Di manakah tinjumu? Di manakah kekuatan yang menghancurkan
segala hal yang melawan? OK Gelijk de grote ocectan doordrongen is van het,
zout, zo is mijn leer doordrenkt van de geest der bevrijding.
Huila Vagga,
Dalam “Suluh Indonesia Muda” nomor tiga, maka Ir. J. ada
membentangkan pendapat-pendapatnya tentang problim agraria, yakni soal
bagaimana kita bisa menolong rakyat tanah Jawa dari kemelaratan yang
bertambah-tambah haibatnya itu, dan yang terjadi oleh karena makin lama makin
banyaklah jumlah rakyat yang memakan hasilnya tanah Jawa itu.
Bertambah-tambahnya penduduk itu adalah terjadi oleh karena jumlah orang
meninggal dunia saban tahunnya ada lebih kecil daripada jumlah orang yang
dilahirkan; dan oleh sebab bertambahnya rakyat ini tidak diikuti oleh tambahnya
hasilnya bumi yang sepadan, maka niscayalah makin lama makin kecil sahaja
bagian masing-masing orang dalam pembagian rezeki tanah Jawa itu.
Adapun banyaklah obat untuk mencegah kerasnya penyakit ini:
kita bisa menambah luasnya tanah yang dipakai untuk sawah atau tegalan; kita
bisa memperbaiki cara pertanian, sehingga hasil sebahu-bahunya bisa bertambah;
kita bisa mengadakan kepabrikan (industri), di mana banyak orang bisa bekerja
dan mendapat penghidupan; atau kita bisa memindahkan sebagian rakyat tanah Jawa
itu ke lain-lain pulau Indonesia, misalnya Sumatera. Akan tetapi sukarlah semua
obat ini bisa tercapai dalam sebentar tempo. Menambah sawah atau tegalan
tahadi; mengadakan cara pertanian yang lebih menghasilkan; mengadakan
kepabrikan; memindahkan rakyat dengan beratus-ratus ribu kepulau lain, itu
semuanya bukanlah hal-hal yang bisa terjadi dalam sebentar tempo. Inilah
sukarnya problim agraris tahadi!
Adapun Ir. J. telah menunjukkan pula obatnya: hendaklah
katanya, kita menyokong modal-modal asing di lain-lain pulau Indonesia itu
dengan menyumbangkan berketi-keti kaum buruh dari tanah Jawa, supaya mereka
mendapat penghidupan; hendaklah, untuk hal itu aturan poenale sanctie itu
dihapuskan dan diganti dengan aturan kerja-merdeka! Penyokongan pada modal
asing itu adalah perlu, katanya, oleh karena, selainnya menolong kemelaratan
rakyat tanah Jawa itu, hal itu niscaya pula menolong pulau-pulau tahadi: sebab
suburnya modal asing itu niscayalah mendatangkan kemakmuran, dan niscayalah
mendatangkan jalan-jalan kereta-api, jalan-jalan pelayaran dan lain-lain. Dan
jikalau kita tidak mufakat akan “obat” ini, jikalau kita tidak setuju akan
penyokongan modal asing itu, maka Ir J menanya pada kita: “Di manakah tinjumu?
Di manakah kekuatan yang menghancurkan segala hal yang melawan?”
Sebab katanya, “kekuasaan modal itu a d a ; dan modal itu
bertambah-tambah sahaja memperkuat diri dengan air-penghidupan dari dalam dan
dari luar, walaupun kita mencegahnya”.
Begitulah pendiriannya Ir. J.
Sebelum kita menguraikan apa sebabnya kita tidak setuju dengan
pendirian yang semacam itu, maka berfaedahlah agaknya, jikalau kita lebih
dahulu menyelidiki soal “terlalu-banyaknya-rakyat”, yakni soal overbevolking
tahadi.
Adapun soal overbevolking itu, pada hakekatnya tidaklah
tergantung dari berapa banyaknya penduduk, dan tidaklah tergantung dari berapa
sesaknya negeri di mana penduduk itu berdiam. Soal overbevolking adalah soal
rezeki; adalah soal yang mengajukan pertanyaan atas cukup atau tidaknya makanan
dalam negeri tahadi! Sebab, tidakkah banyak negeri yang penuh sesak dengan
penduduk, di mana, oleh banyaknya rezeki, overbevolking itu tidak terasa?
Tidakkah banyak pula negeri, yang sedikit sekali penduduknya, di mana
rakyatnya, karena kurangnya makanan, sama pindah ke negeri lain? Kita
mengetahui, bahwa, umpamanya dalam tahun 1910, di negeri Jerman yang mempunyai
penduduk 120 orang dalam tiap-tiap kilometer persegi, hanya 25.531 oranglah
yang meninggalkan negeri itu untuk mencari penghidupan di negeri lain; dan kita
mengetahui, bahwa dalam tahun 1910 itu juga, di negeri Oostenrijk-Hongaria,
yang penduduknya hanya 76 orang sekilometer persegi, jumlah rakyat yang pindah
ke lain negeri adalah sampai 278.240, – yakni hampir sebelas kali jumlahnya
orang yang keluar dari negeri Jerman tahadi itu!
Bahwasanya: soal “overbevolkt” atau tidaknya tanah Jawa itu,
hanyalah tergantung dari cukup atau tidaknya rezeki tanah Jawa itu pula:
hanyalah ia tergantung dari banyak-sedikitnya makanan; dan tidaklah ia
tergantung dari jumlah penduduk sekilometer-kilometer perseginya!
