Sebagai
Aria Bima-putera, yang lahirnya dalam zaman perjungan, maka INDONESIA-MUDA
inilah melihat cahaya hari pertama-tama dalam zaman yang rakyat-rakyat Asia,
lagi berada dalam perasaan tak senang dengan nasibnya. Tak senang dengan nasib
ekonominya, tak senang dengan nasib-politiknya, tak senang dengan segala nasib
yang lain-lainnya.
Zaman
“senang dengan apa adanya”, sudahlah lalu. Zaman baru: zaman muda,
sudahlah datang sebagai fajar yang terang cuaca.
Zaman teori
kaum kuno, yang mengatakan, bahwa “siapa yang ada di bawah, harus terima
senang, yang ia anggap cukup harga duduk dalam perbendaharaan riwayat, yang
barang kemas-kemasnya berguna untuk memelihara siapa yang lagi berdiri dalam
hidup”, kini sudahlah tak mendapat penganggapan lagi oleh rakyat-rakyat Asia
itu. Pun makin lama makin tipislah kepercayaan rakyat-rakyat itu, bahwa
rakyat-rakyat yang mempertuankannya itu, adalah sebagai “voogd” yang kelak
kemudian hari akan “ontvoogden” mereka; makin lama makin tipislah kepercayaannya,
bahwa rakyat-rakyat yang mempertuankannya itu ada sebagai “saudara-tua”, yang
dengan kemauan sendiri akan melepaskan mereka, bilamana mereka sudah “dewasa”,
“akil-balig”, atau “masak”.
Sebab
tipisnya kepercayaan itu adalah bersendi pengetahuan, bersendi keyakinan, bahwa
yang menyebabkan kolonisasi itu bukanlah keinginan pada kemasyhuran, bukan
keinginan melihat dunia asing, bukan keinginan merdeka, dan bukan pula oleh
karena negeri rakyat yang menjalankan kolonisasi itu ada terlampau sesak oleh
banyaknya penduduk, sebagai yang telah diajarkan oleh Gustav Klemm, akan tetapi
asalnya kolonisasi yalah teristimewa soal rezeki.
“Yang
pertama-tama menyebabkan kolonisasi yalah hampir selamanya kekurangan bekal –
hidup dalam tanah airnya sendiri”, begitulah Dietrich Schafer berkata.
Kekurangan rezeki, itulah yang menjadi sebab rakyat¬rakyat Eropah mencari
rezeki di negeri lain! Itulah pula yang menjadi sebab rakyat-rakyat itu
menjajah negeri-negeri, di mana mereka bisa mendapat rezeki itu. Itulah pula
yang membikin “ontvoogding”-nya negeri-negeri jajahan oleh negeri-negeri yang
menjajahnya itu, sebagai suatu barang yang sukar dipercayainya. Orang tak akan
gampang-gampang melepaskan bakul nasinya, jika pelepasan bakul itu mendatangkan
matinya!
Begitulah,
bertahun-tahun, berwindu-windu, rakyat-rakyat Eropah itu mempertuankan
negeri-negeri Asia. Berwindu-windu rezeki-rezeki Asia masuk ke negerinya.
Teristimewa Eropah Barat lah yang bukan main tambah kekayaannya.
Begitulah
tragiknya riwayat-riwayat negeri-negeri jajahan!
Dan
keinsyafan akan tragik inilah yang menyadarkan rakyat-rakyat jajahan itu;
sebab, walaupun lahirnya sudah alah dan takluk, maka Spirit of Asia masihlah
kekal. Rokh Asia masih hidup sebagai api yang tiada padamnya! Keinsyafan akan
tragik inilah pula yang sekarang menjadi nyawa pergerakan rakyat di Indonesia
kita, yang walaupun dalam maksudnya sama, ada mempunyai tiga sifat:
NASIONALISTIS, ISLAMISTIS dan MARXISTIS lah adanya.
Mempelajari,
mencahari hubungan antara ketiga sifat itu, membuktikan, bahwa tiga haluan ini
dalam suatu negeri jajahan tak guna berseteruan satu sama lain, membuktikan
pula, bahwa ketiga gelombang ini bisa bekerja bersama-sama menjadi satu
gelombang yang maha¬besar dan maha kuat, satu ombak taufan yang tak dapat
ditahan terjangnya, itulah kewajiban yang kita semua harus memikulnya.
Akan hasil
atau tidaknya kita menjalankan kewajiban yang seberat dan semulia itu, bukanlah
kita yang menentukan. Akan tetapi, kita tidak boleh putus-putus berdaya-upaya,
tidak boleh habis-habis ikhtiar men¬jalankan kewajiban ikut mempersatukan
gelombang-gelombang tahadi itu! Sebab kita yakin, bahwa persatuanlah yang kelak
kemudian hari membawa kita ke arah terkabulnya impian kita: Indonesia-Merdeka!
Entah
bagaimana tercapainya persatuan itu; entah pula bagaimana rupanya persatuan
itu; akan tetapi tetaplah, bahwa kapal yang membawa kita ke Indonesia-Merdeka
itu, yalah Kapal-Persatuan adanya! Mahatma, jurumudi yang akan membuat dan mengemudikan
Kapal-Persatuan itu kini barangkali belum ada, akan tetapi yakinlah kita pula,
bahwa kelak kemudian hari mustilah datang saatnya, yang Sang-Mahatma itu
berdiri di tengah kita!
Itulah
sebabnya kita dengan besar hati mempelajari dan ikut meratakan jalan yang
menuju persatuan itu. Itulah maksudnya tulisan yang pendek ini.
Nasionalisme,
Islamisme dan Marxisme!
Inilah
azas-azas yang dipeluk oleh pergerakan-pergerakan rakyat di seluruh Asia.
Inilah faham-faham yang menjadi rokhnya pergerakan-pergerakan di Asia itu.
Rokhnya pula pergerakan-pergerakan di Indonesia-kita ini.
Partai
Boedi Oetomo, “marhum” Nationaal Indische Partij yang kini masih “hidup”,
Partai Sarekat Islam, Perserikatan Minahasa; Partai Komunis Indonesia, dan
masih banyak partai-partai lain … itu masing-masing mempunyai rokh
Nasionalisme, rokh Islamisme, atau rokh Marxisme adanya. Dapatkah rokh-rokh ini
dalam politik jajahan bekerja bersama-sama menjadi satu Rokh yang Besar,
Rokh Persatuan? Rokh Persatuan, yang akan membawa kita ke lapang kebesaran?
Dapatkah
dalam tanah jajahan pergerakan Nasionalisme itu dirapatkan dengan pergerakan
Islamisme yang pada hakekatnya tiada bangsa, dengan pergerakan Marxisme yang
bersifat perjoangan internasional?
Dapatkah
Islamisme itu, ialah sesuatu agama, dalam politik jajahan bekerja bersama-sama
dengan Nasionalisme yang mementingkan bangsa, dengan materialismenya Marxisme
yang mengajar perbendaan?
Akan
hasilkah usaha kita merapatkan Boedi Oetomo yang begitu sabar-halus (gematigd),
dengan Partai Komunis Indonesia yang begitu keras sepaknya, begitu
radical-militan terjangnya? Boedi Oetomo yang begitu evolusioner, dan Partai
Komunis Indonesia, yang walaupun kecil sekali, oleh musuh-musuhnya begitu
didesak dan dirintangi, oleh sebab rupa-rupanya musuh-musuh itu yakin akan
peringatan AlCarthill, bahwa “yang mendatangkan pemberontakan-pemberontakan itu
biasanya bagian-bagian yang terkecil, dan bagian-bagian yang terkecil sekali”?
Nasionalisme!
Kebangsaan!
Dalam tahun
1882 Ernest Renan telah membuka pendapatnya tentang faham “bangsa” itu.
“Bangsa” itu menurut pujangga ini ada suatu nyawa, suatu azas-akal, yang
terjadi dari dua hal: pertama-tama rakyat itu dulunya harus bersama-sama
menjalani satu riwayat; kedua, rakyat itu sekarang harus mempunyai kemauan,
keinginan hidup menjadi satu.
Bukannya
jenis (ras), bukannya bahasa, bukannya agama, bukannya persamaan butuh,
bukannya pula batas-batas negeri yang menjadikan “bangsa” itu. Dari tempo-tempo
belakangan, maka selainnya penulis-penulis lain, sebagai Karl Kautsky dan Karl
Radek, teristimewa Otto Bauer lah yang mempelajari soal “bangsa” itu.
“Bangsa itu
adalah suatu persatuan perangai yang terjadi dari persatuan hal-ikhwal yang
telah dijalani oleh rakyat itu”, begitulah katanya. Nasionalisme itu yalah
suatu iktikad; suatu keinsyafan rakyat, bahwa rakyat itu ada satu golongan,
satu “bangsa”!
Bagaimana
juga bunyinya keterangan-keterangan yang telah diajarkan oleh pendekar-pendekar
ilmu yang kita sebutkan di atas tahadi, maka tetaplah, bahwa rasa nasionalistis
itu menimbulkan suatu rasa percaya akan diri sendiri, rasa yang mana adalah
perlu sekali untuk mempertahankan diri di dalam perjoangan menempuh
keadaan-keadaan, yang mau mengalahkan kita.
