.

Dalam buku “Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat” (1966), Soekarno berujar :
“ Tahun 1926 adalah tahun dimana aku memperoleh kematangan dalam kepercayaan. Aku beranjak berpikir dan berbicara tentang Tuhan. Sekalipun di negeri kami sebagian terbesar rakyatnya beragama Islam, namun konsepku tidak disandarkan semata-mata kepada Tuhannya orang Islam. Pada waktu aku melangkah ragu memulai permulaan jalan yang menuju kepada kepercayaan, aku tidak melihat Yang Maha Kuasa sebagai Tuhan kepunyaan perseorangan. Menurut jalan pikiranku, maka kemerdekaan seseorang meliputi juga kemerdekaan beragama,”
Dari pernyataannya ini, tampak jelas pengakuan Soekarno akan eksistensi ajaran teologis dari agama selain Islam yang hidup dalam masyarakat nusantara sejak lama. Selain itu, Soekarno juga telah mengakui adanya kemerdekaan beragama sebagai bagian dari kemerdekaan individu. Dalam pengertian lain, Soekarno telah menghargai pluralisme beragama sejak ia muda.

Upaya Soekarno mengkaji ajaran Islam makin intens ketika putra ‘sang fajar’ itu dibuang ke Ende, Flores oleh penguasa kolonial pada tahun 1933. Pada saat yang sama pula, Soekarno mulai menyatakan berbagai pemikirannya tentang Islam kepada para sahabatnya, salah satunya A.Hassan dari organisasi Persatuan Islam (Persis).

Ketika itu, beliau sering melakukan komunikasi via surat dengan para sahabatnya itu. Dalam surat-surat tersebut yang dikemudian hari dikenal sebagai “Surat-Surat Islam Dari Ende”–menjadi bagian dari buku Di Bawah Bendera Revolusi (DBR) Jilid I, Soekarno mengutarakan pandangannya mengenai Islam serta korelasinya dengan kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Salah satu pandangannya yang menarik adalah mengenai hukum syariat dan era kekhalifahan yang banyak diklaim kalangan Islamis sebagai masa ‘keemasan’ Islam. Berikut pandangan Soekarno mengenai hal itu seperti yang tertulis dalam Surat-Surat Islam Dari Ende (DBR Jilid I, 1964) :
“Islam harus berani mengejar jaman, bukan seratus tahun, tetapi seribu tahun Islam ketinggalan jaman. Kalau Islam tidak cukup kemampuan buat mengejar seribu tahun itu, niscaya ia akan tetap hina dan mesum. Bukan kembali pada Islam glory yang dulu, bukan kembali pada ‘zaman chalifah’, tetapi lari ke muka, lari mengejar jaman. Itulah satu-satunya jalan buat menjadi gilang gemilang kembali. Kenapa toch kita selamanya dapat ajaran, bahwa kita harus mengkopi ‘zaman chalifah’ yang dulu-dulu? Sekarang toch tahun 1936 dan bukan tahun 700 atau 800 atau 900?
Mengapa kita musti kembali ke zaman ‘kebesaran Islam’ yang dulu-dulu? Hukum Syariat? Lupakah kita, bahwa hukum Syariat itu bukan hanya haram, makruh, sunnah, dan fardlu saja? Lupakah kita, bahwa masih ada juga barang ‘mubah’ atau ‘jaiz’? Alangkah baiknya, kalau umat Islam lebih ingat pula kepada apa yang mubah atau yang jaiz ini! Alangkah baiknya kalau ia ingat bahwa ia di dalam urusan dunia, di dalam urusan statemanship, ‘boleh berqias, boleh berbid’ah, boleh membuang cara-cara dulu, boleh mengambil cara-cara baru, boleh beradio, boleh berkapal udara, boleh berlistrik, boleh bermodern, boleh berhyper-hyper modern’, asal tidak nyata di hukum haram atau makruh oleh Allah dan Rasul! Adalah suatu perjuangan yang paling berfaedah bagi ummat Islam, yakni berjuang menentang kekolotan. Kalau Islam sudah bisa berjuang mengalahkan kekolotan itu, barulah ia bisa lari secepat-kilat mengejar zaman yang seribu tahun jaraknya ke muka itu. Perjuangan menghantam orthodoxie ke belakang, mengejar jaman ke muka, perjuangan inilah yang Kemal Attaturk maksudkan, tatkala ia berkata, bawa ‘Islam tidak menyuruh orang duduk termenung sehari-hari di dalam mesjid memutarkan tasbih, tetapi’ Islam adalah perjuangan.’ Islam is progress: Islam itu kemajuan!”
Soekarno secara tegas menolak pandangan sebagian kalangan Islam yang memandang ‘kembali ke era khalifah’ sebagai tolok ukur kemajuan Islam. Ia juga menolak interpretasi hukum syariat secara kaku karena hal itu akan menyebabkan umat Islam menentang modernitas.

