Tradisi Bung Karno Sebagai Sang Orator


Bung Karno sudah sangat dikenal dengan kemampuan orasinya. Ia memang jago di atas podium. Kalimat-kalimatnya yang bertenaga mampu membuai pendengarnya sehingga mereka rela tinggal berjam-jam di bawah matahari untuk mendengarkan suara Bung Karno. Bahkan ia sempat diidentikan sebagai singa mimbar, beliau selalu mengaum ketika beridiri diatas mimbar pidato

Apakah resep yang dipakai Bung Karno sehingga mampu membius orang melalui kata demi kata yang meluncur lewat lidahnya itu? Apa yang harus disiapkan pengawal sebelum Bung Karno berpidato?

Mangil menuturkan semuanya melalui Kesaksian tentang Bung Karno 1945–1967, sebuah buku yang ia tulis.

Siapapun tahu Bung Karno pandai sekali berpidato. Setiap kali ia berpidato, setiap kali itu pula pendengarnya terhipnotis dan tidak akan meninggalkan tempat sampai kalimat terakhir. Melalui pidato-pidatonya ini, Bung Karno melecut semangat rakyat, menimbulkan rasa optimisme, dan menaikkan harga diri sebagai suatu bangsa.

Begitu pandai Bung Karno berpidato sehingga orang pun rela menghentikan pekerjaan yang sedang dilakukan untuk mendengarkan pidato Bung Karno, baik secara langsung maupun lewat pesawat radio. Di sebuah desa terpencil di Jawa Tengah pernah terjadi suatu pesta pernikahan tertunda gara-gara para tamu lebih tertarik mendengarkan pidato Bung Karno yang berapi-api itu.

Mangil menulis, Bung Karno memang memiliki bakat dan keterampilan luar biasa dalam berpidato. Kebetulan juga, Tuhan memberikan postur tubuh gagah kepada Bung Karno. Selain itu, Tuhan menganugerahi otak encer kepada dia. Kombinasi ini membuat pidato Bung Karno selalu menarik. Orang tak akan bosan meski mendengarkan pidato Bung Karno dalam waktu yang lama.

Keahlian Bung Karno berpidato ini juga diakui masyarakat internasional. Dengan gayanya yang gagah dan penuh gaya, Bung Karno membuat semua orang yang hadir dalam Sidang Umum PBB di New York terkesima. Tak hanya itu, dalam setiap kunjungan ke luar negeri, pidato Bung Karno selalu menarik perhatian.

Mungkin tak banyak yang tahu kalau Bung Karno mempunyai kebiasaan sebelum berpidato. Apa itu? Minum air putih. Bung Karno selalu minum air putih yang sudah dingin. Bukan dikasih air es, es, atau air yang dimasukkan di dalam lemari es. Tetapi, air putih yang dingin tanpa es. Air putih ini harus dimasak lebih dulu, alias tidak diambil langsung dari air sumur atau air leding.

Karena kebiasaan ini, Bung Karno pernah membuat para pengawal kalang kabut mencarikan air putih dingin. Ceritanya begini. Suatu ketika, Bung Karno meninjau daerah Aceh. Dalam perjalanan dengan mobil, di tengah perjalanan, Bung Karno didaulat rakyat Aceh untuk memberikan wejangan. Seperti biasa, sebelum berpidato, Bung Karno meminta air minum. Tentu saja, orang berebut ingin memberikan air minum kepada Bung Karno. ’’Saya minta air minum. Bukan air teh, kopi, atau bir.

Bapak hanya minta air putih yang sudah dimasak dan sudah dingin tanpa diberi es,’’ kata Bung Karno.

Mangil sendiri kalang kabut mencari air tersebut. Biasanya, para pengawal memang selalu menyediakan air minum dingin ini di tempat-tempat di mana Bung Karno akan berpidato atau memberikan wejangan. Tetapi, ini dalam perjalanan. Untunglah, salah seorang polisi negara yang sedang bertugas membawa air minum dingin ini. Dengan sedikit membungkukkan badan dan dengan senjata disandangkan ke badan, dia membukaveldfles (tempat air minum, Red) yang ia bawa dan berkata kepada Bung Karno, ’’Inilah air minum yang Bapak minta.’’ Lantas, Bung Karno meminjam gelas penduduk yang kebetulan rumahnya dekat dengan rombongan presiden berhenti. Setelah minum, barulah Bung Karno memulai pidato.

