Het daagt, omdat de haan kraait. Maar ten rechte is het:
De haan kraait, omdat het daagt.
… Muting, Digul, … Banda! Dan kawan kita Tjipto Mangunkusumo berangkat, membawa keluarganya, diiring oleh isterinya yang berani dan berbesar hati, – meninggalkan kita, yang buat beberapa tahun lamanya berdiri didamping-sisinya, dengan persamaan azas, persamaan tujuan, dan persamaan tindak. Buat ketiga kalinya maka Tjipto masuk ke dalam hidup-pembuangan, menjalankan hukuman yang dijatuhkan padanya oleh hak luar biasa daripada kaum yang memerintah; buat ketiga kalinya, ia mempersembahkan pengorbanannya terhadap pada Tanah-air dan Bangsa yang ia abdikan, dengan kepala yang tegak dan hati yang besar.
Dan kita, kawan-kawannya yang ia tinggalkan, kita kaum nasionalis Indonesia, kaum nasionalis Sumatera, kaum nasionalis Sunda, kaum nasionalis Jawa, kaum nasionalis lain-lain, – kita mengucap selamat jalan padanya, dengan kepala yang tegak dan hati yang besar juga. Sebab fajar sudah mulai menyingsing; ayam jantan karenanya sudah mulai berkokok. Tjipto dibuang, atau Tjipto tidak dibuang, … pergerakan maju, ke arah yang ditujunya, matahari tak urung akan terbit.
Sebagai yang kita tuliskan dalam “Suluh Indonesia Muda” yang kesatu; kita percaya akan keharusannya segala hal-hal yang terjadi; kita percaya, bahwa semua hal yang terjadi itu ada baik dan berfaedah bagi kesudahannya. Karena itulah kita berbesar hati!
Kita, kawan-kawannya, kita akan senantiasa memperingati katapesannya, yang ia maktubkan dalam ia punya surat terbuka di muka ini. Kita akan camkan ia punya pesanan, bahwa kita tak boleh “melupakan ikhtiar, walau bagaimanapun juga kecilnya, untuk membikin indahnya hari-kemudian menjadi seindah-indahnya”. Kita akan menunjukkan pada anak-cucu dan turunan kita, bahwa hidup kita ialah “bukan hidup yang sia-sia”, bahwa hidup kita ialah hidup berjoang.
Apakah pengajaran yang harus kita ambil dari pembuangan kawan Tjipto ini? Apakah cermin yang diperlihatkannya?
Pertama-tama: Caranya kawan Tjipto menjalankan pembuangan ini adalah mengajarkan pada kita, bahwa ikhtiar membikin indahnya hari kemudian itu ialah bukannya ikhtiar yang gampang dan ringan, akan tetapi ikhtiar yang susah-payah dan berat; suatu ikhtiar yang tak sudi akan penyerahan diri yang setengah-setengah, suatu ikhtiar yang menuntut penyerahannya segenap kita punya diri, segenap kita punya nyawa. “Men moet zich geheel geven; geheel. De hemel verwerpt het gesjacher met meer of minder.” Tjipto Mangunkusumo telah menunjukkan jalan dalam caranya mengabdi pada rakyat dan bangsa itu. Ia menuntun;
ia memberi contoh… Walaupun ia menderita kesengsaraan-rezeki; walaupun ia merasakan kemelaratan, yang terjadi oleh matinya ia punya perusahaan tabib; walaupun lijdensbeker ada sepenuh-penuhnya, maka dengan roman muka yang bersenyum ia memikul segenap beban yang ditimbunkan di atas pundaknya oleh pengabdiannya kepada rakyat dan bangsanya. “Laten wij er niet om huilen, en met droge ogen ook dit aanvaarden; verdiend of onverdiend …De geschiedenis van ons land vervolge haar weg.
Eist zij, om zich naar eis to kunnen afwikkelen, offers, welnu, wij geven haar vreugdevol die offers ook. En waarom ik dat offer niet zou mogen wezen, zou ik niet begrijpen. Meer! Ik zou jaloers zijn op degene, die offeren mag, wanneer ik veroordeeld werd tot enkel toezien …”, begitulah ia menulis pada Ir. Sukarno.
Inilah contoh dan pengajaran, yang kawan Tjipto Mangunkusumo berikan pada kita; pengajaran pengorbanan dan pengajaran kewajiban, der leer van het of fer, de leer van den plicht, pengajaran yang menyerapi segenap Baghavad Ghita, menyerapi segenap nasehat-nasehatnya Sri Krishna dengan arti, bahwa tiada suatu hal yang besar bisa tercapai, bila tidak dibeli dengan pengorbanan yang mahal, dan menyerapi nasehat-nasehat Sri Krishna itu dengan arti pula, bahwa tiap-tiap manusia harus melakukan kewajibannya dengan tidak menghitung-hitung apa yang nanti akan menjadi buahnya, tidak membilang-bilang apa nanti yang akan berikut.