Terkait hal tersebut, Soekarno memang seorang Muslim yang modernis dan rasionalis. Ia secara tegas menganjurkan umat Islam untuk menyerap perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan (IPTEK) meskipun bukan produk peradaban Islam. Oleh karena itu pula Soearno sangat menentang kultur taklid dalam umat Islam. Taklid merupakan pola pengajaran agama Islam tanpa referensi yang logis dan mudah dipahami.

“Taqlid adalah salah satu sebab yang terbesar dari kemunduran Islam sekarang ini. Semenjak ada aturan taqlid, disitulah kemunduran Islam cepat sekali. Tak heran! Dimana genius dirantai, dimana akal fikiran diterungku, disitulah datang kematian.
….Saya sendiri, sebagai seorang terpelajar, barulah mendapat lebih banyak penghargaan kepada Islam, sesudah saya mendapat membaca buku-buku Islam modern dan scientific. Apa sebab umumnya kaum terpelajar Indonesia tak senang Islam? Sebagian besar, ialah oleh karena Islam tak mau membarengi jaman, karena salahnya orang-orang yang mempropagandakan Islam: mereka kolot, mereka orthodox, mereka anti-pengetahuan dan memang tidak berpengetahuan, takhayul, jumud, menyuruh orang bertaqlid saja, menyuruh orang percaya saja, mesum mbahnya mesum!
Bagi saya anti-taqlidisme itu berarti : bukan saja ‘kembali’ kepada Qur’an dan Hadits, tetapi ‘kembali kepada Qur’an dan Hadits dengan mengendarai kendaraannya pengetahuan umum.” –Soekarno dalam Surat Ende 1936 (DBR Jilid I, 1964).
Pandangan Soekarno tersebut mencerminkan sikap Soekarno yang tidak ‘mengharamkan’ produk kebudayaan modern seperti IPTEK yang notabene ‘lahir’ dari masyarakat non-Islam atau yang sering disebut sebagian umat Islam sebagai masyarakat ‘kafir’. Soekarno berpandangan bila hal itu baik bagi kemajuan umat Islam, maka tak ada salahnya diadopsi, meskipun tanpa menanggalkan sikap kritis umat Islam tentunya.

Api Islam

Soekarno sendiri tidak senang dengan sebagian kalangan Islam yang gemar sekali melontarkan kata-kata atau tudingan ‘kafir’ sebagai refleksi ketidaksenangannya terhadap kaum non-Islam. Padahal realitasnya hal itu justru menggambarkan sikap mereka yang terbelakang dan anti-kemajuan. Dalam Surat Ende 1936, Soekarno menegaskan :

“Kita royal sekali dengan perkataan ‘kafir’. Pengetahuan Barat-kafir; radio dan kedokteran –kafir; pantolan dan dasi dan topi-kafir; sendok dan garpu dan kursi-kafir; tulisan Latin-kafir; ya pergaluan dengan bangsa yang bukan Islam pun-kafir! Padahal apa yang kita namakan Islam? Bukan roh Islam yang berkobar-kobar, bukan api Islam yang menyala-nyala, bukan amal Islam yang mengagumkan, tetapi dupa dan kurma dan jubah dan celak mata! Siapa yang mukanya angker, siapa yang tangannya bau kemenyan, siapa matanya dicelak dan jubahnya panjang dan menggenggam tasbih yang selalu berputar-dia, dialah yang kita namakan Islam. Astagafirullah! Inikah Islam? Inikah agama Allah? Ini? Yang mengkafirkan pengetahuan dan kecerdasan, mengkafirkan radio dan listrik, mengkafirkan kemoderenan dan ke-up-to-date-an? Yang mau tinggal mesum saja, tinggal kuno saja, yang terbelakang saja, tinggal ‘naik onta’ dan ‘makan zonder sendok’ saja ‘seperti di jaman Nabi dan Chalifahnya’? Yang menjadi marah dan murka kalau mendengar kabar tentang aturan-aturan baru di Turki atau di Iran atau di Mesir atau di lain-lain negeri Islam di tanah Barat?”
Soekarno sangat tidak sepakat dengan kecenderungan sebagian orang Islam kala itu (bahkan hingga kini) yang terlalu gegabah menolak segala hal berbau modern sebagai produk kafir yang haram digunakan umat Islam. Dalam hal ini, watak progresif dalam keberagamaan Soekarno tampak dengan jelas melampaui zamannya.

