Setelah menempuh pendidikan Belanda selama lima tahun di Hogere Burger School (HBS) Surabaya, Sukarno akhirnya lulus pada 10 Juni 1921. Sukarno ingin menempuh kuliah di Belanda.
Tepat sehari setelah lulus, Sukarno mengatakan niatnya itu kepada orangtuanya. Namun, ternyata, ibunya, Ida Ayu Nyoman Rai, menolak keras. Sukarno ngotot, tapi sang ibu tetap melarang.
“Ibu, semua anak‐anak yang lulus dari H.B.S. dengan sendirinya pergi ke Negeri Belanda. Itu jalan yang biasa. Kalau orang mau memasuki sekolah tinggi dia pergi ke Negeri Belanda,” pinta Sukarno.
“Tidak. Tidak bisa. Anakku tidak akan pergi ke Negeri Belanda,” ibunya memprotes.
“Apa salahnya keluar negeri?” Sukarno ngotot.
“Tidak ada salahnya,” ibunya mulai menjelaskan. “Tapi banyak jeleknya untuk pergi ke negeri Belanda. Apakah yang menyebabkan kau tertarik? Pikiran untuk mencapai gelar universitas ataukah pengharapan akan mendapat seorang perempuan kulit putih?”
”Saya ingin masuk universitas, Bu.” jawab Sukarno mulai melunak.
“Kalau itu yang kauingini, kau memasuki yang di sini. Pertama kita harus mengingat kenyataan pokok yang mengendalikan sesuatu dalam hidup kita, Uang. Pergi keluar negeri memerlukan biaya yang sangat besar.”
“Disamping itu,” ibunya menjelaskan lagi, “engkau adalah anak yang dilahirkan dengan darah Hindia. Aku ingin supaya engkau tinggal di sini di antara bangsa kita sendiri.”
“Jangan lupa sekali‐kali, Nak! bahwa tempatmu, nasibmu, pusakamu adalah di kepulanan ini.”
Dan begitulah, Sukarno akhirnya nurut pesan ibunya. Ia mendaftarkan diri ke Technische Hoogeschool te Bandoeng (sekarang Institut Teknologi Bandung). Di Bandung, pemuda Sukarno mengawali perjuangannya.
“Sesungguhnya tangan Tuhanlah yang telah menggerakkan hatiku,” kata Sukarno.