Betul jumlah rakyat tanah Jawa itu makin lama makin tambah;
betul tambahnya itu begitu cepat, sehingga Dr. Bleeker dalam tahun 1863 berani
mengatakan, bahwa jumlah rakyat tanah Jawa itu dalam tiap-tiap 35 tahun akan
menjadi lipat dua kali ganda besarnya; betul dalam tiga puluh lima tahun antara
1865 dan 1900 teori Dr. Bleeker itu ada cocok dengan keadaan yang sebenarnya;
betul untuk tahun-tahun yang belakangan ini, maka tempo menjadinya dua kali
ganda itu oleh Kerkkamp masih ditetapkan atas 42 tahun; – pendek kata: betul
tanah Jawa itu rakyatnya cepat sekali bertambahnya; (walaupun teori-teori
Bleeker dan Kerkkamp itu dua-duanya tidak cocok buat selama-lamanya); dan betul
tanah Jawa itu kalau dibandingkan dengan negeri-negeri lain sudah sesak sekali,
– akan tetapi, apakah kiranya di tanah Jawa itu ada penyakit “overbevolking”,
jikalau cepat-naiknya jumlah rakyat itu diikuti oleh jumlah naiknya rezeki yang
sepadan? Dan apakah si-Jawa itu sampai menderita kelaparan, bilamana
persediaan makanan baginya ada cukup?
Memang, memang! Baik sekalilah adanya, kalau sebagian rakyat
Jawa itu bisa pindah ke Sumatera; baik sekali kalau pindahan rakyat itu bisa
lekas terjadi. Akan tetapi apakah yang harus kita perbuat, kalau pemindahan
rakyat itu tidak bisa terjadi dengan sesungguh-sungguhnya sebagai sekarang ini;
apakah yang harus kita ikhtiarkan terhadap pada emigrasi ini, jikalau emigrasi
itu sampai sekarang hanya kecil-kecilan sahaja, dan tidak beratus-ratus ribu
sebagai yang diinginkan oleh Ir. J. itu?
Poenale Sanctie! Baik, kitapun mengharap dan mendoa,
moga-moga poenale sanctie itu lekas musna dari dunia ini; kitapun mengerti,
bahwa aturan-kerja sebagai budak-belian itu mengurangkan nafsu rakyat tanah
Jawa buat menyerahkan diri dalam tangannya “werek”; kitapun mengerti, bahwa
nafsu mencari kerja di lain pulau itu niscaya menjadi lebih besar, jikalau
poenale sanctie itu dihapuskan; – akan tetapi kita tidak percaya, bahwa
lenyapnya poenale sanctie itu sahaja akan bisa memindahkan beratus-ratus ribu
kaum buruh dari tanah Jawa tiap-tiap tahun, walaupun disokong oleh siapa juga,
kita tidak percaya, bahwa hapusnya poenale sanctie itu sahaja bisa menjadi obat
yang mustajab bagi penyakit “overbevolking” di tanah Jawa. Sebab emigrasi itu
tidaklah tergantung dari ada atau tidak adanya salah suatu aturan. Emigrasi
adalah suatu soal rezeki!
Karenanya, tidak pertama-tama berhubung dengan harapan akan
emigrasi inilah, maka kita ingin akan lenjapnya poenale sanctie itu. Kita
menuntut dicabutnya, ialah dengan alasan-alasan rasa-kemanusiaan; kita menuntut
hilangnya, ialah oleh karena aturan itu ada aturan yang hina! Marilah kita
melanjutkan penyelidikan kita tentang soal overbevolking di tanah Jawa itu.
Jikalau kita ingin mengerti betul-betul akan soal itu, jikalau kita ingin
mengerti dengan terang-benderang akan naik ‑ turunnya jumlah penduduk tanah
Jawa itu, maka haruslah kita mengetahui pula jalannya politik atau susunan
ekonomi sediakala; haruslah kita mengenali betul-betul segala keadaan yang
berpengaruh atas soal tahadi itu. Sebab keadaan jumlah penduduk dalam sesuatu
negeri, adalah berhubungan rapat dengan aturan politik dan susunan ekonomi di
negeri itu pula.
Perhatikanlah angka-angka di bawah ini:
Penduduk tanah Jawa tiap-kilometer perseginya, ialah:
Dalam tahun 1810………………….
29 jiwa
“ “ 1830…………………. 54 “
“ “ 1850…………………. 72 “
“ “ 1860…………………. 96 “
“ “ 1870………………….124 “
“ “ 1880………………….150 “
“ “ 1890………………….181 “
“ “ 1900………………….218 “
“ “
1905………………….226 “
Jadi tambahannya penduduk tanah Jawa itu adaah sebagai
berikut :
1810 sampai 1830
………………. 86 % atau 4,3
% tiap tahunnya
1830 “ 1850 ……………… 33 %
atau 1.65 % “
1850 “ 1860 ……………… 33 %
atau 3,3 % “
1860 “ 1870 ……………… 29 %
atau 2,9 % “
1870 “ 1880 ……………… 21 %
atau 2,1 % “
1880 “ 1890 ……………… 20,6 % atau 2,06 % “
1890 “ 1900 ……………… 20,5 % atau 2,05 % “
1900 “ 1905 ……………… 5
% atau 1 % “
Bukankah dengan angka-angka di atas ini tampak dengan
seterang-terangnya perhubungan antara tambahnya penduduk tiap-tahunnya dengan
aturan politik atau susunan ekonomi? Sebab, bukankah cepat naiknya jumlah
penduduk diantara 1810 dan 1830 itu ialah terjadi oleh perobahan-perobahan
yang diadakan oleh Raffles, yang politiknya ada “vrijzinnig” (bebas), jikalau
dibandingkan dengan politiknya orang Belanda pada masa itu, dan yang “membikin
tempo pemerintahannya yang pendek itu sebagai salah satu dari yang paling
penting dalam seluruh riwayat tanah Jawa”? Bukankah turunnya persentase antara
1830 dan 1850 itu ialah terjadi oleh kerasnya tindasan cultuurstelsel, yang mulai
1830 diderita oleh rakyat tanah Jawa?
