Saat Sukarno Belajar di HBS, Surabaya adalah Kota yang Sibuk seperti New York


Ketika pertama kali datang ke Surabaya untuk sekolah di Hogere Burger School (HBS), kancah politik di Hindia Belanda sedang bergairah. Bapak kos Sukarno, Haji Oemar Said Tjokroaminoto, adalah pemimpin organisasi yang progresif pada masanya: Sarekat Islam.

Penindasan yang sudah demikian lama dirasakan negeri jajahan menyebabkan bangkitnya para pelopor. Sun Yat Sen mendirikan Gerakan Nasional Tiongkok pada tahun 1885. Kongres Nasional India tahun 1887.Aguinaldo dan Rizal membangkitkan Filipina.
“Di tahun‐tahun permulaan abad ke‐20, seluruh Asia bangkit. Di abad keduapulah yang megah itu, bangsa Indonesia yang lemah dan pemalu itu pun dapat merasakan gelora daripada kebangkitan ini,” kata Sukarno.
Medio Mei 1908, para pemimpin di Jawa menyusun partai nasional yang pertama dengan nama “Budi Utomo”, yang artinya “Usaha yang Suci”. Di tahun 1912, organisasi ini memberi jalan kepada Sarekat Islam yang mempunyai anggota sebanyak dua setengah juta orang di bawah pimpinan Tjokroaminoto.
“Bangsa Indonesia yang menderita secara perseorangan sekarang mulai menyatukan diri dan persatuan nasional mulai tersebar. Ia (Sarekat Islam) lahir di Jakarta, akan tetapi sang bayi baru pertamakali melangkahkan kakinya di Surabaya,” katanya.
Maka, di tahun 1916, Surabaya merupakan kota pelabuhan yang sangat sibuk dan ribut, lebih menyerupai kota New York. Pelabuhannya bagus dan menjadi pusat perdagangan yang aktif. Ia menjadi suatu kota industri yang penting dengan pertukaran yang cepat dalam perdagangan gula, teh, tembakau, kopi.
Surabaya menjadi kota tempat perlombaan dagang yang kuat. Orang‐orang Tionghoa yang cerdas itu, dalam jumlah cukup besar–juga para pelaut dan pedagang–membawa kabar dari segala penjuru dunia.Penduduknya semakin bertambah.
Singkatnya, Surabaya adalah kota yang penuh dengan persaingan, pemboikotan, perkelahian di jalan‐jalan. Kota itu bergolak dengan ketidakpuasan dari orang‐orang revolusioner. Nah, di sanalah Sukarno tumbuh dewasa.
“Di tengah‐tengah kancah yang mendidih demikian itulah seorang anak ibu berumur 15 tahun masuk dengan menjinjing sebuah tas kecil,” kata Sukarno.
(Sumber : sukarno.org)

Post a Comment

Previous Post Next Post