Ada banyak cara untuk merenung pada saat negeri ini memperingati kemerdekaan. Namun satu hal yang tidak bisa dilupakan adalah mengingat sosok Soekarno atau Bung Karno (BK). Mengapa demikian? Keith Loveard dalam tulisan panjangnya di Asiaweek mengatakan, di seluruh wilayah Indonesia yang membentang 5.000 km, satu nama sinonim dengan nasionalisme Indonesia adalah Soekarno. Ia adalah pendiri negara dan arsitek kemerdekaan negeri ini. “Bagi banyak orang, kenangan atas presiden pertama itu ada kaitannya dengan impian tentang bagaimana Indonesia harus dibangun,” tutur Loveard (halaman 1).
Soekarno jelas manusia biasa yang tak luput dari cacat. Tetapi jutaan warga negeri ini tetap terkagum-kagum pada pemimpin yang punya banyak kelebihan itu. Dari soal harta, misalnya. Pada saat kita bisa melihat harta para pejabat negara sekarang yang bermiliar-miliar —yang entah dari mana sumbernya— harta Soekarno sangatlah kecil sekali.
Dalam bukunya, Sukarno, An Autobigraphy as Told to Cindy Adams (1966), Bung Karno antara lain mengatakan (halaman 157), “Dan adakah seorang Kepala Negara lain yang melarat seperti aku dan sering meminjam-minjam dari ajudannya? Gajiku 200 dolar AS sebulan dan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan keluargaku. Dari segi keuangan tidak banyak kemajuanku semenjak dari Bandung (pada dasawarsa 1920-an).”
Dalam sebuah cerita, Presiden Soekarno pernah didatangi oleh seorang pelukis yang jadi sahabatnya. Sang pelukis itu sangat memerlukan uang untuk membeli obat bagi istrinya yang sakit. Ia pun datang pada Bung Karno untuk menjual lukisan itu. Tetapi Kepala Negara itu tidak punya uang. Jadi ia menawarkan pulpen yang ada tanda tangannya untuk dijual. Sang pelukis tidak mau karena butuh uang dan pamit pulang. Bung Karno mencegahnya dan kembali masuk ke kediamannya. Dia pun berkata, “Begini Bung, kebetulan istriku ada sedikit uang. Saya meminjamnya, tapi masih kurang. Jadi nanti kalau saya punya uang, kekurangannya saya bayar.”
Mengharukan memang. Bagaimana seorang kepala negara tidak punya uang hingga seperti itu? Bagaimana Bung Karno sering dibelikan baju oleh para diplomatnya kalau ke luar negeri karena melihat baju presidennya yang sangat sederhana? Soekarno memang bukan tipe pemimpin haus harta.
Kesukaannya pada karya seni sangat terkenal. Ini terlihat dari Majalah terkemuka Amerika National Geographic edisi Indonesia, bulan Agustus 2008 yang menunjukkan foto Bung Karno di ruang kerjanya yang penuh lukisan. Foto yang dipakai sebagai sampul ini adalah foto 1956.
Bung Karno juga seorang kutu buku yang luar biasa. Penguasaannya atas sejumlah bahasa asing plus kemampuan pidatonya yang istimewa menjadikan dia menjadi orator tanpa tanding. Ia mampu mempersatukan dari begitu banyak latar belakang etnik, budaya dan agama dengan lidahnya, tanpa menumpahkan setetes darah pun.
Kemampuan Soekarno itu tentu diperoleh melalui proses, tetapi jelas buku-buku adalah bagian penting dari proses itu. Saat masih remaja, Soekarno sudah sering tenggelam menikmati beragam buku di perpustakaan ayahnya. Kemudian, seperti ditulis Howard Palfrey Jones dalam bukunya, Indonesia: The Possible Dreams, tahun-tahun dalam penjara dan pengasingan adalah tahun-tahun pendidikan. Ia membaca dan membaca —semuanya yang dapat diperolehnya. Tetapi ia paling menginginkan buku-buku tentang sosialisme dan revolusi; buku-buku yang akan mengajarinya bagaimana mengorganisasi (rakyat) melawan Belanda, buku-buku yang akan memberinya pandangan tentang revolusi.
Bertemu Para Tokoh
Bertahun-tahun kemudian, tulis mantan Duta Besar AS di Indonesia, itu Bung Karno melukiskan pengalamannya membaca buku-buku di penjara:
“Aku bertemu di alam pikiran dengan Tom Paine. Aku bertemu dan berbicara dalam alam pikiran dengan para pemimpin Revolusi Prancis, aku bertemu dengan Mirabeau; aku bertemu dengan Moreau; aku bertemu Danton; aku bertemu dengan para pemimpin revolusi wanita di Paris. Dan dalam alam pikiran aku bertemu dengan para pemimpin Jerman. Aku bertemu Herr Alterfritz, Frederic Agung. Aku bertemu Wilhelm Lieplat dan, ya, kemudian aku bertemu juga dengan Marx, Karl Marx. Aku bertemu dengan Adolf Berstein. Aku bertemu dengan Friedrich Engels.” (halaman 187).
Bertahun-tahun kemudian, tulis mantan Duta Besar AS di Indonesia, itu Bung Karno melukiskan pengalamannya membaca buku-buku di penjara:
“Aku bertemu di alam pikiran dengan Tom Paine. Aku bertemu dan berbicara dalam alam pikiran dengan para pemimpin Revolusi Prancis, aku bertemu dengan Mirabeau; aku bertemu dengan Moreau; aku bertemu Danton; aku bertemu dengan para pemimpin revolusi wanita di Paris. Dan dalam alam pikiran aku bertemu dengan para pemimpin Jerman. Aku bertemu Herr Alterfritz, Frederic Agung. Aku bertemu Wilhelm Lieplat dan, ya, kemudian aku bertemu juga dengan Marx, Karl Marx. Aku bertemu dengan Adolf Berstein. Aku bertemu dengan Friedrich Engels.” (halaman 187).
Soekarno juga mengatakan: “Aku bertemu dengan Mazzini, dengan Garibaldi, dengan Plekanov, dengan Trotsky, dengan Lenin, dengan Gandhi, dengan Mustafa Kemal Ataturk, dengan Ho Chi Minh,dengan Sun Yat Sen, dengan Saygo Takamori. Aku bertemu Nehru, dengan Mohammad Ali Jinnah, dengan Jose Rizal Mercado, yang ditembak mati oleh Spanyol pada tahun 1903. Aku bertemu Thomas Jefferson dan Abraham Lincoln.”
“Begitulah setelah bertemu —setelah berbicara dengan semua pemimpin besar itu— aku menjadi yakin bahwa manusia itu satu (sama),” kata Bung Karno.
Howard Jones pun mengaku, ia sering melongo menyaksikan otak gajah Bung Karno karena dalam pidatonya pemimpin Indonesia itu mampu mengutip panjang kata-kata Jefferson, Lincoln atau pun Karl Marx persis dalam bahasa aslinya.
(sumber : penasoekarno.wordpress.com)
Tags
Artikel