Bukankah naiknya lagi persentase sesudah itu antara 1850 dan
1860 ialah terjadi dari bangkrutnya politik cultuurstelsel dan mulainya
perlawanan politik liberal terhadap politik yang “kuno”, sedang mulai masa itu
pula sebagian rakyat tanah Jawa bisa sedikit-sedikit mencari penghidupan dalam
onderneming-onderneming dan lain-lain perusahaan? Dan bukankah turunnya lagi
persentase sesudahnya tahun 1860 itu ialah terjadi dari masuknya tanah Jawa
dalam masa modern kapitalistis?
Sesudahnya tahun 1860, teristimewa sesudahnya tahun 1870,
maka menanglah sama sekali politiknya kaum burjuasi liberal dalam pertandingan
terhadap pada politiknya kaum kuno itu; dan sebagai angin penyakit yang makin
lama makin jahat, masuklah modal asing di tanah Jawa. Tindasannya
cultuurstelsel adalah diganti dengan gencetan modal asing; perasannya politik
“batig slot” diganti dengan isapannya politik “zoet dividend”; itulah sebabnya,
maka semenjak 1870 persentase tambahnya rakyat itu makin lama selalu makin
kecil sahaja adanya!
Tetapi, walaupun tindasan dan perasan dan isapan yang sangat
itu, walaupun selalu mundurnya persentase tahadi, maka kekuatan-hidup atau
vitaliteitnya rakyat tanah Jawa adalah tak terhingga besarnya. Walaupun
kesengsaraan yang dideritanya, walaupun “via dolorosa” yang dijalaninya, maka
masihlah besar sekali jumlah penduduk tanah Jawa di tiap-tiap kilometer persegi
jikalau dibandingkan dengan rakyat tani di negeri-negeri asing: Hanya
sedikitlah negeri-negeri di muka bumi ini, yang mempunyai penduduk lebih dari
260 jiwa sekilometer perseginya sebagai tanah Jawa itu!
Bukti atas perhubungan antara tambahnya penduduk
(bevolkingsaanwas) dengan aturan politik atau susunan ekonomi di atas ini,
adalah perlu sekali, oleh karena setengah orang mengira, bahwa, – oleh sebab
menurut pendapatnya overbevolking itu terjadinya hanya karena tambahnya
penduduk yang terlampau cepat itu sahaja -, penyakit itu bisa kita obati
dengan mencegali bevolkingsaanwas itu pula.
Mereka mengira, bahwa bahaya overbevolking ini bisa
dicegahnya dengan memberi pendidikan pada rakyat supaya mengurangi nafsunya
mengadakan turunan. Mereka tak mengerti, bahwa “obat” ini mustahil bisa
terjadi. Tak mengerti, bahwa pendidikan mencegah turunan ini akan hancur dan
binasa berbentusan dengan tabiatnya manusia; tak mengerti, bahwa jalan yang
satu-satunya untuk mencegah tambahnya penduduk itu ialah penindasan dan
perasan sahaja, yang lebih sangat dan lebih keras daripada tindasan dan perasan
cultuurstelsel umpamanya!
Kembali lagi pada penyelidikan kita: Di atas kita sudah
menulis bahwa, kalau bisa, kita setuju akan emigrasi yang secepat-cepatnya
kelain pulau Indonesia. Tetapi kita tak percaya, bahwa hapusnya poenale sanctie
itu sahaja bisa menarik beratus-ratus ribu manusia dari tanah Jawa, walaupun
“akal” atau “sokongan” yang bagaimana juga. Kita tidak percaya atasnya, oleh
karena, sebagai yang sudah kita terangkan di atas, emigrasi itu ialah suatu
kejadian yang tergantung dari rezeki.
Artinya: Selama sesuatu rakyat dalam negerinya sendiri masih
ada “jalan” dalam pencahariannya rezeki, selama rakyat itu masih bisa mencari
“akal” di negerinya sendiri dalam urusan penghidupannya, – selama itu, maka,
walaupun “jalan” atau “akal” itu kiranya ada sukar dan susah, tidaklah rakyat
itu meninggalkan negerinya untuk mencari penghidupan di negeri jauh. Selama
rakyat tanah Jawa masih ada “jalan” dan “akal” itu -, selama itu maka, walaupun
keadaan ekonominya sudah sengsara atau lehernya hampir tercekek sebagai keadaan
sekarang ini, jumlahnya emigran tentulah tetap kecil sahaja. Selama itu, maka,
walaupun kita berusaha keras untuk emigrasi itu, pastilah tetap kecil sahaja
hasil segala usaha kita itu. Sebab begitulah memang tabiatnya rakyat!
Riwayat emigrasi mengajarkan pada kita, bahwa emigrasi itu
hanyalah bisa terjadi dengan sungguh-sungguh, jikalau segala sumber penghidupan
di negeri sendiri memang sudah tertutup sama sekali adanya. Akan tetapi,
bilamana emigrasi itu sudah terjadi; bilamana pada sesuatu masa beratus-ratus
ribu atau berjuta-juta rakyat sudah sama meninggalkan negerinya untuk mencari
penghidupan di negeri lain, maka riwayat-dunia menunjukkan, bahwa aliran
rakyat-pindah itu pada suatu ketika berhenti pula. Sebab dalam pada itu, negeri
sendiri lalu berobah pula.