Rasa
percaya akan diri sendiri inilah yang memberi keteguhan hati pada kaum Boedi
Oetomo dalam usahanya mencari Jawa-Besar; rasa percaya akan diri sendiri inilah
yang menimbulkan ketetapan hati pada kaum revolusioner-nasionalis dalam
perjoangannya mencari Hindia Besar atau Indonesia-Merdeka adanya.
Apakah rasa
nasionalisme, yang oleh kepercayaan akan diri sendiri itu, begitu gampang
menjadi kesombongan-bangsa, dan begitu gampang mendapat tingkatnya yang kedua,
ialah kesombongan ras, walaupun faham ras (jenis) ada setinggi langit bedanya
dengan faham bangsa, oleh karena ras itu ada suatu faham biologis, sedang
nationaliteit itu suatu faham sosiologis (ilmu pergaulan hidup), – apakah
nasionalisme itu dalam perjoangan jajahan bisa bergandengan dengan Islamisme
yang dalam hakekatnya tiada bangsa, dan dalam lahirnya dipeluk oleh bermacam-macam
bangsa dan bermacam-macam ras;- apakah Nasionalisme itu dalam politik kolonial
bisa rapat-diri dengan Marxisme yang internasional, inter-rasial itu?
Dengan
ketetapan hati kita menjawab: bisa!
Sebab,
walaupun Nasionalisme itu dalam hakekatnya mengecualikan segala fihak yang tak
ikut mempunyai “keinginan hidup menjadi satu” dengan rakyat itu; walaupun
Nasionalisme itu sesungguhnya mengecilkan segala golongan yang tak merasa “satu
golongan, satu bangsa” dengan rakyat itu; walaupun Kebangsaan itu dalam azasnya
menolak segala perangai yang terjadinya tidak “dari persatuan hal-ikhwal yang
telah dijalani oleh rakyat itu”, – maka tak boleh kita lupa, bahwa
manusia-manusia yang menjadikan pergerakan Islamisme dan pergerakan Marxisme di
Indonesia kita ini, dengan manusia-manusia yang menjalankan pergerakan
Nasionalisme itu semuanya mempunyai “keinginan hidup menjadi satu”; – bahwa
mereka dengan kaum Nasionalis itu merasa “satu golongan, satu bangsa”; – bahwa
segala fihak dari per¬gerakan kita ini, baik Nasionalis maupun Islamis, maupun
pula Marxis, beratus-ratus tahun lamanya ada “persatuan hal-ikhwal”,
beratus-ratus tahun lamanya sama-sama bernasib tak merdeka! Kita tak boleh
lalai, bahwa teristimewa “persatuan hal-ikhwal”, persatuan nasib, inilah yang
menimbulkan rasa “segolongan” itu. Betul rasa-golongan ini masih membuka
kesempatan untuk perselisihan satu sama lain; betul sampai kini, belum pernah
ada persahabatan yang kokoh di antara fihak-fihak pergerakan di Indonesia-kita
ini, – akan tetapi bukanlah pula maksud tulisan ini membuktikan, bahwa
perselisihan itu tidak bisa terjadi. Jikalau kita sekarang mau berselisih,
amboi, tak sukarlah mendatangkan perselisihan itu sekarang pula!
Maksud tulisan ini ialah membuktikan, bahwa persaha batan bisa tercapai!
Hendaklah kaum
Nasionalis yang mengecualikan dan mengecilkan segala pergerakan yang tak
terbatas pada Nasionalisme, mengambil teladan akan sabda Karamchand Gandhi:
“Buat saya, maka cinta saya pada tanah-air itu, masuklah dalam cinta pada
segala manusia. Saya ini seorang patriot, oleh karena saya manusia dan bercara
manusia. Saya tidak mengecualikan siapa juga.” Inilah rahasianya, yang Gandhi
cukup kekuatan mempersatukan fihak Islam dengan fihak Hindu, fihak Parsi, fihak
Jain, dan fihak Sikh yang jumlahnya lebih dari tigaratus juta itu, lebih dari
enam kali jumlah putera Indonesia, hampir seperlima dari jumlah manusia yang
ada di muka bumi ini!
Tidak
adalah halangannya Nasionalis itu dalam geraknya bekerja bersama-sama dengan
kaum Islamis dan Marxis. Lihatlah kekalnya perhubungan antara Nasionalis Gandhi
dengan Pan-Islamis Maulana Mohammad Ali, dengan Pan-Islamis Syaukat Ali, yang
waktu pergerakan non-cooperation India sedang menghaibat, hampir tiada pisahnya
satu sama lainnya. Lihatlah geraknya partai Nasionalis Kuomintang di Tiongkok,
yang dengan ridla hati menerima faham-faham Marxis: tak setuju pada
kemiliteran, tak setuju pada Imperialisme, tak setuju pada kemodalan!
Bukannya
kita mengharap, yang Nasionalis itu supaya berobah faham jadi Islamis atau
Marxis, bukannya maksud kita menyuruh Marxis dan Islamis itu berbalik menjadi
Nasionalis, akan tetapi impian kita yalah kerukunan, persatuan antara tiga
golongan itu.
Bahwa
sesungguhnya, asal mau sahaja … tak kuranglah jalan ke arah persatuan. Kemauan,
percaya akan ketulusan hati satu sama lain, keinsyafan akan pepatah “rukun
membikin sentausa” (itulah sebaik¬-baiknya jembatan ke arah persatuan), cukup
kuatnya untuk melangkahi segala perbedaan dan keseganan antara segala
fihak-fihak dalam per¬gerakan kita ini.
Kita ulangi
lagi: Tidak adalah halangannya Nasionalis itu dalam geraknya, bekerja
bersama-sama dengan Islamis dan Marxis.
Nasionalis
yang sejati, yang cintanya pada tanah-air itu bersendi pada pengetahuan atas
susunan ekonomi-dunia dan riwayat, dan bukan semata-mata timbul dari
kesombongan bangsa belaka, – nasionalis yang bukan chauvinis, tak boleh tidak,
haruslah menolak segala faham pengecualian yang sempit-budi itu. Nasionalis
yang sejati, yang nasionalismenya itu bukan semata-mata suatu copie atau tiruan
dari nasionalisme Barat, akan tetapi timbul dari rasa cinta akan manusia dan
kemanusiaan, – nasionalis yang menerima rasa-nasionalismenya itu sebagai suatu
wahyu dan melaksanakan rasa itu sebagai suatu bakti, adalah terhindar dari
segala faham kekecilan dan kesempitan. Baginya, maka rasa cinta¬ bangsa itu
adalah lebar dan luas, dengan memberi tempat pada lain-lain sesuatu, sebagai
lebar dan luasnya udara yang memberi tempat pada segenap sesuatu yang perlu
untuk hidupya segala hal yang hidup.
Wahai,
apakah sebabnya kecintaan-bangsa dari banyak nasionalis Indonesia lalu menjadi
kebencian, jikalau dihadapkan pada orang¬-orang Indonesia yang berkeyakinan
Islamistis? Apakah sebabnya kecin¬taan itu lalu berbalik menjadi permusuhan,
jikalau dihadapkan pada orang-orang Indonesia yang bergerak Marxistis? Tiadakah
tempat dalam sanubarinya untuk nasionalismenya Gopala Krishna Gokhate, Mahatma
Gandhi, atau Chita Ranjam Das?
Janganlah
hendaknya kaum kita sampai hati memeluk jingo-nationalism, sebagai
jingo-nationalismnya Arya-Samaj di India pembelah dan pemecah persatuan
Hindu-Muslim; sebab jingo-nationalism yang semacam itu “akhirnya pastilah
binasa”, oleh karena “nasionalisme hanyalah dapat mencapai apa yang
dimaksudkannya, bilamana bersendi atas azas-azas yang lebih suci”.
Bahwasanya,
hanya nasionalisme ke-Timur-an yang sejatilah yang pantas dipeluk oleh
nasionalis-Timur yang sejati. Nasionalisme Eropah, yalah suatu nasionalisme
yang bersifat serang-menyerang, suatu nasional¬isme yang mengejar keperluan
sendiri, suatu nasionalisme perdagangan yang untung atau rugi, – nasionalisme
yang semacam itu akhirnya pastilah alah, pastilah binasa.
Adakah
keberatan untuk kaum Nasionalis yang sejati, buat bekerja bersama-sama dengan
kaum Islam, oleh karena Islam itu melebihi ke¬bangsaan dan melebihi
batas-negeri yalah super-nasional super-teritorial? Adakah internationaliteit
Islam suatu rintangan buat geraknya na¬sionalisme, buat geraknya kebangsaan?
Banyak
nasionalis-nasionalis di antara kita yang sama lupa bahwa
pergerakan-nasionalisme dan Islamisme di Indonesia ini -ya, di seluruh Asia –
ada sama asalnya, sebagai yang telah kita uraikan di awal tulisan ini:
dua-duanya berasal nafsu melawan “Barat”, atau lebih tegas, melawan kapitalisme
dan imperialisme Barat, sehingga sebenarnya bukan lawan, melainkan kawannya lah
adanya. Betapa lebih luhurnyalah sikap nasionalis Prof. T. L. Vaswani, seorang
yang bukan Islam, yang menulis: “Jikalau Islam menderita sakit, maka Rokh
kemerdekaan Timur tentulah sakit juga; sebab makin sangatnya negeri-negeri Muslim
kehilangan kemerde¬kaannya, makin lebih sangat pula imperialisme Eropah
mencekek Rokh Asia. Tetapi, saya percaya pada Asia-sediakala; saya percaya
bahwa Rokhnya masih akan menang. Islam adalah internasional, dan jikalau Islam
merdeka, maka nasionalisme kita itu adalah diperkuat oleh segenap kekuatannya
iktikad internasional itu.”