Karena pengalaman ini, Mangil di kemudian hari membentuk tim khusus yang harus menyediakan keperluan pribadi Bung Karno. Misalnya, selalu membawa minuman yang akan diteguk Bung Karno sewaktu-waktu. Tim ini beranggota para polisi pengawal pribadi dan dipimpin Sogol Djauhari. Tim ini selalu mengawasi makanan dan minuman Bung Karno di mana saja dan kapan saja. Bila Bung Karno bepergian jauh, dalam perjalanan ke luar kota atau daerah, anggota polisi pengawal pribadi yang duduk di dalam mobil harus selalu membawa perlengkapan yang selalu diperlukan presiden sewaktu-waktu. Misalnya, topi, payung, mantel, dan kacamata. Perlengkapan-perlengkapan ini sama sekali tidak boleh dilupakan.

Pada suatu ketika, Bung Karno dan rombongan dengan mengendarai mobil menuju lapangan terbang Kemayoran. Rencananya, Bung Karno akan berangkat ke Bali. Yang kebetulan mengawal Bung Karno di dalam mobil adalah Sardi. Ketika mobil yang membawa presiden berada di dekat rel kereta api dekat istana, Bung Karno minta kacamata untuk membaca surat. Ternyata Sardi lalai. Dia tidak memeriksa perlengkapan Bung Karno. ’’Godverdomme. Saya tidak akan berangkat kalau kacamata Bapak tidak ada,’’ kata Bung Karno dengan nada tinggi. Bung Karno marah. Sardi tampak kebingungan. Dia terus mencari-cari kacamata di sekitar tempat duduk depan. Sesampai di Kemayoran, Sardi menghampiri Tukimin, salah seorang pegawai kepresidenan. Tampaknya, Tukimin tahu betul apa yang dicari Sardi. Buktinya, ia mengacungkan kacamata yang ia bawa sambil tertawa. Tukimin inilah yang membawa kacamata Bung Karno yang tertinggal di istana. Setelah mengucapkan terima kasih, Sardi berlari lagi ke arah Bung Karno dan menyerahkan kacamata yang ia bawa. ’’Terima kasih, Di,’’ kata Bung Karno.

Ketika Bung Karno kembali dari Bali, Sardi berkata kepada Mangil, ’’Wah, seumur-umur belum pernah saya di-godverdomme oleh orang lain. Sampai beberapa hari habis dimarahi Bapak, saya tidak enak makan,’’ kata Sardi sambil tersenyum.

Dalam acara resmi, rapat resmi, rapat umum atau rapat raksasa, ketika Bung Karno akan berpidato, mikrofon dan pengeras suara harus selalu baik. Mangil juga membentuk tim khusus yang bertugas mengurusi peralatan audio ini, dari alat-alat sampai perekaman. Tim ini dipimpin Ali Slamet. Ia dibantu Soetimin. Dua orang inilah yang selalu melayani Bung Karno dalam urusan pidato. Ke mana saja Bung Karno pergi di Indonesia, kedua orang tersebut selalu ikut dengan membawa semua perlengkapan Bung Karno.

Sebenarnya resep apa yang dipakai Bung Karno sehingga piawai berpidato?

Mangil menulis, resep yang pertama adalah:

Pertama: Bung Karno menguasai betul sejarah Indonesia.

Kedua, Bung Karno memakai bahasa yang mudah dimengerti rakyat.

Ketiga, Bung Karno pandai berimprovisasi.

Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh Bung Karno dikembangkan sendiri dengan kreatif. Tak seperti para pemimpin nasional lain ketika itu. Mereka ini lebih banyak menguasai sejarah asing. "Juga, cara berpikir mereka kebanyakan selalu textbook thinking," kata Bung Karno.

Selain orator ulung, Bung Karno ini penggembleng yang baik. Ketika berada di Yogyakarta, bertempat di belakang istana, secara periodik, Bung Karno menggembleng para wanita. Materi yang diajarkan adalah kursus politik. Pesertanya terdiri atas para wanita, remaja putri, pelajar putri, dan mahasiswi. Kursus ini selalu dibanjiri peserta. Setiap Bung Karno selesai memberikan pelajaran, bahannya selalu ditulis, kemudian dibundel jadi satu oleh Mualif Nasution dan Gunadi. Keduanya adalah pegawai Sekretariat Presiden. Hasil bundel ini lalu dibukukan dan diberi judul Sarinah.

Sarinah adalah nama wanita yang mengasuh Bung Karno ketika kecil. Wanita inilah yang memberikan petunjuk-petunjuk yang sangat berguna bagi Bung Karno. Sarinah adalah inspirasi bagi Bung Karno. Karena diabadikan dalam kumpulan tulisan itu, nama Sarinah pun menjadi terkenal. Tak hanya di dalam negeri, tetapi juga di luar negeri.

(sumber : penasoekarno.wordpress.com)

Post a Comment

Previous Post Next Post