Dalam pada itu, negeri sendiri lalu mengadakan perobahan
dalam caranya mencari rezeki: mengadakan perbaikan cara bertani, mengadakan
perbaikan pertukangan (nijverheid); dan mulailah dalam negeri sendiri itu
timbul suatu kepabrikan (industri), yang memberi kerja dan penghidupan pada
bagian rakyat yang masih “lebih”, sehingga “kelebihan” rakyat ini seolah-olah
diisap lagi oleh pergaulan hidup di negeri sendiri tahadi adanya. Kita
mengambil pelajaran dari riwayat-dunia, bahwa semua emigrasi itu terjadinya
ialah dalam masa, yang mendahului suburnya cara pencaharian rezeki atau
suburnya kepabrikan dalam negeri dari rakyat yang beremigrasi itu.
Kita melihat emigrasi itu pada rakyat Inggeris pada masa
sebelum 1860, di mana industri Inggeris mulai menjadi besar. Kita melihat
pindahan-rakyat Jerman dan Perancis pada waktu sebelum 1880, di mana kepabrikan
Jerman dan Perancis mulai subur. Dan kita melihat bahwa timbulnya kepabrikan di
negeri Jepang itu ialah didahului oleh emigrasi juga adanya. Dan tidakkah
transmigrasi dari daerah Kedu itu makin lama makin kurang, sesudah rakyat Kedu
dengan usaha sendiri mengadakan cara pertanian yang lebih menghasilkan;
tidakkah, semenjak perbaikan cara pertanian ini diadakan, transmigrasi dari
Kedu itu makin lama makin berkurang, walaupun Kedu itu sesaknya penduduk dalam
1920 sudah sampai 497 jiwa rata-rata sekilo meter perseginya?
Pelajaran yang kita ambil dari fatsal diatas ini ialah bahwa
emigrasi itu tidak bisa terjadi sesungguh-sungguhnya jikalau memang belum
temponya. Kita melihat, bahwa di negeri Inggeris, di negeri Jerman, di negeri
Perancis, di negeri Jepang, emigrasi itu ialah pendahuluannya masa kepabrikan,
dan menjadi penolong masa-kekurangan makan yang ada di muka masa kepabrikan
itu. Tegasnya: emigrasi itu ialah terikat oleh tempo ; emigrasi tidak bisa kita
adakan dalam sewaktu-waktu sahaja kalau memang belum musimnya, walaupun kita
menyokong bagaimana juga. Emigrasi itu akan terjadi sendiri kalau memang
temponya sudah datang …
Dalam pada itu, maka tidaklah kita mengatakan, bahwa kita tak
boleh dan tak harus meratakan jalan untuk emigrasi itu. Sebaliknya: Kita harus
bersedia dan kita harus mengaturnya, agar supaya emigrasi itu bisa terjadi
dengan gampang dan lekas, nanti kalau temponya sudah datang. Dan tempo itu
pastilah datang, oleh karena pergaulan hidup bersama ialah suatu hal yang
hidup pula, dan yang senantiasa menuju tingkat yang lebih tinggi; tegasnya:
tempo itu pastilah datang, oleh karena susunan hidup-bersama di tanah Jawa ini,
menurut hukum evolusi, pasti pula meninggalkan tingkat yang sekarang ini, dan
pastilah naik ke tingkat yang kemudian, yakni: pasti meninggalkan tingkat
pertanian yang sekarang ini dan pasti menaik ketingkat kepabrikan. Dan sebelum
tingkat kepabrikan itu tercapai, maka lebih dulu terasa penyakit overbevolking
itu dengan sekeras-kerasnya; sebelum tingkat yang sekarang ini ditinggalkan,
sebelum tingkat kepabrikan itu tercapai, maka haruslah pergaulan hidup tanah
Jawa itu melalui tingkat-perobahan, – overgangsphase lebih dahulu. Dan
tingkat-perobahan ini ialah masa menghaibatnya overbevolking tahadi;
overgangsphase ini ialah masa di mana sebagian rakyat tanah Jawa, dari kerasnya
overbevolking tahadi, sama pindah kelain pulau untuk mencari pekerjaan dan
untuk mencari penghidupan.
Akan tetapi, jikalau dalam pada masa emigrasi itu cara
pencaharian rezeki di tanah Jawa sudah memperbaiki diri sendiri; jikalau
kebutuhan akan cara pencaharian rezeki yang lebih baik itu sudah mendatangkan
perbaikan dalam cara pertanian; jikalau tanah Jawa sudah mulai menginjak tingkat
kepabrikan; – maka berhentilah pula emigrasi itu, dan berhentilah pula
keharusan akan mencari rezeki di negeri lain. Sebab, sebagai yang sudah kita
terangkan di muka, pergaulan hidup sendiri lantas “mengisap” bagian rakyat yang
“lebih” itu!
Sekali lagi kita mengulangi: Emigrasi ialah suatu
“maatschappelijkverschijnsel”, yang mulainya atau berhentinya ditetapkan oleh
masyarakat sendiri itu juga. Karenanya, maka kita tak percaya akan bisa
terjadinya emigrasi yang sungguh-sungguh, jikalau memang belum temponya, yakni
jikalau pergaulan hidup di tanah Jawa belum memaksa sendiri akan emigrasi itu
dengan kekuatannya keharusan yang tak terhingga adanya!
Akan tetapi, bolehkah kita berdiam-diam sahaja membiarkan
kemelaratan yang sekarang ini, sampai emigrasi itu terjadi sendiri; bolehkah
kita tidak berusaha meringankan penghidupan rakyat itu, dan tidak melalui
segenap jalan yang wajib kita lalui?
Tidak, tidak, dan sekali lagi: tidak!
Kita harus memerangi segala keadaan yang menambah
kemelaratan rakyat itu; memerangi segala hal-hal yang memberatkan
penghidupannya rakyat, yang karena terlalu besarnya bevolkingsaanwas (tambahnya
penduduk), memang sudah berat adanya; memerangi segala hal-hal yang
mengecilkan persediaan rezeki rakyat tahadi.