Dan bukan
itu sahaja. Banyak nasionalis-nasionalis kita yang sama lupa, bahwa orang
Islam, di manapun juga ia adanya, di seluruh “Darul Islam”, menurut agamanya,
wajib bekerja untuk keselamatan orang negeri yang ditempatinya.
Nasionalis-nasionalis itu lupa, bahwa orang Islam yang sungguh-sungguh
menjalankan ke-Islam-annya, baik orang Arab maupun orang India, baik orang
Mesir maupun orang manapun juga, jikalau berdiam di Indonesia, wajib pula
bekerja untukkeselamatan Indonesia itu. “Di mana-mana orang Islam bertempat,
bagaimanapun juga jauhnya dari negeri tempat kelahirannya, di dalam negeri yang
baru itu ia masih menjadi satu bahagian daripada rakyat Islam, daripada
Persatuan Islam. Di mana-mana orang Islam bertempat, di situlah ia harus
mencintai dan bekerja untuk keperluan negeri itu dan rakyatnya”.
Inilah
Nasionalisme Islam! Sempit-budi dan sempit-pikiranlah nasionalis yang memusuhi
Islamisme serupa ini. Sempit-budi dan sempit¬-pikiranlah ia, oleh karena ia
memusuhi suatu azas, yang, walaupun internasional dan inter-rasial, mewajibkan
pada segenap pemeluknya yang ada di Indonesia, bangsa apa merekapun juga,
mencintai dan bekerja untuk keperluan Indonesia dan rakyat Indonesia juga adanya! Adakah
pula keberatan untuk kaum Nasionalis sejati, bekerja bersama-sama dengan kaum
Marxis, oleh karena Marxisme itu internasional juga?
Nasionalis
yang segan berdekatan dan bekerja bersama-sama dengan kaum Marxis, – Nasionalis
yang semacam itu menunjukkan ketiadaan yang sangat, atas pengetahuan tentang
berputarnya roda-politik dunia dan riwayat. Ia lupa, bahwa asal pergerakan
Marxis di Indonesia atau Asia itu, juga merupakan tempat asal pergerakan
mereka. Ia lupa, bahwa arah pergerakannya sendiri itu acap kali sesuai dengan
arah pergerakan bangsanya yang Marxistis tahadi. Ia lupa, bahwa memusuhi
bangsanya yang Marxistis itu, samalah artinya dengan menolak kawan-sejalan dan
menambah adanya musuh. Ia lupa dan tak mengerti akan arti sikapnya saudara-saudaranya
di lain-lain negeri Asia, umpamanya almarhum Dr. Sun Yat Sen, panglima
Nasionalis yang besar itu, yang dengan segala kesenangan hati bekerja
bersama-sama dengan kaum Marxis walaupun beliau itu yakin, bahwa peraturan
Marxis pada saat itu belum bisa diadakan di negeri Tiongkok, oleh karena di
negeri Tiongkok itu tidak ada syarat¬-syaratnya yang cukup-masak untuk
mengadakan peraturan Marxis itu. Perlukah kita membuktikan lebih lanjut, bahwa
Nasionalisme itu, baik sebagai suatu azas yang timbulnya dari rasa ingin hidup
menjadi satu; baik sebagai suatu keinsyafan rakyat, bahwa rakyat itu ada satu
golongan, satu bangsa; maupun sebagai suatu persatuan perangai yang terjadi
dari persatuan hal-ikhwal yang telah dijalani oleh rakyat itu, – perlukah kita
membuktikan lebih lanjut bahwa Nasionalisme itu, asal sahaja yang memeluknya
mau, bisa dirapatkan dengan Islamisme dan Marxisme? Perlukah kita lebih lanjut
mengambil contoh-contoh sikapnya pendekar-¬pendekar Nasionalis di lain-lain
negeri, yang sama bergandengan tangan dengan kaum-kaum Islamis dan rapat-diri
dengan kaum-kaum Marxis?
Kita rasa
tidak! Sebab kita percaya bahwa tulisan ini, walaupun pendek dan jauh kurang
sempurna, sudahlah cukup jelas untuk Nasionalis-nasionalis kita yang mau
bersatu. Kita percaya, bahwa semua Nasionalis-nasionalis-muda adalah berdiri di
samping kita. Kita percaya pula, bahwa masih banyaklah Nasionalis-nasionalis
kolot yang mau akan persatuan; hanyalah kebimbangan mereka akan kekalnya
persatuan itulah yang mengecilkan hatinya untuk mengikhtiarkan persatuan itu.
Pada mereka
itulah terutama tulisan ini kita hadapkan; untuk mereka lah terutama tulisan
ini kita adakan. Kita tidak menuliskan rencana ini untuk Nasionalis-nasionalis
yang tidak mau bersatu. Nasionalis-nasionalis yang demikian itu kita
serahkan pada pengadilan riwayat, kita serahkan pada putusannya mahkamah
histori!
Islamisme,
Ke-Islam-an!
Sebagai
fajar sehabis malam yang gelap-gulita, sebagai penutup abad-¬abad kegelapan,
maka di dalam abad kesembilanbelas berkilau-kilauanlah di dalam dunia
ke-Islam-an sinarnya dua pendekar, yang namanya tak akan hilang tertulis dalam
buku-riwayat Muslim; Sheikh Mohammad Abdouh, Rektor sekolah-tinggi Azhar, dan
Seyid Jamaluddin El Afghani – dua panglima Pan-Islam-isme yang telah
membangunkan dan menjunjung rakyat-rakyat Islam di seluruh benua Asia daripada
kegelapan dan kemun¬duran. Walaupun dalam sikapnya dua pahlawan ini ada
berbedaan sedikit satu sama lain – Seyid Jamaluddin El Afghani ada lebih
radikal dari Sheikh Mohammad Abdouh – maka merekalah yang membangunkan lagi
kenyataan-kenyataan Islam tentang politik, terutama Seyid Jamaluddin, yang
pertama-tama membangunkan rasa-perlawanan di hati sanubari rakyat¬-rakyat
Muslim terhadap pada bahaya imperialisme Barat; merekalah terutama Seyid Jamaluddin
pula, yang mula-mula mengkhotbahkan suatu barisan rakyat Islam yang kokoh, guna
melawan bahaya imperialisme Barat itu.
Sampai pada
wafatnya dalam tahun 1896, Seyid Jamaluddin El Afghani, harimau yang
gagah-berani itu, bekerja dengan tiada berhentinya, menanam benih ke-Islam-an
di mana-mana, menanam rasa-perlawanan terhadap pada ketamaan Barat, menanam
keyakinan, bahwa untuk perlawanan itu kaum Islam harus “mengambil tekniknya
kemajuan Barat, dan mempelajari rahasia-rahasianya kekuasaan Barat”. Benih-benih
itu tertanam! Sebagai ombak makin lama makin haibat, sebagai gelombang yang
makin lama makin tinggi dan besar, maka di se¬luruh dunia Muslim
tentara-tentara Pan-Islamisme sama bangun dan bergerak dari Turki dan Mesir,
sampai ke Marocco dan Kongo, ke Persia, Afghanistan … membanjir ke India, terus
ke Indonesia … gelombang Pan-Islamisme melimpah ke mana-mana!
Begitulah
rakyat Indonesia kita ini, insyaf akan tragik nasibnya, sebagian sama bernaung
di bawah bendera hijau, dengan muka ke arah Qiblah, mulut mengaji La haula wala
kauwata illa billah dan Billahi fisabilil ilahi!
Mula-mula
masih perlahan-lahan, dan belum begitu terang-benderang¬lah jalan yang harus
diinjaknya, maka makin lama makin nyata dan tentulah arah-arah yang diambilnya,
makin lama makin banyaklah hu¬bungannya dengan pergerakan-pergerakan Islam di
negeri-negeri lain; makin teranglah ia menunjukkan perangainya
yanginternasional; makin mendalamlah pula pendiriannya atas hukum-hukum agama.
Karenanya, tak hairanlah kita, kalau seorang profesor Amerika, Ralston
Hayden,menulis, bahwa pergerakan Sarekat Islam ini “akan berpengaruh besar atas
kejadiannya politik di kelak kemudian hari, bukan sahaja di Indo¬nesia, tetapi
di seluruh dunia Timur jua adanya”! Ralston Hayden de¬ngan ini menunjukkan keyakinannya
akan perangai internasional dari pergerakan Sarekat Islam itu; ia menunjukkan
pula suatu penglihatan yang jernih di dalam kejadian-kejadian yang belum
terjadi pada saat ia menulis itu. Bukankah tujuannya telah terjadi? Pergerakan
Islam di Indonesia telah ikut menjadi cabangnya Mu’tamar-ul Alamil Islami di
Mekkah; pergerakan Islam Indonesia telah menceburkan diri dalam laut perjoangan
Islam Asia!