Di dalam pengabdian terhadap kepada Ibu-Indonesia; di dalam menjalankan kewajiban-kewajibannya patriot, maka putera-putera Indonesia itu harus mempersembahkan dengan iman yang besar dan hati yang ridla segala pengorbanan-pengorbanan, walaupun bagaimana juga pahitnya, dan walaupun bagaimana juga getirnya. Selama putera-putera Indonesia belum cukup mempunyai kekuatan bersenyum manakala Ibu-Indonesia minta kebesaran-iman dan keridlaan hati atas pengorbanan yang sepahit-pahitnya dan segetir-getirnya, selama itu maka merekapun belum cukup kekuatan menerima hadiah yang diingininya. Selama mereka belum kuat memikul susah, selama itu mereka belum kuat memikul senang!
Di dalam arti inilah maka pengorbanan kawan Tjipto itu harus kita artikan. Apakah pengorbanan ini tidak akan sia-sia? Apakah ia akan berfaedah? Tiada pengorbanan yang sia-sia; tiada pengorbanan yang tak berfaedah; tiada pengorbanan yang terbuang. “No sacrifice is wasted”, begitulah Sir Oliver Lodge berkata.
Dari pengorbanan-pengorbanan hari sekarang itulah maka hari-kemudian akan terjadi; dari pengorbanan-pengorbanan hari sekarang itulah maka hari Indonesia Baru akan terlahir, lebih besar dan lebih mulia daripada Indonesia sekarang, ya, lebih mulia daripada Indonesia dahulu. “No sacrifice is wasted!” Karenanya putera-putera Indonesia, bekerjalah, bekerja, dan janganlah putus asa!
Bekerjalah, agar supaya pergerakan kita, usaha kita mencari keselamatan, bisa menjadi kuat. Sebab pembuangan kawan Tjipto Mangunkusumo, jatuhnya korban yang tiada berhentinya, adalah suatu bukti yang senyata-nyatanya, bahwa pergerakan kita itu, walaupun maju, masih lembek, – suatu bukti yang senyata-nyatanya, bahwa habislah kini temponya hidup berenak-enak dan habislah pula temponya bekerja setengah-setengahan. Bekerja sepenuh-penuhnya, membanting tulang, memeras tenaga, untuk menyusun kekuatan-kekuatan pergerakan kita dibikin menjadi sekuat-kuatnya, merapatkan golongan-golongan itu satu persatunya pula, itulah yang kini harus menjadi semboyan dan iktikad semua patriot Indonesia!
Tidakkah menyedihkan hati kiranya, bila satu fihak membela sampai habis-habisan, sampai dimasukkan penjara atau diasingkan, sampai dimasukkan neraka jahanam, sedang fihak yang dibelanya tak tahu akan menghargai pembelaan itu, tak tahu akan menyambut pengorbanan itu, dan tinggal enak-enak sahaja atau hanya bekerja setengah-setengahan? Tidakkah memutuskan asa kiranya, bila satu fihak menarik-narik dan menghela-hela sampai habis-habisan tenaga dan habis-habisan nyawa, sedang fihak yang lain hanya mau ditarik dan dihela sahaja dan tidak mau ikut menarik dan ikut menghela juga?
Tetapi syukurlah yang keadaan tidak begitu. Sebagai tanda-hidup dan tanda-sadar, sebagai tanda bahwa fajar memang sudah menyingsing, maka di mana-mana terdengarlah semboyan “bekerja” tahadi.
Di mana-mana asyiklah barisan-barisan kita memperkuat dirinya masing-masing, menggabung-gabungkan dirinya satu sama lainnya. Di mana-mana dimulainyalah usaha zelf-reconstructie dan usaha persatuan. “Suluh Indonesia” dan “Indonesia-Merdeka” digabungkan menjadi “Suluh Indonesia Muda”, dan kekuatan-kekuatan partai-partai kita digabung-gabungkan dan dikumpul-kumpulkan dalam P.P.P.K.I.
Dengan sesungguhnya! Tiadalah alasan buat berkecil hati … Tiadalah layaknya buat berputus-asa, – bahkan makin kencanglah rasanya darah kita berjalan dan makin hangatlah pukulan hati kita, kalau kita menengok fajar ini. Maju, maju … terus maju sahaja dengan tidak mundur selangkah, tidak berkisar sejari … maju, terus maju kearah keselamatan, begitulah jalannya pergerakan kita.
Karenanya, maka tiada seteteslah air-mata kith yang jatuh pada saat kawan Tjipto Mangunkusumo minta diri; tiada seteteslah air-mata yang menyuramkan pengelihatan kita pada saat saudara ini berpisah.
Dengan kepercayaan yang sepenuh-penuhnya akan jayanya hari kemudian; dengan yakin, bahwa satu kali saatnya pasti datang, yang matahari itu terbit, maka kita, kawan-kawannya sefaham, menyambut salamnya Tjipto Mangunkusumo itu dengan kata-kata: bukan “selamat berpisah”, tetapi “sampai ketemu lagi”!