Sebab, asal rezeki cukup, asal makanan tak kurang, maka
sebagai yang kita terangkan di muka, tak akanlah rakyat menderita tak kecukupan
dan kekurangan, tak akanlah overbevolking terasa, walaupun bevolkingsaanwas
yang bagaimana juga. Karenanya, haruslah kita melawan segala keadaan yang
mengecilkan persediaan makanan rakyat itu. Dan teristimewa, haruslah kita
memerangi industri gula adanya.
Sebab kita mengetahui, bahwa industri ini, walaupun
pembela-pembelanya mengatakan, bahwa “industri ini memberi begitu banyak uang
pada sebagian penduduk Jawa”, dengan “memberi begitu banyak uang” pada
orang-orang itu, – hal ini belum tentu berapa “banyaknya” walaupun oleh
Schmalhausen dihitung berjumlah empat puluh juta rupiah setahunnya, ada
menimbulkan suatu golongan-rakyat dalam pergaulan hidup tanah Jawa yang
terpadamkan kebutuhannya akan menaikkan pergaulan hidup itu keatas tingkat
yang lebih tinggi, sedang kebutuhan inilah yang harus ada untuk kenaikan itu.
Bukankah dengan angka-angka di atas ini tampak dengan
seterang-terangnya perhubungan antara tambahnya penduduk tiap-tahunnya dengan
aturan politik atau susunan ekonomi? Sebab, bukankah cepat naiknya jumlah
penduduk diantara 1810 dan 1830 itu ialah terjadi oleh perobahan-perobahan
yang diadakan oleh Raffles, yang politiknya ada “vrijzinnig” (bebas), jikalau
dibandingkan dengan politiknya orang Belanda pada masa itu, dan yang “membikin
tempo pemerintahannya yang pendek itu sebagai salah satu dari yang paling
penting dalam seluruh riwayat tanah Jawa”? Bukankah turunnya persentase antara
1830 dan 1850 itu ialah terjadi oleh kerasnya tindasan cultuurstelsel, yang
mulai 1830 diderita oleh rakyat tanah Jawa?
Bukankah naiknya lagi persentase sesudah itu antara 1850 dan
1860 ialah terjadi dari bangkrutnya politik cultuurstelsel dan mulainya
perlawanan politik liberal terhadap politik yang “kuno”, sedang mulai masa itu
pula sebagian rakyat tanah Jawa bisa sedikit-sedikit mencari penghidupan dalam
onderneming-onderneming dan lain-lain perusahaan? Dan bukankah turunnya lagi
persentase sesudahnya tahun 1860 itu ialah terjadi dari masuknya tanah Jawa
dalam masa modern kapitalistis? Sesudahnya tahun 1860, teristimewa sesudahnya
tahun 1870, maka menanglah sama sekali politiknya kaum burjuasi liberal dalam
pertandingan terhadap pada politiknya kaum kuno itu; dan sebagai angin penyakit
yang makin lama makin jahat, masuklah modal asing di tanah Jawa. Tindasannya
cultuurstelsel adalah diganti dengan gencetan modal asing; perasannya politik
“batig slot” diganti dengan isapannya politik “zoet dividend”; itulah sebabnya,
maka semenjak 1870 persentase tambahnya rakyat itu makin lama selalu makin
kecil sahaja adanya!
Tetapi, walaupun tindasan dan perasan dan isapan yang sangat
itu, walaupun selalu mundurnya persentase tahadi, maka kekuatan-hidup atau
vitaliteitnya rakyat tanah Jawa adalah tak terhingga besarnya. Walaupun
kesengsaraan yang dideritanya, walaupun “via dolorosa” yang dijalaninya, maka
masihlah besar sekali jumlah penduduk tanah Jawa di tiap-tiap kilometer persegi
jikalau dibandingkan dengan rakyat tani di negeri-negeri asing: Hanya
sedikitlah negeri-negeri di muka bumi ini, yang mempunyai penduduk lebih dari
260 jiwa sekilometer perseginya sebagai tanah Jawa itu!
Bukti atas perhubungan antara tambahnya penduduk
(bevolkingsaanwas) dengan aturan politik atau susunan ekonomi di atas ini,
adalah perlu sekali, oleh karena setengah orang mengira, bahwa, – oleh sebab
menurut pendapatnya overbevolking itu terjadinya hanya karena tambahnya
penduduk yang terlampau cepat itu sahaja -, penyakit itu bisa kita obati dengan
mencegali bevolkingsaanwas itu pula. Mereka mengira, bahwa bahaya overbevolking
ini bisa dicegahnya dengan memberi pendidikan pada rakyat supaya mengurangi
nafsunya mengadakan turunan. Mereka tak mengerti, bahwa “obat” ini mustahil
bisa terjadi.
Tak mengerti, bahwa pendidikan mencegah turunan ini akan
hancur dan binasa berbentusan dengan tabiatnya manusia; tak mengerti, bahwa
jalan yang satu-satunya untuk mencegah tambahnya penduduk itu ialah penindasan
dan perasan sahaja, yang lebih sangat dan lebih keras daripada tindasan dan
perasan cultuurstelsel umpamanya!