Makin
mendalamnya pendirian atas keagamaan pergerakan Islam inilah yang menyebabkan
keseganan kaum Marxis untuk merapatkan diri dengan pergerakan Islam itu; dan
makin ke mukanya sifat internasional itulah oleh kaum Nasionalis “kolot”
dipandang tersesat; sedang hampir semua Nasionalis, baik “kolot” maupun “muda”,
baik evolusioner maupun revolusioner, sama berkeyakinan bahwa agama itu tidak
boleh dibawa-¬bawa ke dalam politik adanya. Sebaliknya, kaum Islam yang
“fanatik”, sama menghina politik kebangsaan dari kaum Nasionalis, menghina
politik kerezekian dari kaum Marxis; mereka memandang politik kebangsaan itu sebagai
sempit, dan mengatakan politik kerezekian itu sebagai kasar. Pendek kata, sudah
“sempurna”- lah adanya perselisihan faham!
Nasionalis-nasionalis
dan Marxis-marxis tahadi sama menuduh pada agama Islam, yang negeri-negeri
Islam itu kini begitu rusak keadaannya, begitu rendah derajatnya, hampir
semuanya di bawah pemerintahan negeri-negeri Barat.
Mereka
kusut-faham! Bukan Islam, melainkan yang memeluknyalah yang salah! Sebab
dipandang dari pendirian nasional dan pendirian sosialistis, maka tinggi derajat
dunia Islam pada mulanya sukarlah dicari bandingannya. Rusaknya
kebesaran-nasional, rusaknya sosialisme Islam bukanlah disebabkan oleh Islam
sendiri; rusaknya Islam itu yalah oleh karena rusaknya budi-pekerti orang-orang
yang menjalankannya. Sesudah Amir Muawiah mengutamakan azas
dinastis-keduniawian untuk aturan Chalifah, sesudahnya “Chalifah-chalifah itu
menjadi Raja”, maka padamlah tabiat Islam yang sebenarnya. “Amir Muawiah-lah
yang harus memikul pertanggungan jawab atas rusaknya tabiat Islam yang nyata
bersifat sosialistis dengan sebenar-benarnya”, begitulah Oemar Said
Tjokroaminoto berkata. Dan, dipandang dari pendirian nasional, tidakkah Islam
telah menunjukkan contoh-contoh kebesaran yang mencengang¬kan bagi siapa yang
mempelajari riwayat-dunia, mencengangkan bagi siapa yang mempelajari
riwayat-kultur?
Islam telah
rusak, oleh karena yang menjalankannya rusak budi-¬pekertinya. Negeri-negeri
Barat telah merampas negeri-negeri Islam oleh karena pada saat perampasan itu
kaum Islam kurang tebal tauhidnya, dan oleh karena menurut wet evolusi dan
susunan pergaulan-hidup bersama, sudah satu “historische Notwendigkeit”, satu
keharusan-riwayat, yang negeri-negeri Barat itu menjalankan perampasan tahadi.
Tebalnya tauhid itulah yang memberi keteguhan pada bangsa Riff menentang
imperialisme Sepanyol dan Perancis yang bermeriam dan lengkap bersenjata!
Islam yang
sejati tidaklah mengandung azas anti-nasionalis; Islam yang sejati tidaklah
bertabiat anti-sosialistis. Selama kaum Islamis memusuhi faham-faham Nasionalisme
yang luas-budi dan Marxisme yang benar, selama itu kaum Islamis tidak berdiri
di atas Sirothol Mustaqim; selama itu tidaklah ia bisa mengangkat Islam
dari.kenistaan dan kerusakan tahadi!
Kita sama
sekali tidak mengatakan yang Islam itu setuju pada Materialisme atau
perbendaan; sama sekali tidak melupakan yang Islam itu melebihi bangsa,
super-nasional. Kita hanya mengatakan, bahwa Islam yang sejati itu mengandung
tabiat-tabiat yang sosialistis dan menetapkan kewajiban-kewajibannya yang
menjadi kewajiban-kewajibannya na¬sionalis pula!
Bukankah,
sebagai yang sudah kita terangkan, Islam yang sejati mewajibkan pada pemeluknya
mecintai dan bekerja untuk negeri yang ia diami, mencintai dan bekerja untuk
rakyat di antara mana ia hidup, selama negeri dan rakyat itu masuk Darul-Islam?
Seyid
Jama¬luddin El Afghani di mana-mana telah mengkhotbahkan nasionalisme dan
patriotisme, yang oleh musuhnya lantas sahaja disebutkan “fanatisme”; di
mana-mana pendekar Pan-Islamisme ini mengkhotbahkan hormat akan diri sendiri,
mengkhotbahkan rasa luhur-diri, mengkhotbahkan rasa kehormatan bangsa, yang
oleh musuhnya lantas sahaja dinamakan “chauvinisme” adanya.
Di
mana-mana, terutama di Mesir, maka Seyid Jamaluddin menanam benih nasionalisme
itu; Seyid Jamaluddin lah yang menjadi “bapak nasionalisme Mesir di dalam
segenap bagian¬-bagiannya”.
Dan bukan
Seyid Jamaluddin sahajalah yang menjadi penanam benih nasionalisme dan
cinta-bangsa. Arabi Pasha, Mustafa Kamil, Mohammad Farid Bey, Ali Pasha, Ahmed
Bey Agayeff, Mohammad Ali dan Shaukat Ali … semuanya adalah panglimanya Islam
yang mengajar¬kan cinta-bangsa, semuanya adalah propagandis nasionalisme di
masing¬-masing negerinya! Hendaklah pemimpin-pemimpin ini menjadi teladan bagi
Islamis-islamis kita yang “fanatik” dan sempit-budi, dan yang tidak suka
mengetahui akan wajibnya merapatkan diri dengan gerakan bangsanya yang
nasionalistis. Hendaklah Islamis-islamis yang demikian itu ingat, bahwa
pergerakannya yang anti-kafir itu, pastilah menimbulkan rasa nasionalisme, oleh
karena golongan-golongan yang disebutkan kafir itu adalah kebanyakan dari lain
bangsa, bukan bangsa Indonesia! Islamisme yang memusuhi pergerakan nasional
yang layak bukanlah Islamisme yang sejati; Islamisme yang demikian itu adalah
Islamisme yang “kolot”, Islamisme yang tak mengerti aliran zaman!
Demikian
pula kita yakin, bahwa kaum Islamis itu bisalah kita rapatkan dengan kaum
Marxis, walaupun pada hakekatnya dua fihak ini berbeda azas yang lebar sekali.
Pedihlah hati kita, ingat akan gelap¬-gulitanya udara Indonesia, tatkala
beberapa tahun yang lalu kita menjadi saksi atas suatu perkelahian saudara;
menjadi saksi pecahnya permu¬suhan antara kaum Marxis dan Islamis; menjadi
saksi bagaimana tentara pergerakan kita telah terbelah jadi dua bahagian yang
memerangi satu sama lainnya.
Pertarungan
inilah isinya halaman-halaman yang paling suram dari buku-riwayat kita!
Pertarungan saudara inilah yang mem¬buang sia-sia segala kekuatan pergerakan
kita, yang mustinya makin lama makin kuat itu; pertarungan inilah yang
mengundurkan pergerakan kita dengan puluhan tahun adanya!
Aduhai!
Alangkah kuatnya pergerakan kita sekarang umpama pertarungan saudara itu tidak
terjadi. Niscaya kita tidak rusak-susunan sebagai sekarang ini; niscaya
pergerakan kita maju, walaupun rintangan yang bagaimana juga!
Kita yakin,
bahwa tiadalah halangan yang penting bagi persahabatan Muslim-Marxis itu. Di
atas sudah kita terangkan, bahwa Islamisme yang sejati itu ada mengandung
tabiat-tabiat yang sosialistis. Walaupun sosialistis itu masih belum tentu
bermakna Marxistis, walaupun kita mengetahui bahwa sosialisme Islam itu tidak
bersamaan dengan azas Marxisme, oleh karena sosialisme Islam itu berazas
Spiritualisme, dan sosialismenya Marxisme itu berazas Materialisme
(perbendaan); walaupun begitu, maka untuk keperluan kita cukuplah agaknya
jikalau kita membuktikan bahwa Islam sejati itu sosialistislah adanya.
Kaum Islam
tak boleh lupa, bahwa pemandangan Marxisme tentang riwayat menurut
azas-perbendaan (materialistische historie opvatting) inilah yang seringkali
menjadi penunjuk-jalan bagi mereka tentang soal-soal ekonomi dan politik-dunia
yang sukar dan sulit; mereka tak boleh pula lupa, bahwa caranya (methode)
Historis-Materialisme (ilmu perbendaan berhubungan dengan riwayat) menerangkan
kejadian-keja¬dian yang telah terjadi di muka-bumi ini, adalah caranya
menujumkan kejadian-kejadian yang akan datang, adalah amat berguna bagi mereka!
