Begitu menamatkan kuliahnya di jurusan teknik sipil Technische Hoogeschool Bandung (sekarang ITB) pada 25 Mei 1926, Sukarno langsung ditawari banyak “pekerjaan”. Diiming-imingi jadi pegawai negeri Belanda, Sukarno malah menolak. Padahal, ia membutuhkan uang dan pekerjaan.
“Menurut para mahaguru, tesisku tentang konstruksi pelabuhan dan jalanan air ditambah dengan teoriku tentang perencanaan kota, mempunyai “nilai penemuan dan keaslian yang begitu tinggi,” cerita Sukarno dalam buku otobiografinya.
“Sehingga untukku disediakan jabatan sebagai assisten dosen. Aku menolaknya. Juga ditawarkan pekerjaan pemerintahan kota. Inipun kutolak.”
Seorang profesor bernama Woldf Schoemaker terus membujuk Sukarno agar mau “bergabung” dengan pemerintah. Menurut Woldf, selain cakap di bidang keilmuannya, Sukarno juga insiyur yang memiliki ide-ide kreatif. Woldf ingin Sukarno tidak menyia-nyiakan ilmunya itu.
Woldf bahkan langsung menghubungkan Sukarno dengan Direktur Pekerjaan umum. Sukarno diminta membuat komplek rumah untuk bupati di Bandung. Bukannya memberikan jawaban yang menggembirakan, Sukarno malah menggurui konsep perencanaan kota yang dilakukan oleh Belanda.
“Maafkan saya, tuan, konsepsi tuan didasarkan pada semangat pedagang rempah rempah Belanda. Setiap orang Belanda merencanakan secara teknis salah,” kata Sukarno menunjukkan pengetahuannya.
“Persil‐persil di Bandung hanya 15 meter lebar dan 20 meter ke dalam dan rumah‐rumahnya sempit. Kota Bandung direncanakan seperti kandang ayam. Bahkan jalannya sempit, karena ia dibuat menurut cara berpikir Belanda yang sempit. Sama saja dengan proyek yang tuan rencanakan.”
Tak mau mengecewakan orang yang mempromosikannya, Sukarno tetap berkomunikasi dengan Profesor Woldf. Ia menjelaskan alasan mengapa tidak mau bekerja sama dengan pemerintah. Menurutnya, ia menjalankan politik non-kooperasi untuk memperjuangkan kemerdekaan bangsannya.
“Saya tidak yakin dikemudian hari akan menjadi pembangun rumah. Tujuan saya ialah untuk menjadi pembangun dari suatu bangsa,” kata Sukarno kepada Woldf.
Menurut Sukarno, penolakan pekerjaan itu semata-mata agar ia tetap bisa bebas berpikir dan bertindak. Kalau ia bekerja dengan pemerintah, maka sama saja ia secara diam-diam membantu politik penindasan.
“Pemuda sekarang harus merombak kebiasaan untuk menjadi pegawai kolonial segera setelah memperoleh gelarnya. Kalau tidak begitu, kami tidak akan merdeka selama‐lamanya,” kata Sukarno.
“Jangan terima pekerjaan jangka lama, kalau sekiranya perasaan tidak senangmu begitu kuat,” Woldf tetap membujuk Sukarno, “Akan tetapi buatlah satu rumah ini saja untuk Bupati. Cobalah kerjakan ….. Kerjakanlah atas permintaan saya.”
Sukarno akhirnya luluh dengan permohonan Woldf. Ia hanya mau mengerjakan satu proyek saja. Karyanya begitu mengesankan. Ia kebanjiran order dari pemerintah untuk mengerjakan karya-karya arsitektur serupa. Namun, yah, namanya juga Sukarno: ia tetap tidak tergiur menerima tawaran selanjutnya.
“Sungguhpun bantuan uang dari keluargaku sudah tidak ada lagi semenjak aku selesai dan sekalipun aku tidak mempunyai jalan yang nyata untuk membantu isteriku, aku menolaknya…”
(Sumber : sukarno.org)