Kembali lagi pada penyelidikan kita: Di atas kita sudah
menulis bahwa, kalau bisa, kita setuju akan emigrasi yang secepat-cepatnya
kelain pulau Indonesia. Tetapi kita tak percaya, bahwa hapusnya poenale sanctie
itu sahaja bisa menarik beratus-ratus ribu manusia dari tanah Jawa, walaupun
“akal” atau “sokongan” yang bagaimana juga. Kita tidak percaya atasnya, oleh
karena, sebagai yang sudah kita terangkan di atas, emigrasi itu ialah suatu kejadian
yang tergantung dari rezeki. Artinya: Selama sesuatu rakyat dalam negerinya
sendiri masih ada “jalan” dalam pencahariannya rezeki, selama rakyat itu masih
bisa mencari “akal” di negerinya sendiri dalam urusan penghidupannya, – selama
itu, maka, walaupun “jalan” atau “akal” itu kiranya ada sukar dan susah,
tidaklah rakyat itu meninggalkan negerinya untuk mencari penghidupan di negeri
jauh. Selama rakyat tanah Jawa masih ada “jalan” dan “akal” itu -, selama itu
maka, walaupun keadaan ekonominya sudah sengsara atau lehernya hampir tercekek
sebagai keadaan sekarang ini, jumlahnya emigran tentulah tetap kecil sahaja.
Selama itu, maka, walaupun kita berusaha keras untuk emigrasi itu, pastilah
tetap kecil sahaja hasil segala usaha kita itu. Sebab begitulah memang
tabiatnya rakyat!
Riwayat emigrasi mengajarkan pada kita, bahwa emigrasi itu
hanyalah bisa terjadi dengan sungguh-sungguh, jikalau segala sumber penghidupan
di negeri sendiri memang sudah tertutup sama sekali adanya. Akan tetapi,
bilamana emigrasi itu sudah terjadi; bilamana pada sesuatu masa beratus-ratus
ribu atau berjuta-juta rakyat sudah sama meninggalkan negerinya untuk mencari
penghidupan di negeri lain, maka riwayat-dunia menunjukkan, bahwa aliran
rakyat-pindah itu pada suatu ketika berhenti pula. Sebab dalam pada itu, negeri
sendiri lalu berobah pula.
Dalam pada itu, negeri sendiri lalu mengadakan perobahan
dalam caranya mencari rezeki: mengadakan perbaikan cara bertani, mengadakan
perbaikan pertukangan (nijverheid); dan mulailah dalam negeri sendiri itu
timbul suatu kepabrikan (industri), yang memberi kerja dan penghidupan pada
bagian rakyat yang masih “lebih”, sehingga “kelebihan” rakyat ini seolah-olah
diisap lagi oleh pergaulan hidup di negeri sendiri tahadi adanya. Kita
mengambil pelajaran dari riwayat-dunia, bahwa semua emigrasi itu terjadinya
ialah dalam masa, yang mendahului suburnya cara pencaharian rezeki atau
suburnya kepabrikan dalam negeri dari rakyat yang beremigrasi itu.
Kita melihat emigrasi itu pada rakyat Inggeris pada masa
sebelum 1860, di mana industri Inggeris mulai menjadi besar. Kita melihat
pindahan-rakyat Jerman dan Perancis pada waktu sebelum 1880, di mana kepabrikan
Jerman dan Perancis mulai subur. Dan kita melihat bahwa timbulnya kepabrikan di
negeri Jepang itu ialah didahului oleh emigrasi juga adanya. Dan tidakkah
transmigrasi dari daerah Kedu itu makin lama makin kurang, sesudah rakyat Kedu
dengan usaha sendiri mengadakan cara pertanian yang lebih menghasilkan; tidakkah,
semenjak perbaikan cara pertanian ini diadakan, transmigrasi dari Kedu itu
makin lama makin berkurang, walaupun Kedu itu sesaknya penduduk dalam 1920
sudah sampai 497 jiwa rata-rata sekilo meter perseginya?
Pelajaran yang kita ambil dari fatsal diatas ini ialah bahwa
emigrasi itu tidak bisa terjadi sesungguh-sungguhnya jikalau memang belum
temponya. Kita melihat, bahwa di negeri Inggeris, di negeri Jerman, di negeri
Perancis, di negeri Jepang, emigrasi itu ialah pendahuluannya masa kepabrikan,
dan menjadi penolong masa-kekurangan makan yang ada di muka masa kepabrikan
itu. Tegasnya: emigrasi itu ialah terikat oleh tempo ; emigrasi tidak bisa kita
adakan dalam sewaktu-waktu sahaja kalau memang belum musimnya, walaupun kita
menyokong bagaimana juga. Emigrasi itu akan terjadi sendiri kalau memang
temponya sudah datang …
Dalam pada itu, maka tidaklah kita mengatakan, bahwa kita
tak boleh dan tak harus meratakan jalan untuk emigrasi itu. Sebaliknya: Kita
harus bersedia dan kita harus mengaturnya, agar supaya emigrasi itu bisa
terjadi dengan gampang dan lekas, nanti kalau temponya sudah datang. Dan tempo
itu pastilah datang, oleh karena pergaulan hidup bersama ialah suatu hal yang
hidup pula, dan yang senantiasa menuju tingkat yang lebih tinggi; tegasnya: tempo
itu pastilah datang, oleh karena susunan hidup-bersama di tanah Jawa ini,
menurut hukum evolusi, pasti pula meninggalkan tingkat yang sekarang ini, dan
pastilah naik ke tingkat yang kemudian, yakni: pasti meninggalkan tingkat
pertanian yang sekarang ini dan pasti menaik ketingkat kepabrikan. Dan sebelum
tingkat kepabrikan itu tercapai, maka lebih dulu terasa penyakit overbevolking
itu dengan sekeras-kerasnya; sebelum tingkat yang sekarang ini ditinggalkan,
sebelum tingkat kepabrikan itu tercapai, maka haruslah pergaulan hidup tanah
Jawa itu melalui tingkat-perobahan, – overgangsphase lebih dahulu. Dan
tingkat-perobahan ini ialah masa menghaibatnya overbevolking tahadi;
overgangsphase ini ialah masa di mana sebagian rakyat tanah Jawa, dari kerasnya
overbevolking tahadi, sama pindah kelain pulau untuk mencari pekerjaan dan
untuk mencari penghidupan.