Kaum
Islamis tidak boleh lupa, bahwa kapitalisme, musuh Marxisme itu, yalah musuh
Islamisme pula! Sebab meerwaarde sepanjang faham Marxisme, dalam hakekatnya
tidak lainlah daripada riba sepanjang faham Islam. Meerwaarde, yalah teori:
memakan hasil pekerjaan lain orang, tidak memberikan bahagian keuntungan yang
seharusnya menjadi bahagian kaum buruh yang bekerja mengeluarkan untung itu, –
teori meerwaarde itu disusun oleh Karl Marx dan Friedrich Engels untuk
menerangkan asal-asalnya kapitalisme terjadi. Meerwaarde inilah yang menjadi
nyawa segala peraturan yang bersifat kapitalistis; dengan memerangi meerwaarde
inilah, maka kaum Marxisme memerangi kapital¬isme sampai pada akar-akarnya!
Untuk
Islamis sejati, maka dengan lekas sahaja teranglah baginya, bahwa tak layaklah
ia memusuhi faham Marxisme yang melawan peraturan meerwaarde itu, sebab ia tak
lupa, bahwa Islam yang sejati juga memerangi peraturan itu; ia tak lupa, bahwa
Islam yang sejati melarang keras akan perbuatan memakan riba dan memungut
bunga. Ia mengerti, bahwa riba ini pada hakekatnya tiada lain daripada
meerwaardenya faham Marxisme itu!
“Janganlah
makan riba berlipat-ganda dan perhatikanlah kewajibanmu terhadap Allah,
moga-moga kamu beruntung!”, begitulah tertulis dalam Al Qur’an, surah Al
‘Imran, ayat 129!
Islamis
yang luas pemandangan, Islamis yang mengerti akan kebutuh¬an-kebutuhan
perlawanan kita, pastilah setuju akan persahabatan dengan kaum Marxis, oleh
sebab ia insyaf bahwa memakan riba dan pemungutan bunga, menurut agamanya
adalah suatu perbuatan yang terlarang, suatu perbuatan yang haram; ia insyaf,
bahwa inilah caranya Islam memerangi kapitalisme sampai pada akar dan benihnya,
oleh karena, sebagai yang sudah kita terangkan di muka, riba ini sama dengan
meerwaarde yang menjadi nyawanya kapitalisme itu. Ia insyaf, bahwa sebagai
Marxisme, Islam pula, “dengan kepercayaannya pada Allah, dengan pengakuannya
atas Kerajaan Tuhan, adalah suatu protes terhadap kejahatannya kapitalisme”.
Islamis
yang “fanatik” dan memerangi pergerakan Marxisme adalah Islamis yang tak kenal
akan larangan-larangan agamanya sendiri. Islamis yang demikian itu tak
mengetahui, bahwa, sebagai Marxisme, Islamisme yang sejati melarang penumpukan
uang secara kapitalistis, melarang penimbunan harta-benda untuk keperluan
sendiri. Ia tak ingat akan ayat Al Qur’an: “Tetapi kepada barang siapa
menumpuk-numpuk emas dan perak dan membelanjakan dia tidak menurut jalannya
Allah khabarkanlah akan mendapat satu hukuman yang celaka!” Ia menge¬tahui,
bahwa sebagai Marxisme yang dimusuhi itu agama Islam dengan jalan yang demikian
itu memerangi wujudnya kapitalisme dengan seterang-terangnya!
Dan masih
banyaklah kewajiban-kewajiban dan ketentuan-ketentuan dalam agama Islam yang
bersamaan dengan tujuan-tujuan dan maksud-maksud Marxisme itu! Sebab tidakkah
pada hakekatnya faham kewajiban zakat dalam agama Islam itu, suatu kewajiban si
kaya membagikan rezekinya kepada si miskin, pembagian-rezeki mana dikehen¬daki
pula oleh Marxisme, – tentu sahaja dengan cara Marxisme sendiri? Tidakkah Islam
bercocokan anasir-anasir “kemerdekaan, persamaan dan persaudaraan” dengan
Marxisme yang dimusuhi oleh banyak kaum Islamis itu? Tidakkah Islam yang sejati
telah membawa “segenap peri-kemanu¬siaan di atas lapang kemerdekaan, persamaan
dan persaudaraan”? Tidakkah nabi-Islam sendiri telah mengajarkan persamaan itu
dengan sabda: “Hai, aku ini hanyalah seorang manusia sebagai kamu; sudahlah
dilahirkan padaku, bahwa Tuhanmu yalah Tuhan yang satu?” Bukankah persaudaraan
ini diperintahkan pula oleh ayat 13 Surah Al-Hujarat, yang bunyinya: “Hai
manusia, sungguhlah kami telah menjadikan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan, dan kami jadikan dari padamu suku-suku dan cabang-cabang
keluarga, supaya kamu berkenal¬-kenalan satu sama lain?” Bukankah persaudaraan
ini “tidak tinggal sebagai persaudaraan di dalam teori sahaja”, dan oleh
orang-orang yang bukan Islam diaku pula adanya? Tidakkah sayang beberapa kaum
Islamis memusuhi suatu pergerakan, yang anasir-anasirnya juga berbunyi
“kemerdekaan, persamaan dan persaudaraan”?
Hendaklah
kaum Islam yang tak mau merapatkan diri dengan kaum Marxis, sama ingat, bahwa
pergerakannya itu, sebagai pergerakan Marxis, adalah suatu gaung atau
kumandangnya jerit dan tangis rakyat Indonesia yang makin lama makin sempit
kehidupannya, makin lama makin pahit rumah tangganya. Hendaknya kaum itu sama
ingat, bahwa pergerakan¬nya itu dengan pergerakan Marxis, banyaklah persesuaian
cita-cita, banyak lah persamaan tuntutan-tuntutan.
Hendaklah
kaum itu mengambil teladan akan utusan kerajaan Islam Afghanistan, yang tatkala
ia ditanyai oleh suatu surat khabar Marxis telah menerangkan, bahwa, walaupun
beliau bukan seorang Marxis beliau mengaku menjadi “sahabat yang
sesungguh-sungguhnya” dari kaum Marxis, oleh karena beliau adalah suatu musuh
yang haibat dari kapitalisme Eropah di Asia!
Sayang,
sayanglah jikalau pergerakan Islam di Indonesia-kita ini bermusuhan dengan
pergerakan Marxis itu! Belum pernahlah di Indo¬nesia-kita ini ada pergerakan,
yang sesungguh-sungguhnya merupakan pergerakan rakyat, sebagai pergerakan Islam
dan pergerakan Marxis itu! Belum pernahlah di negeri-kita ini ada pergerakan
yang begitu menggetar sampai ke dalam urat-sungsumnya rakyat, sebagai
pergerakan yang dua itu! Alangkah haibatnya jikalau dua pergerakan ini, dengan
mana rakyat itu tidur dan dengan mana rakyat itu bangun, bersatu menjadi satu
banjir yang sekuasa-kuasanya!
Bahagialah
kaum pergerakan-Islam yang insyaf dan mau akan persa¬tuan. Bahagialah mereka,
oleh karena merekalah yang sesungguh-sungguh¬nya menjalankan perintah-perintah
agamanya! Kaum Islam yang tidak mau akan persatuan, dan yang mengira bahwa
sikapnya yang demikian itulah sikap yang benar, – wahai, moga-mogalah mereka
itu bisa mempertanggungkan sikapnya yang demikian itu di hadap¬an Tuhannya!
Marxisme!
Mendengar
perkataan ini, maka tampak sebagai suatu bayang-bayangan di penglihatan kita
gambarnya berduyun-duyun kaum yang mudlarat dari segala bangsa dan negeri,
pucat-muka dan kurus-badan, pakaian berkoyak¬-koyak ; tampak pada angan-angan
kita dirinya pembela dan kampiun si¬ mudlarat tahadi, seorang ahli-fikir yang
ketetapan hatinya dan keinsyafan akan kebisaannya “mengingatkan kita pada
pahlawan-pahlawan dari dongeng-dongeng kuno Germania yang sakti dengan tiada
teralahkan itu”, suatu manusia yang “geweldig” (haibat) yang dengan sesungguh-sungguhnya
bernama “grootmeester” (maha guru) pergerakan kaum buruh, yakni: Heinrich Karl
Marx.
Dari muda
sampai pada wafatnya, manusia yang haibat ini tiada berhenti-hentinya membela
dan memberi penerangan pada si miskin, bagaimana mereka itu sudah menjadi
sengsara dan bagaimana mereka itu pasti akan mendapat kemenangan; tiada kesal
dan capainya ia berusaha dan bekerja untuk pembelaan itu: duduk di atas kursi,
di muka meja-tulisnya, begitulah ia dalam tahun 1883 menghembuskan nafasnya
yang penghabisan.
Seolah-olah mendengarlah kita di mana-mana negeri suaranya men¬dengung sebagai
guntur, tatkala ia dalam tahun 1847 menulis seruannya:
“Kaum buruh
dari semua negeri, kumpullah menjadi satu!” Dan sesungguhnya! Riwayat-dunia
belumlah pernah menceriterakan pendapat dari seorang manusia, yang begitu cepat
masuknya dalam keyakinan satu golongan pergaulan-hidup, sebagai pendapatnya
kampiun kaum buruh ini. Dari puluhan menjadi ratusan, dari ratusan menjadi
ribuan, dari ribuan menjadi laksaan, ketian, jutaan .. begitulah jumlah
pengikutnya bertambah-tambah. Sebab, walaupun teori-teorinya ada sangat sukar
dan berat untuk kaum yang pandai dan terang-fikiran, tetapi “amatlah ia gampang
dimengerti oleh kaum yang tertindas dan sengsara: kaum melarat fikiran yang berkeluh-kesah
itu”.
