Bung Karno di Akhir Hayat: Harto, Sebenarnya Aku Ini Mau Kamu Apakan Sih?


Masa-masa akhir Sukarno setelah dua peristiwa itu begitu miris. Sang proklamator, sang penyambung lidah rakyat, Putra Sang Fajar yang mulai meredup, di mana Sukarno sejak Mei 1967 tak lagi diizinkan memakai gelar Kepala Negara atau status Presiden.
Di kala itu, Sukarno juga tengah intensif jadi obyek interogasi petugas Teperpu dan sudah “terasing” di Wisma Yaso (kini Museum Satria Mandala, Jakarta). Mendengar Bung Karno bertanya dengan miris seperti itu, segera Soeharto menurunkan perintah untuk tak lagi menginterogasi Sukarno.
Di masa pengasingannya itu pun, Sukarno tak diperbolehkan dijenguk siapapun. Hanya ada salah satu putrinya, Rahmawati dan dokter Kepresidenan Prof. Dr. Mahar Mardjono di Wisma Yaso yang juga mulai suram, mulai berantakan halamannya lantaran tukang kebun pun dilarang lagi untuk datang.
Sebelum di Wisma Yaso, Sukarno sudah mulai terasing di Istana Bogor sejak menandatangani Supersemar 1966. Dalam kenangan salah satu wartawan istana dari Harian Pelopor Baru, Toeti Kakialatu dalam buku ’34 Wartawan Istana Bicara Tentang Pak Harto’, dijelaskan saat itu wartawan sudah tak boleh lagi bertemu Sukarno.
“Pintu Istana Merdeka dan Istana Bogor tertutup bagi semua wartawan. Sementara itu demonstrasi gencar terjadi menuntut Tritura (Tri Tuntutan Rakyat: Bubarkan PKI, Bubarkan Kabinet Dwikora dan Turunkan harga-harga makanan),” tulis Toeti.
“Beliau juga tak diperbolehkan berdiam di Istana Bogor, melainkan di kediaman pribadi di Jalan Batu Tulis, Bogor yang diberi nama ‘Hing Puri Bima Sakti’. Beliau nampak kesepian. Hanya beberapa petugas Teperpu yang selalu ingin mengorek keterlibatan Bung Karno atas peristiwa kudeta 1965,” tambahnya.
Lantaran terus-menerus diinterogasi dan tanpa teman berarti di sisinya, kesehatan Bung Karno pun menurun. Rahmawati kemudian menulis surat untuk Soeharto agar Bung Karno dipindah lagi ke Jakarta. Itulah akhirnya Bung Karno mendiami Wisma Yaso hingga akhir hayatnya.
Padahal sebelum munculnya Supersemar yang mengharuskan Sukarno menyerahkan mandat pada Soeharto, setidaknya Sukarno masih bisa menikmati hari-hari luang. Pasca-Soeharto jadi Pejabat Presiden, Toeti mengaku bersama beberapa rekan wartawan lainnya masih sempat ‘ngemong’ Bung Karno.
“Kami keliling kota dengan bus mini ke beberapa toko anti, ke Stadion Senayan, melihat dari jauh pembagunan Gedung MPR/DPR. Saat itu juga Bung Karno sangat ingin makan sate di Priok. Tapi tak diizinkan bagian keamanan,” imbuh Toeti.
“Acara lain adalah nonton film di studio kecil yang waktu itu letaknya di bagian belakang Istana Negara. Biasanya kami nonton film Jepang. Bung Karno senang sekali nonton ‘Zato Ichi’, cerita tentang samurai pemberani bermata satu,” lanjutnya mengenang Bung Karno.
Dalam kenangannya, Sukarno memang dikenal sosok yang teguh memegang prinsip yang dipercayainya, kendati rakyat sudah tak lagi menghendaki. Seperti konsep Nasakom (Nasionalisme, Agama dan Komunisme) contohnya.
Peristiwa G30S tak ayal membuahkan gejolak besar dalam politik Indonesia. Soeharto sedianya sudah lebih dari 10 kali membujuk Sukarno untuk memenuhi Tritura yang di antaraya, membubarkan PKI. Tapi itu artinya menghapus pula konsep Nasakom yang dipegangnya selama rezim demokrasi terpimpin.
(sumber: okezone.com)

Post a Comment

Previous Post Next Post