Akan tetapi, jikalau dalam pada masa emigrasi itu cara
pencaharian rezeki di tanah Jawa sudah memperbaiki diri sendiri; jikalau
kebutuhan akan cara pencaharian rezeki yang lebih baik itu sudah mendatangkan
perbaikan dalam cara pertanian; jikalau tanah Jawa sudah mulai menginjak
tingkat kepabrikan; – maka berhentilah pula emigrasi itu, dan berhentilah pula
keharusan akan mencari rezeki di negeri lain. Sebab, sebagai yang sudah kita
terangkan di muka, pergaulan hidup sendiri lantas “mengisap” bagian rakyat yang
“lebih” itu!
Sekali lagi kita mengulangi: Emigrasi ialah suatu
“maatschappelijkverschijnsel”, yang mulainya atau berhentinya ditetapkan oleh
masyarakat sendiri itu juga. Karenanya, maka kita tak percaya akan bisa
terjadinya emigrasi yang sungguh-sungguh, jikalau memang belum temponya, yakni
jikalau pergaulan hidup di tanah Jawa belum memaksa sendiri akan emigrasi itu
dengan kekuatannya keharusan yang tak terhingga adanya!
Akan tetapi, bolehkah kita berdiam-diam sahaja membiarkan
kemelaratan yang sekarang ini, sampai emigrasi itu terjadi sendiri; bolehkah
kita tidak berusaha meringankan penghidupan rakyat itu, dan tidak melalui
segenap jalan yang wajib kita lalui?
Tidak, tidak, dan sekali lagi: tidak!
Kita harus memerangi segala keadaan yang menambah
kemelaratan rakyat itu; memerangi segala hal-hal yang memberatkan
penghidupannya rakyat, yang karena terlalu besarnya bevolkingsaanwas (tambahnya
penduduk), memang sudah berat adanya; memerangi segala hal-hal yang
mengecilkan persediaan rezeki rakyat tahadi.
Sebab, asal rezeki cukup, asal makanan tak kurang, maka
sebagai yang kita terangkan di muka, tak akanlah rakyat menderita tak kecukupan
dan kekurangan, tak akanlah overbevolking terasa, walaupun bevolkingsaanwas
yang bagaimana juga. Karenanya, haruslah kita melawan segala keadaan yang
mengecilkan persediaan makanan rakyat itu. Dan teristimewa, haruslah kita
memerangi industri gula adanya.
Sebab kita mengetahui, bahwa industri ini, walaupun
pembela-pembelanya mengatakan, bahwa “industri ini memberi begitu banyak uang
pada sebagian penduduk Jawa”, dengan “memberi begitu banyak uang” pada
orang-orang itu, – hal ini belum tentu berapa “banyaknya” walaupun oleh Schmalhausen
dihitung berjumlah empat puluh juta rupiah setahunnya, ada menimbulkan suatu
golongan-rakyat dalam pergaulan hidup tanah Jawa yang terpadamkan kebutuhannya
akan menaikkan pergaulan hidup itu keatas tingkat yang lebih tinggi, sedang
kebutuhan inilah yang harus ada untuk kenaikan itu.
Kita mengetahui bahwa industri ini merusak morilnya sebagian
penduduk tanah Jawa; mengetahui, bahwa aturan menanam tebu sekali dalam tiga
tahun di atas satu tempat itu adalah suatu aturan yang memberi keuntungan pada
industri itu dengan percuma; mengetahui, bahwa industri ini tak senang akan
majunya negeri dan rakyat, oleh sebab kemajuan ini tentu menaikkan upah-upah
dan sewa-sewa, lantaran kemajuan itu menambah besarnya kebutuhan rakyat. Dan
tidakkah banyak pula keberatan-keberatan atas industri ini? Tidakkah ia dengan
aturan-aturan-premi telah mengotorkan perhubungan kepala-kepala desa dengan
rakyat? Tidakkah ia mengecilkan “gemiddeld grondbezit” (milik tanah rata-rata)
si kaum tani? Tidakkah penyewaan tanah itu membikin banyak orang tani jadi kaum
buruh? Tidakkah hati kita panas kalau kita memikirkan aturan “dagen
nachtregeling” (aturan siang dan malam), yakni aturan menurut yang mana
tanaman tebu mendapat air waktu siang dan tanaman padi waktu malam?
Tidakkah tanah yang dulunya ditanami tebu itu menjadi kurang
baik bagi tanaman padi? Tidakkah industri ini mengisap berjuta-juta rupiah dari
pergaulan hidup tanah Jawa? Pendek kata: Tidakkah industri ini jauh dari
mengayakan, bahkan memelaratkan tanah Jawa?
Berhubung dengan kejahatan industri ini; berhubung dengan
pengurangan rezeki tanah Jawa itu, maka kita menuntut hapusnya industri itu
sebagai adanya sekarang ini. Dan jikalau ada yang mengatakan, bahwa penghapusan
industri ini akan menerjunkan rakyat dalam dunia kemelaratan yang lebih haibat
dari sekarang, jikalau masih ada bangsa kita yang menyesalinya, maka kita
memperingatkan, bahwa hapusnya pabrik-pabrik gula di Kabat dan Rogojampi di
afdeling Banyuwangi umpamanya sama sekali tidak merugikan rakyat, tetapi menguntungkanlah
adanya.
Dan dari jauh kita telah mendengar Ir. J. bertanya: “Di
manakah tinjumu? Di manakah kekuatan yang menghancurkan segala hal yang
melawan?”