Berlainan
dengan sosialis-sosialis lain, yang mengira bahwa cita-cita mereka itu dapat
tercapai dengan jalan persahabatan antara buruh dan majikan, berlainan dengan
umpamanya: Ferdinand Lassalle, yang teriaknya itu ada suatu teriak-perdamaian,
maka Karl Marx, yang dalam tulisan-tulisannya tidak satu kali mempersoalkan
kata asih atau kata cinta, membeberkan pula faham pertentangan golongan; faham
klassenstrijd, dan mengajarkan pula, bahwa lepasnya kaum buruh dari nasibnya
itu, yalah oleh perlawanan-zonder-damai terhadap pada kaum “bursuasi”, satu
perlawanan yang tidak boleh tidak, musti terjadi oleh karena peraturan yang
kapitalistis itu adanya.
Walaupun
pembaca tentunya semua sudah sedikit-sedikit mengetahui apa yang telah
diajarkan oleh Karl Marx itu, maka berguna pulalah agaknya, jikalau kita di
sini mengingatkan, bahwa jasanya ahli-fikir ini yalah:- ia mengadakan suatu
pelajaran gerakan fikiran yang bersandar pada perbendaan (Materialistische
Dialectiek) ; – ia membentangkan teori, bahwa harganya barang-barang itu
ditentukan oleh banyaknya “kerja” untuk membikin barang-barang itu, sehingga
“kerja” ini yalah “wert¬bildende Substanz”, dari barang-barang itu
(arbeids-waardeleer); – ia membeberkan teori, bahwa hasil pekerjaan kaum buruh
dalam pembikinan barang itu adalah lebih besar harganya daripada yang ia terima
sebagai upah (meerwaarde); – ia mengadakan suatu pelajaran riwayat yang
berdasar peri-kebendaan, yang mengajarkan, bahwa “bukan budi-¬akal manusialah
yang menentukan keadaannya, tetapi sebaliknya keadaan¬nya berhubung dengan
pergaulan-hiduplah yang menentukan budi-akalnya” (materialistische
geschiedenis-opvatting) ; – ia mengadakan teori, bahwa oleh karena “meerwaarde”
itu dijadikan kapital pula, maka kapital itu makin lama makin menjadi besar
(kapitaals-accumulatie), sedang kapital-kapital yang kecil sama mempersatukan
diri jadi modal yang besar (kapitaals-centralisatie), dan bahwa, oleh karena
persaingan, perusahaan¬-perusahaan yang kecil sama mati terdesak oleh
perusahaan-perusahaan yang besar, sehingga oleh desak-desakan ini akhirnya cuma
tinggal beberapa perusahaan sahaja yang amat besarnya (kapitaals-concentratie);
– dan ia mendirikan teori, yang dalam aturan kemodalan ini nasibnya kaum buruh
makin lama makin tak menyenangkan dan menimbulkan dendam¬ hati yang makin lama
makin sangat (Verelendungs-theorie); – teori-teori mana, berhubung dengan
kekurangan tempat, kita tidak bisa menerangkan lebih lanjut pada
pembaca-pembaca yang belum begitu mengetahuinya.
Meskipun
musuh-musuhnya, di antara mana kaum anarchis, sama menyangkal jasa-jasanya Marx
yang kita sebutkan di atas ini, meskipun lebih dulu, dalam tahun 1825, Adolphe
Blanqui dengan cara historis-materialistis sudah mengatakan, bahwa riwayat itu
“menetapkan kejadian-kejadiannya” sedang ilmu ekonomi “menerangkan sebab-apa
ke¬jadian-kejadian itu terjadi”; meskipun teori meerwaarde itu sudah lebih dulu
dilahirkan oleh ahli-ahli-fikir sebagai Sismondi, Thompson dan lain-lain;
meskipun pula teori konsentrasi-modal atau arbeidswaardeleer itu ada
bagian-bagiannya yang tak bisa mempertahankan diri terhadap kritik musuhnya
yang tak jemu-jemu mencari-cari salahnya; – meskipun begitu, maka tetaplah,
bahwa stelselnya Karl Marx itu mempunyai pengertian yang tidak kecil dalam
sifatnya umum, dan mempunyai pengertian yang penting dalam sifat
bagian-bagiannya. Tetaplah pula, bahwa, walaupun teori-teori itu sudah lebih
dulu dilahirkan oleh ahli¬ fikir lain, dirinya Marxlah, yang meski “bahasa”nya
itu untuk kaum “atasan” sangat berat dan sukarnya, dengan terang-benderang
meng¬uraikan teori-teori itu bagi kaum “tertindas dan sengsara yang
me¬larat-fikiran” itu dengan pahlawan-pahlawannya, sehingga mengerti dengan
terang-benderang. Dengan gampang sahaja, sebagai suatu soal yang
“sudah-mustinya-begitu”, mereka lalu mengerti teorinya atas meer¬waarde, lalu
mengerti, bahwa si majikan itu lekas menjadi kaya oleh karena ia tidak
memberikan semua hasil-pekerjaan padanya; mereka lalu sahaja mengerti, bahwa
keadaan dan susunan ekonomilah yang menetap-kan keadaan manusia tentang budi,
akal, agama, dan lain-lainnya, – bahwa manusia itu: e r i s t was e r i s t ;
mereka lantas sahaja mengerti, bahwa kapitalisme itu akhirnya pastilah binasa,
pastilah lenyap diganti oleh susunan pergaulan-hidup yang lebih adil, – bahwa kaum
“burjuasi” itu “teristimewa mengadakan tukang-tukang penggali liang kuburnya”.
Begitulah
teori-teori yang dalam dan berat itu masuk tulang-sungsum¬nya kaum buruh di
Eropah, masuk pula tulang sungsumnya kaum buruh di Amerika. Dan “tidakkah
sebagai suatu hal yang ajaib, bahwa keper¬cayaan ini telah masuk dalam
berjuta-juta hati dan tiada suatu kekuasaan juapun di muka bumi ini yang dapat
mencabut lagi dari padanya”. Se¬bagai tebaran benih yang ditiup angin ke
mana-mana tempat, dan tumbuh pula di mana-mana ia jatuh, maka benih Marxisme
ini berakar dan bersulur; di mana-mana pula, maka kaum “bursuasi” sama
menyiapkan diri dan berusaha membasmi tumbuh-tumbuhan “bahaya proletar” yang
makin lama makin subur itu. Benih yang ditebar-tebarkan di Eropah itu, seba¬gian
telah diterbangkan oleh tofan-zaman ke arah khatulistiwa, terus ke Timur,
hingga jatuh dan tumbuh di antara bukit-bukit dan gunung-gunung yang tersebar
di segenap kepulauan “sabuk-zamrud”, yang bernama Indo¬nesia. Dengungnya
nyanyian “Internasionale”, yang dari sehari-ke-sehari menggetarkan udara Barat,
sampai-kuatlah haibatnya bergaung dan ber¬kumandang di udara Timur …
Pergerakan Marxistis di Indonesia ini, ingkarlah sifatnya kepada pergerakan
yang berhaluan Nasionalistis, ingkarlah kepada pergerakan yang berazas
ke-Islaman. Malah beberapa tahun yang lalu, keingkaran ini sudah menjadi suatu
pertengkaran perselisihan faham dan pertengkaran sikap, menjadi suatu
pertengkaran saudara, yang, – sebagai yang sudah kita terangkan di muka, –
menyuramkan dan menggelapkan hati siapa yang mengutamakan perdamaian,
menyuramkan dan menggelapkan hati siapa yang mengerti, bahwa dalam pertengkaran
yang demikian itulah letaknya kekalah¬an kita. Kuburkanlah nasionalisme,
kuburkanlah politik cinta tanah-air, dan lenyapkanlah politik-keagamaan, –
begitulah seakan-akan lagu-perjoangan yang kita dengar. Sebab katanya: Bukankah
Marx dan Engels telah mengatakan, bahwa “kaum buruh itu tak mempunyai
tanah-air”? Katanya: Bukankah dalam “Manifes Komunis” ada tertulis, bahwa
“komu¬nisme itu melepaskan agama”? Katanya: Bukankah Babel telah mengatakan,
bahwa “bukan-lah Allah yang membikin manusia, tetapi manusialah yang
membikin-bikin Tuhan”?
Dan
sebaliknya! Fihak Nasionalis dan Islamis tak berhenti-henti pula mencaci-maki
fihak Marxis, mencaci-maki pergerakan yang “berseku¬tuan” dengan orang asing
itu, dan mencaci-maki pergerakan yang “mungkir” akan Tuhan. Mencaci pergerakan
yang mengambil teladan akan negeri Rusia yang menurut pendapatnya: azasnya
sudah palit dan terbukti tak dapat melaksanakan cita-citanya yang memang suatu
utopi, bahkan mendatangkan “kalang-kabutnya negeri” dan bahaya-kelaparan dan
hawar-penyakit yang mengorbankan nyawa kurang-lebih limabelas juta manusia,
suatu jumlah yang lebih besar daripada jumlahnya sekalian manusia yang binasa
dalam peperangan besar yang akhir itu.