Progresifitas Soekarno juga terlihat ketika ia menanggapi adanya pemikiran sebagian orang islam yang hanya memperhatikan hal-hal yang tidak substansial dalam agama. Terhadap kaum Islam yang semacam ini, Soekarno menjuluki mereka sebagai Islam Sontoloyo. Ia pun menuliskan pandangannya mengenai Islam Sontoloyo itu dalam sebuah artikel berjudul sama yang dimuat media Pandji Islam (1940) :
“Islam melarang kita memakan babi. Islam juga melarang kita menghina kepada si miskin, memakan haknya anak yatim, memfitnah orang lain, menyekutukan Tuhan yang Esa itu. Malahan yang belakangan ini dikatakan dosa yang terberat, dosa datuknya dosa. Tetapi apa yang kita lihat? Coba tuan menghina si miskin, makan haknya anak yatim, memfitnah orang lain, musyrik didalam tuan punya pikiran dan perbuatan, maka tidak banyak orang yang menunjuk kepada tuan dengan jari seraya berkata: tuan menyalahi Islam. Tetapi coba tuan makan daging babi, walau hanya sebesar biji asampun dan seluruh dunia akan mengatakan tuan orang kafir! Inilah gambaran jiwa Islam sekarang ini: terlalu mementingkan kulit saja, tidak mementingkan isi.”
Jadi, menurut Soekarno, seorang Muslim yang sejati haruslah paham substansi dari ajaran Islam. Karena bila tidak ada pemahaman semacam itu, maka yang terjadi adalah penyempitan makna islam hanya sebatas ‘pengharaman babi’ atau ‘penutupan aurat’ belaka.

Ada juga tindakan dan pemikiran Soekarno lainnya yang menentang diskriminasi terhadap kaum perempuan yang acapkali berlangsung atas nama Islam. Di awal tahun 1939, Soekarno telah membuat suatu ‘kehebohan’ dikalangan Islam. Kehebohan itu berawal ketika Ia dengan sikap tegas meninggalkan rapat umum organisasi Islam Muhammadiyah sebagai wujud protesnya terhadap pemasangan tabir antara laki-laki dan perempuan oleh panitia rapat.

Kekesalan itu ia tuangkan dalam sebuah tulisan yang muncul di Pandji Islam pada tahun yang sama. Tulisan itu ia beri judul ‘Tabir adalah Lambang Perbudakan’. Berikut uraian pendapat Soekarno mengenai tabir dalam tulisan tersebut :

“Saya anggap tabir itu sebagai suatu simbol. Simbolnya perbudakan perempuan. Keyakinan saya ialah, bahwa Islam tidak mewajibkan tabir itu. Islam memang tidak mau memperbudakkan perempuan. Sebaliknya Islam mau mengangkat derajat perempuan. Tabir adalah salah satu contoh dari hal yang tidak diperintahkan oleh Islam, tetapi diadakan umat Islam.”
Bayangkan, tabir pemisah antara laki-laki dan perempuan yang memang lazim digunakan dalam acara-acara yang diselenggarakan organisasi Islam pada masa itu (termasuk organisasi yang mengklaim diri modernis seperti Muhammadiyah), justru ditentang oleh Soekarno. Ia bahkan dengan tegas menyebut hal semacam itu sebagai simbol perbudakan perempuan. Sebuah sikap yang sangat progresif dan revolusioner , terutama dalam konteks zaman itu.

Demikianlah sebagian pemikiran Soekarno yang dapat dikatakan merepresentasikan pemikirannya secara keseluruhan terhadap Islam. Islam yang modernis, rasional, progresif, pluralis, humanis dan substansial. Paradigma ke-Islam-an semacam itulah yang dibutuhkan umat Islam Indonesia kini. Paradigma yang berbasiskan pada api Islam, bukan abu nya.

(Sumber : berdikarionline.com)

Post a Comment

Previous Post Next Post