Memang, memang! Tiadalah suatu kekuatan yang bisa mendesak
industri gula ini dan yang bisa menghancurkan kejahatannya, melainkan kekuatan
pergerakan rakyat, yang sebagai palu-godam haibatnya menjatuhkan hantaman
penuntutannya, dan yang sebagai banjir melenyapkan segala hal yang
menghalang-halanginya, jikalau tuntutan itu tidak dikabulkan. Tiadalah suatu
kekuatan yang bisa mendesaknya, melainkan suatu massa-aksi yang besar dan
haibatnya ada berlipat-lipat ganda dari massa-aksinya Sarikat Islam meminta
pengurangannya “suikerrietareaal” (luas tanah untuk tanaman tebu) pada masa
kekurangan-makan beberapa tahun yang lalu, dan yang, sayang seribu sayang, lalu
menjadi lembek sesudah ada pemeriksaan “kumisi-kumisian”, yang hasilnya …
kekalnya keadaan yang dulu juga!
Hendaklah kita mengambil pelajaran dari sia-sianya
pergerakan pengurangan suiker-areaal ini: Janganlah kita menolehkan mata dalam
usaha kita daripada maksud yang pertama-tama!
Hendaklah kita insyaf, bahwa hanya perjoangan dalam
pergerakan rakyat itu sahajalah yang bisa mengundurkan musuh-musuh kita, dan
tidak dalam usaha dewan-dewanan, di mana menurut Ir. J. “dengan
berhadap-hadapan muka dengan musuh, kita punya cara-perlawanan akan mendalam
dan akan menjadi bersih”.
Sebab sebagaimana kita tak akan bisa mencapai kemerdekaan
tanah kita dengan jalan dewan-dewanan itu, maka kapitalisme-gula tidaklah akan
bisa hapus atau lenyap pula dengan kerja dewan-dewanan itu, melainkan dengan
kekuasaan pergerakan rakyat yang sekuasa-kuasanya dan sehaibat-haibatnya.
Memang, benar sekali, benar sekali, jikalau Ir. J. menanya,
di mana kita punya tinju itu sekarang! Tetapi sebaliknya, kita pun menanya
padanya: Di mana tinju tuan, jikalau modal-modal asing di Sumatera itu menjadi
kuat dan kuasa lantaran sokongan tuan dengan kaum buruh tanah Jawa yang
“beratus-ratus ribu” itu? Di manakah tinju, dan di manakah “machtsvorming en de
invloed van ons Volk om of to weren die verderfelijke vernielzucht”?
Tuan percaya akan machtsvorming tahadi! Wahai, kita pun ada
penuh kepercayaan akan masa yang akan datang. Kita pun ada penuh kepercayaan,
bahwa suatu kali rakyat kita pasti mencapai machtsvorming itu pula, dan pasti
“masih penuh kekuatan untuk menjunjung diri menuju Sinar yang Satu yang berada
di tengah-tengah kegelap-gelitaan yang mengelilingi kita ini”.
Kita mengulangi; dan kita menambah.
Kita mufakat akan emigrasi; kita ingin pula melihat
pemindahan rakyat kelain pulau Indonesia. Akan tetapi kita mengira, bahwa
emigrasi itu tidak bisa terjadi dengan sesungguh-sungguhnya, jikalau susunan
pergaulan hidup di tanah Jawa belum “masak” baginya. Kita teristimewa menuntut
hapusnya industri gula sebagai adanya sekarang ini, dan yang mengurangi rezeki
tanah Jawa itu, untuk meringankan penghidupan penduduk tanah Jawa sebelum
pergaulannya hidup sendiri sebagai “veiligheidsklep” membangunkan emigrasi
itu.
Kita yakin, bahwa obat yang semanjur-manjurnya bagi penyakit
overbevolking ini ialah tiada lain, melainkan perbaikan-perbaikan cara
pertanian dan perbaikan cara pertukangan, dan berdirinya suatu industri
Indonesia dengan modal Indonesia yang sekokoh-kokohnya, yang nanti akan
“mengisap” segenap rakyat yang “lebih” sebagai yang telah terjadi di Inggeris,
di negeri Jerman, di negeri Perancis, atau di negeri Jepang itu, misalnya
industri kain untuk mengganti keadaan yang sekarang, di mana hampir segenap
rakyat Indonesia yang berpuluh-puluh juta itu hampir semuanya sama memakai
pakaian yang kainnya dari Eropah, seharga berpuluh-puluh juta rupiah: sedang
kapasnya hendaklah ditanam umpamanya di tanah-tanah Sumatera yang kini masih
kosong itu, sehingga penanaman kapas ini bisa memakai beribu-ribu kaum “lebih”
dari tanah Jawa pula adanya.
Kita mengetahui, bahwa kepabrikan itu bisa pula mengandung
racun dan bahaya bagi rakyat dan kaum buruh sebagai yang sudah terjadi di
mana-mana; tetapi kita mengetahui, bahwa adanya racun dan bahaya ini tidaklah
tergantung dari adanya kepabrikan, melainkan dari caranya kepabrikan itu.
Dan walaupun kepabrikan Indonesia ini pada waktu sekarang
terdengarnya masih sebagai suatu impian; walaupun banyak orang yang menyangkal
akan bisa terjadinya kepabrikan itu, maka kita percaya, bahwa, menurut hukum
alam, kepabrikan itu pastilah datang.
Kepercayaan, kepercayaanlah yang senantiasa menjadi wahyunya
kita punya fikiran dan perbuatan. Dan dengan kepercayaan ini; dengan
kepercayaan bahwa segala obat-obat overbevolking itu pada waktunya tentu sama
datang sandiri; dengan kepercayaan, bahwa suatu masa kita tentu bisa pula
mengenyahkan segala pengaruh-pengaruh yang menambah adanya bahaya overbevolking
itu, maka dengan ketetapan hati kita mengarahkan muka kepada tempo yang akan
datang, dan dengan ketetapan hati kita menyambut hari kemudian itu.