Demikianlah
dengan bertambahnya tuduh-menuduh atas dirinya masing-masing pemimpin, duduknya
perselisihan beberapa tahun yang lalu: satu sama lain sudah s a l a h mengerti
dan saling tidak mengindahkan.
Sebab
taktik Marxisme yang baru, tidaklah menolak pekerjaan¬ bersama-sama dengan
Nasionalis dan Islamis di Asia. Taktik Marxisme yang baru, malahan menyokong
pergerakan-pergerakan Nasionalis dan Islamis yang sungguh-sungguh. Marxis yang
masih sahaja bermusuhan dengan pergerakan-pergerakan Nasionalis dan Islamis
yang keras di Asia, Marxis yang demikian itu tak mengikuti aliran zaman, dan
tak mengerti akan taktik Marxisme yang sudah berobah.
Sebaliknya,
Nasionalis dan Islamis yang menunjuk-nunjuk akan “faillietnya” Marxisme itu,
dan yang menunjuk-nunjuk akan bencana kekalang-kabutan dan bencana-kelaparan
yang telah terjadi oleh “prac¬tijknya” faham Marxisme itu, – mereka menunjukkan
tak mengertinya atas faham Marxisme, dan tak mengertinya atas sebab terpelesetnya
“prac¬tijknya” tahadi. Sebab tidakkah Marxisme sendiri mengajarkan, bahwa
sosialismenya itu hanya bisa tercapai dengan sungguh-sungguh bilamana
negeri-negeri yang besar-besar itu semuanya di-“sosialis”-kan?
Bukankah
“kejadian” sekarang ini jauh berlainan daripada “voor¬waarde” (syarat) untuk
terkabulnya maksud Marxisme itu?
Untuk
adilnya kita punya hukuman terhadap pada “practijknya” faham Marxisme itu, maka
haruslah kita ingat, bahwa “failliet” dan “kalang¬-kabut” – nya negeri Rusia
adalah dipercepat pula oleh penutupan atau blokkade oleh semua negeri-negeri
musuhnya; dipercepat pula oleh han¬taman dan serangan pada empatbelas tempat
oleh musuh-musuhnya sebagai Inggeris, Perancis, dan jenderal-jenderal Koltchak,
Denikin, Yudenitch dan Wrangel; dipercepat pula oleh anti-propaganda yang
dilakukan oleh hampir semua surat-khabar di seluruh dunia.
Di dalam
pemandangan kita, maka musuh-musuhnya itu pula harus ikut bertanggungjawab atas
matinya limabelas juta orang yang sakit dan kelaparan itu, di mana mereka menyokong
penyerangan Koltchak, Denikin, Yudenitch dan Wrangel itu dengan harta dan
benda; di mana umpamanya negeri Inggeris, yang membuang-buang berjuta-juta
rupiah untuk menyokong penyerangan-penyerangan atas diri sahabatnya yang dulu
itu, telah “mengotorkan nama Inggeris di dunia dengan menolak memberi tiap-tiap
bantuan pada kerja-penolongan” si sakit dan si lapar itu; di mana di Amerika,
di Rumania, dan di Hongaria pada saat terjadinya bencana itu pula, karena
terlalu banyaknya gandum, orang sudah memakai gandum itu untuk kayu-bakar,
sedang di negeri Rusia orang-orang di distrik Samara makan daging anak-anaknya
sendiri oleh karena laparnya.
Bahwa
sesungguhnya, luhurlah sikapnya H. G. Wells, penulis Ing¬geris yang masyhur
itu, seorang yang bukan Komunis, di mana ia dengan tak memihak pada siapa juga,
menulis, bahwa, umpamanya kaum bolshevik itu “tidak dirintang-rintangi mereka
barangkali bisa menyelesaikan suatu experiment (percobaan) yang maha-besar
faedahnya bagi peri-kemanusiaan …
Tetapi
mereka dirintang-rintangi”.Kita yang bukan komunis pula, kitapun tak memihak
pada siapa juga! Kita hanyalah memihak kepada Persatuan¬-persatuan-Indonesia,
kepada persahabatan pergerakan kita semua!
Kita di atas menulis, bahwa taktik Marxisme yang sekarang adalah berlainan
dengan taktik Marxisme yang dulu. Taktik Marxisme, yang dulu sikapnya begitu
sengit anti-kaum-kebangsaan dan anti-kaum-keagamaan, maka sekarang, terutama di
Asia, sudahlah begitu berobah, hingga kesengitan “anti” ini sudah berbalik
menjadi persahabatan dan penyo¬kongan. Kita kini melihat persahabatan kaum
Marxis dengan kaum Nasionalis di negeri Tiongkok; dan kita melihat persahabatan
kaum Marxis dengan kaum Islamis di negeri Afghanistan.
Adapun
teori Marxisme sudah berobah pula. Memang seharusnya begitu! Marx dan Engels
bukanlah nabi-nabi, yang bisa mengadakan aturan-aturan yang bisa terpakai untuk
segala zaman. Teori-teorinya haruslah diobah, kalau zaman itu berobah;
teori-teorinya haruslah diikut¬kan pada perobahannya dunia, kalau tidak mau
menjadi bangkrut. Marx dan Engels sendiripun mengerti akan hal ini; mereka
sendiripun dalam tulisan-tulisannya sering menunjukkan perobahan faham atau
perobahan tentang kejadian-kejadian pada zaman mereka masih hidup.
Bandingkanlah pendapat-pendapatnya sampai tahun 1847; bandingkanlah pendapatnya
tentang arti “Verelendung” sebagai yang dimaksudkan dalam “Manifes Komunis”
dengan pendapat tentang arti perkataan itu dalam “Das Kapital”, maka segeralah
tampak pada kita perobahan faham atau perobahan perindahan itu. Bahwasanya:
benarlah pendapat sosial demokrat Emile Vandervelde, di mana ia mengatakan,
bahwa “revisionisme itu tidak mulai dengan Bernstein, akan tetapi dengan Marx
dan Engels adanya”.
Perobahan
taktik dan perobahan teori itulah yang menjadi sebab, maka kaum Marxis yang
“muda” baik “sabar” maupun yang “keras”, terutama di Asia, sama menyokong
pergerakan nasional yang sungguh¬-sungguh. Mereka mengerti, bahwa di
negeri-negeri Asia, di mana belum ada kaum proletar dalam arti sebagai di
Eropah atau Amerika itu, per¬gerakannya harus diobah sifatnya menurut
pergaulan-hidup di Asia itu pula. Mereka mengerti, bahwa pergerakan Marxistis
di Asia haruslah berlainan taktik dengan pergerakan Marxis di Eropah atau Asia,
dan harus¬lah “bekerja bersama-sama dengan partai-partai yang
“klein-burgerlijk”, oleh karena di sini yang pertama-tama perlu bukan kekuasaan
tetapi yalah perlawanan terhadap pada feodalisme”.
Supaya kaum
buruh di negeri-negeri Asia dengan leluasa bisa menjalankan pergerakan yang
sosialistis sesungguh-sungguhnya, maka perlu sekali negeri-negeri itu m e r d e
k a, perlu sekali kaum itu mempunyai nationale autonomie (otonomi nasional).
“Nationale autonomie adalah suatu tujuan yang harus dituju oleh perjoangan
proletar, oleh karena ia ada suatu upaya yang perlu sekali bagi politiknya”,
begitulah Otto Bauer berkata. Itulah sebabnya, maka otonomi nasional ini
menjadi suatu hal yang pertama-tama harus diusahakan oleh pergerakan-pergerakan
buruh di Asia itu. Itulah sebabnya, maka kaum buruh di Asia itu wajib beker¬ja
bersama-sama dan menyokong segala pergerakan yang merebut otonomi nasional itu
j u g a, dengan tidak menghitung-hitung, azas apakah pergerakan-pergerakan itu
mempunyainya. Itulah sebabnya, maka pergerakan Marxisme di Indonesia ini harus
pula menyokong pergerakan-pergerakan kita yang Nasionalistis dan Islamistis
yang mengambil otonomi itu seba¬gai maksudnya pula.
Kaum Marxis
harus ingat, bahwa pergerakannya itu, tak boleh tidak, pastilah menumbuhkan
rasa Nasionalisme di hati-sanubari kaum buruh Indonesia, oleh karena modal di
Indonesia itu kebanyakannya yalah modal asing, dan oleh karena budi perlawanan
itu menumbuhkan suatu rasa tak senang dalam sanubari kaum-buruhnya rakyat
di-“bawah” terhadap pada rakyat yang di-“atas”-nya, dan menumbuhkan suatu
keinginan pada nationale machts-politiek dari rakyat sendiri.Mereka harus
ingat, bahwa rasa-internasionalisme itu di Indonesia niscaya tidak begitu tebal
sebagai di Eropah, oleh karena kaum buruh di Indonesia ini menerima faham
internasionalisme itu pertama-tama yalah sebagai taktik, dan oleh karena bangsa
Indonesia itu oleh “gehechtheid” pada negerinya, dan pula oleh kekurangan
bekal, belum banyak yang nekat meninggalkan Indonesia, untuk mencari kerja di
lain-lain negeri, dengan iktikad: “ubi bene, ibi patria: di mana aturan-kerja
bagus, di situlah tanah-air saya”, – sebagai kaum buruh di Eropah yang menjadi
tidak tetap-rumah dan tidak tetap tanah-air oleh karenanya.
