Dalam beberapa tahun terakhir Amerika semakin arogansi menunjukkan jati diri sebagai “Negara besar.” Dan yang lebih mengiris perasaan adalah sikap Negara kecil atau Negara ke 3 atau apapun istilahnya seakan-akan mengamini sikap arogansi Amerika.
Saat Obama terpilih sebagai orang nomer satu di Gedung Putih semua media masa sibuk meliputnya, bahkan mungkin lebih sibuk dibanding meliput bencana yang ada dinegeri masing-masing.
Pertanyaannya adalah : Bagaimana Soekarno dari Indonesia menghadapi arogansi Amerika? Sekelumit tulisan ini dapat kiranya menjadi sebuah gambaran bagi kita.
Sikap Bung Karno yang tegas dalam politik luar negeri, membuat Amerika Serikat tidak nyaman. Karena itu pula, dalam sejarah perjalanan bangsa di bawah kepemimpinan Bung Karno, hubungan Indonesia dan Amerika Serikat bisa dibilang tidak mesra. Pada dasarnya, Bung Karno sendiri anti kapitalisme-liberalisme, tapi dia juga bukan seorang komunis. Sukarno hanyalah seorang nasionalis, bahkan ultra nasionalis.
Dalam hubungan dishamonis antara Indonesia – Amerika Serika, tergambar dalam ketegangan hubungan antara Presiden Sukarno dan Presiden Dwight D. Eisenhower. Suatu hari di tahun 1960, Bung Karno diundang ke Washington. Tapi apa yang terjadi? Sesampai di Washington, Eisenhower tidak menyambutnya di lapangan terbang. Bung Karno cuma membatin, “Baiklah.” Bahkan ketika sampai di Gedung Putih, Eisenhower pun tidak menampakkan batang hidungnya. Untuk itu pun, Bung Karno masih membatin, “Baiklah.”
Akan tetapi, ketika Eisenhower membuat Bung Karno menunggu di luar, di ruang tunggu, menanti yang tak pasti, hati Bung Karno terbakar… “Keterlaluan,” gumam Bung Karno, geram. Tapi toh Bung Karno, sebagai tamu negar, dia masih bisa bersabar. Ketika satu jam hampir berlalu, habis sudah kesabaran Bung Karno. Ia segera menghampiri kepala protokol dan berkata tajam, “Apakah saya harus meunggu lebih lama lagi? Oleh karena, kalau harus begitu, saya akan berangkat sekarang juga!”
Kepala protokol itu pucat, dan memohon Bung Karno menahan barang satu-dua menit. Sejurus kemudian, keluarlah Eisenhower. Sama sekali tidak ada permintaan maaf. Bahkan ketika mengiringkan Bung Karno masuk pun, tidak ada kata maaf dari Eisenhower kepada tamu negara dari Republik Indonesia, Sukarno.
Itu kali pertama Bung Karno merasakan penghinaan Eisenhower. Rupanya tidak berhenti di situ. Ada peristiwa kedua, yang dianggap Bung Karno merupakan penghinaan, yaitu ketika Eisenhower berkunjung ke Manila, Filipina, dan dia menolak untuk berkunjung ke Indonesia. “Boleh dikata dia sudah berada di tepi pagar rumahku, dia menolak mengunjungi Indonesia,” ujar Bung Karno, seperti dituturkan kepada Cindy Adams.
Adakah pemimpin negeri ini yang berani mengambil sikap seperti Presiden Soekarno? Jawabannya adalah “Tidak” sekali lagi “Tidak”
Saat Obama terpilih sebagai orang nomer satu di Gedung Putih semua media masa sibuk meliputnya, bahkan mungkin lebih sibuk dibanding meliput bencana yang ada dinegeri masing-masing.
Pertanyaannya adalah : Bagaimana Soekarno dari Indonesia menghadapi arogansi Amerika? Sekelumit tulisan ini dapat kiranya menjadi sebuah gambaran bagi kita.
Sikap Bung Karno yang tegas dalam politik luar negeri, membuat Amerika Serikat tidak nyaman. Karena itu pula, dalam sejarah perjalanan bangsa di bawah kepemimpinan Bung Karno, hubungan Indonesia dan Amerika Serikat bisa dibilang tidak mesra. Pada dasarnya, Bung Karno sendiri anti kapitalisme-liberalisme, tapi dia juga bukan seorang komunis. Sukarno hanyalah seorang nasionalis, bahkan ultra nasionalis.
Dalam hubungan dishamonis antara Indonesia – Amerika Serika, tergambar dalam ketegangan hubungan antara Presiden Sukarno dan Presiden Dwight D. Eisenhower. Suatu hari di tahun 1960, Bung Karno diundang ke Washington. Tapi apa yang terjadi? Sesampai di Washington, Eisenhower tidak menyambutnya di lapangan terbang. Bung Karno cuma membatin, “Baiklah.” Bahkan ketika sampai di Gedung Putih, Eisenhower pun tidak menampakkan batang hidungnya. Untuk itu pun, Bung Karno masih membatin, “Baiklah.”
Akan tetapi, ketika Eisenhower membuat Bung Karno menunggu di luar, di ruang tunggu, menanti yang tak pasti, hati Bung Karno terbakar… “Keterlaluan,” gumam Bung Karno, geram. Tapi toh Bung Karno, sebagai tamu negar, dia masih bisa bersabar. Ketika satu jam hampir berlalu, habis sudah kesabaran Bung Karno. Ia segera menghampiri kepala protokol dan berkata tajam, “Apakah saya harus meunggu lebih lama lagi? Oleh karena, kalau harus begitu, saya akan berangkat sekarang juga!”
Kepala protokol itu pucat, dan memohon Bung Karno menahan barang satu-dua menit. Sejurus kemudian, keluarlah Eisenhower. Sama sekali tidak ada permintaan maaf. Bahkan ketika mengiringkan Bung Karno masuk pun, tidak ada kata maaf dari Eisenhower kepada tamu negara dari Republik Indonesia, Sukarno.
Itu kali pertama Bung Karno merasakan penghinaan Eisenhower. Rupanya tidak berhenti di situ. Ada peristiwa kedua, yang dianggap Bung Karno merupakan penghinaan, yaitu ketika Eisenhower berkunjung ke Manila, Filipina, dan dia menolak untuk berkunjung ke Indonesia. “Boleh dikata dia sudah berada di tepi pagar rumahku, dia menolak mengunjungi Indonesia,” ujar Bung Karno, seperti dituturkan kepada Cindy Adams.
Adakah pemimpin negeri ini yang berani mengambil sikap seperti Presiden Soekarno? Jawabannya adalah “Tidak” sekali lagi “Tidak”
(Sumber : penasoekarno.wordpress.com)