Dan jikalau
ingat akan hal-hal ini semuanya, maka mereka niscaya ingat pula akan salahnya
memerangi pergerakan bangsanya yang nasionalistis adanya. Niscaya mereka ingat
pula akan teladan-teladan pemimpin pemimpin Marxis di lain-lain negeri, yang
sama bekerja bersama-sama dengan kaum-kaum nasionalis atau kebangsaan. Niscaya
mereka ingat pula akan teladan pemimpin-pemimpin Marxis di negeri Tiongkok,
yang dengan ridla hati sama menyokong usahanya kaum Nasionalis, oleh sebab
mereka insyaf bahwa negeri Tiongkok itu pertama-tama butuh persatuan nasional
dan kemerdekaan nasional adanya.
Demikian
pula, tak pantaslah kaum Marxis itu bermusuhan dan ber¬bentusan dengan
pergerakan Islam yang sungguh-sungguh.
Tak pantas
mereka memerangi pergerakan, yang, sebagaimana sudah kita uraikan di atas,
dengan seterang-terangnya bersikap anti-kapitalisme; tak pantas mereka
memerangi suatu pergerakan yang dengan sikapnya anti-riba dan anti-bunga dengan
seterang-terangnya yalah anti-meerwaarde pula; dan tak pantas mereka memerangi
suatu pergerakan yang dengan seterang¬-terangnya mengejar kemerdekaan,
persamaan dan persaudaraan, dengan seterang-terangyya mengejar nationale
autonomie. Tak pantas mereka bersikap demikian itu, oleh karena taktik
Marxisme-baru terhadap agama adalah berlainan dengan taktik Marxisme-dulu.
Marxsme-baru adalah berlainan dengan Marxisme dari tahun 1847, yang dalam “Manifes
Ko-munis” mengatakan, bahwa agama itu harus di-“abschaffen” atau dile¬paskan
adanya.
Kita harus
membedakan Historis-Materialisme itu daripada Wijsgerig-Materialisme; kita
harus memperingatkan, bahwa maksudnya Historis-Materialisme itu berlainan dari
pada maksudnya Wijsgerig-Materialisme tahadi. Wijsgerig-Materialisme memberi
jawaban atas pertanyaan: bagaimanakah hubungannya antara fikiran (denken)
dengan benda (materie), bagaimanakah fikiran itu terjadi, sedang
Historis-Materialisme memberi jawaban atas soal: sebab apakah fikiran itu dalam
suatu zaman ada begitu atau begini; wijsgerig-materialisme menanyakan adanya
(wezen) fikiran itu; historis-materialisme menanya¬kan sebab-sebabnya fikiran
itu b e r o b a h ; wijsgerig-materialisme men¬cari asalnya fikiran, historis
materialisme mempelajari tumbuhnya fikiran; wijsgerig materialisme adalah
wijsgerig, historis materialisme adalah historis.
Dua faham
ini oleh musuh-musuhnya Marxisme di Eropah, terutama kaum gereja, senantiasa
ditukar-tukarkan, dan senantiasa dikelirukan satu sama lain. Dalam
propagandanya anti-Marxisme mereka tak berhenti¬-henti mengusahakan kekeliruan
faham itu; tak berhenti-henti mereka menuduh-nuduh, bahwa kaum Marxisme itu
yalah kaum yang mempela¬jarkan, bahwa fikiran itu hanyalah suatu pengeluaran
sahaja dari otak, sebagai ludah dari mulut dan sebagai empedu dari limpa; tak
berhenti¬-henti mereka menamakan kaum Marxis suatu kaum yang menyembah benda,
suatu kaum yang bertuhankan materi.
Itulah
asalnya kebencian kaum Marxis Eropah terhadap kaum gere¬ja, asalnya sikap
perlawanan kaum Marxis Eropah terhadap kaum agama. Dan perlawanan ini bertambah
sengitnya, bertambah kebenciannya, di mana kaum gereja itu memakai-makai
agamanya untuk melindung-lindungi kapitalisrne, memakai-makai agamanya untuk
membela keperluan kaum atasan, memakai-makai agamanya untuk menjalankan politik
yang reak¬sioner sekali.
Adapun
kebencian pada kaum agama yang timbulnya dari sikap kaum gereja yang reaksioner
itu, sudah dijatuhkan pula oleh kaum Marxis kepada kaum agama Islam, yang
berlainan sekali sikapnya dan berlainan sekali sifatnya dengan kaum gereja di
Eropah itu. Di sini agama Islam adalah agama kaum yang tak merdeka; di sini
agama Islam adalah agama kaum yang di-“bawah”. Sedang kaum yang memeluk agama
Kristen adalah kaum yang bebas; di sana agama Kristen adalah agama kaum yang
di-“atas”. Tak boleh tidak, suatu agama yang anti-kapitalisme, agama kaum yang
tak merdeka, agama kaum yang di-“bawah” ini; agama yang menyuruh mencari
kebebasan, agama yang melarang menjadi kaum “bawahan”, – agama yang demikian
itu pastilah menimbulkan sikap yang tidak reaksioner, dan pastilah menimbulkan
suatu perjoangan yang dalam beberapa bagian s e s u a i dengan perjoangan
Marxisme itu.
Karenanja,
jikalau kaum Marxisme ingat akan perbedaan kaum gereja di Eropah dengan kaum
Islam di Indonesia ini, maka niscaya mere¬ka mengajukan tangannya, sambil
berkata: saudara, marilah kita bersatu. Jikalau mereka menghargai akan
contoh-contoh saudara-saudaranya¬ seazas yang sama bekerja bersama-sama dengan
kaum Islam, sebagai yang terjadi di lain-lain negeri, maka niscayalah mereka
mengikuti contoh¬-contoh itu pula. Dan jikalau mereka dalam pada itu juga
bekerja bersama-sama dengan kaum Nasionalis atau kaum kebangsaan, maka mereka
dengan tenteram-hati boleh berkata: kewajiban kita sudah kita penuhi.
Dan dengan
memenuhi segala kewajiban Marxis-muda tahadi itu, dengan memperhatikan segala
perobahan teori azasnya, dengan menja¬lankan segala perobahan taktik
pergerakannya itu, mereka boleh menye¬butkan diri pembela rakyat yang
tulus-hati, mereka boleh menyebutkan diri garamnya rakyat.
Tetapi
Marxis yang ingkar akan persatuan, Marxis yang kolot-teori dan kuno-taktiknya,
Marxis yang memusuhi pergerakan kita Nasionalis dan Islamis yang
sungguh-sungguh, – Marxis yang demikian itu jangan¬lah merasa terlanggar
kehormatannya jikalau dinamakan racun rakyat adanya!
Tulisan
kita hampir habis.
Dengan
jalan yang jauh kurang sempurna, kita mencoba membuktikan, bahwa faham
Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme itu dalam negeri jajahan pada beberapa
bagian menutupi satu sama lain. Dengan jalan yang jauh kurang sempurna kita
menunjukkan teladan pemimpin¬-pemimpin di lain negeri. Tetapi kita yakin, bahwa
kita dengan terang¬-benderang menunjukkan kemauan kita menjadi satu. Kita
yakin, bahwa pemimpin-pemimpin Indonesia semuanya insyaf, bahwa Persatuan¬lah
yang membawa kita ke arah ke-Besaran dan ke-Merdekaan. Dan kita yakin pula,
bahwa, walaupun fikiran kita itu tidak mencocoki semua kemauan dari
masing-masing fihak, ia menunjukkan bahwa Persatuan itu bisa tercapai. Sekarang
tinggal menetapkan sahaja organisasinya, bagaimana Persatuan itu bisa berdiri;
tinggal mencari organisatornya sahaja, yang menjadi Mahatma Persatuan itu.
Apakah Ibu-Indonesia, yang mempunyai Putera-putera sebagai Oemar Said
Tjokroaminoto, Tjipto Mangunkusumo dan Semaun, –apakah Ibu-Indonesia itu tak
mempunyai pula Putera yang bisa menjadi Kampiun Persatuan itu?
Kita harus bisa menerima; tetapi kita juga harus bisa memberi. Inilah
rahasianya Persatuan itu. Persatuan tak bisa terjadi, kalau masing¬-masing
fihak tak mau memberi sedikit-sedikit pula.
Dan jikalau
kita semua insyaf, bahwa kekuatan hidup itu letaknya tidak dalam menerima,
tetapi dalam memberi; jikalau kita semua insyaf, bahwa dalam percerai-beraian
itu letaknya benih perbudakan kita; jikalau kita semua insyaf, bahwa permusuhan
itulah yang menjadi asal kita punya “via dolorosa” ; jikalau kita insyaf, bahwa
Rokh Rakyat Kita masih penuh kekuatan untuk menjunjung diri menuju Sinar yang
Satu yang berada ditengah-tengah kegelapan-gumpita yang mengelilingi kita ini,
– maka pastilah Persatuan itu terjadi, dan pastilah Sinar itu tercapai
juga.Sebab Sinar itu dekat!
“Suluh
Indonesia Muda”, 1926