Kini, setiap tanggal 20 Mei, yang diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional, beberapa kalangan masyarakat mengadakan perayaan untuk mengingat dan memaknainya. Ada yang mengadakan upacara bendera merah-putih, mengadakan pertunjukan seni dan lain-lain.
Jauh sebelum itu, pada 20 Mei 1948, presiden pertama Republik Indonesia, Sukarno dengan sengaja menjadikan lahirnya organisasi Boedi Oetomo sebagi Hari Bangkitnya Nasionalisme di Indonesia. Hal itu tak lepas dari situasi politik Indonesia yang kian memanas.
Pada saat Kabinet Hatta terjadi perpecahan antar golongan dan ideologi. Selain itu Indonesia dalam masa revolusi mempertahankan diri dari Belanda yang ingin kembali berkuasa di Indonesia.
Ada beberapa peristiwa yang terjadi pada 1948. Kabinet Amir Syarifuddin jatuh dan naiknya Mohammad Hatta sebagai perdana menteri. Terjadi perseteruan di antara keduanya yang menyeret sejumlah partai seperti PNI, Masyumi dan PSI.
Ketegangan juga muncul di kalangan TNI. Saling culik terjadi antar satuan. Saat itu pasukan Siliwangi dari Jawa Barat terpaksa hijrah ke Solo, karena menuruti perjanjian Renville dan Belanda menguasai kembali Jawa Barat.
Maka Sukarno akhirnya menetapkan lahirnya Boedi Oetomo pada tanggal 20 Mei 1908 diangkat sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Dengan harapan partai politik yang sedang bertengkar dan rakyat Indonesia lewat momen ini dapat mengumpulkan kekuatan bersatu melawan Belanda.
Untuk memperingati itu, digelar acara dengan merangkul partai dari berbagai golongan. Semisal dalam situasi mencekam 1948 di Solo banyak pasukan Hijrah dari Siliwangi mengadakan pawai bersama, pertandingan dan ziarah bersama. Sukarno berharap penetapan Hari Kebangkitan Nasional bisa mencegah perpecahan.
Namun, setelah beberapa tahun hari besar itu diperingati ada sejumlah kritikan bermunculan dari sejumlah sejarawan. Mereka mempertanyakan kenapa kelahiran Boedi Oetomo diperingati sebagai hari bangkitnya kebangsaan?
Organisasi Boedi Oetomo yang didirikan oleh Dr Soetomo dan para mahasiswa Stovia jangkauannya hanya terbatas pada kelas menengah seperti cendekiawan, priyayi ningrat dan priyayi profesional dari Jawa dan Madura. Mereka berkomunikasi menggunakan bahasa Belanda karena latar belakang pendidikan yang diperoleh dari penjajah.
“Boedi Oetomo lebih dianggap sebagai organisasi kebangkitan priyayi Jawa ketimbang kebangkitan Nasional. Penempatan Hari Kebangkitan Nasional pada 1948 dilandasi kepentingan politik,” kata Sejarawan asal UI, Hilmar Farid dalam sebuah diskusi.
Organisasi ini menjalankan kegiatan di bidang sosial, ekonomi dan kebudayaan tetapi tidak politik. Pergerakan Boedi Oetomo sengaja menjauhkan dari aktifitas politik yang dikhawatirkan menganggu kepentingan kolonial Belanda.
Perlawanan Boedi Oetomo terkesan lemah dan kooperatif kepada Belanda. Terlebih, para anggota Boedi Oetomo adalah pegawai negeri yang digaji Belanda.
Tujuan organisasi untuk menggalang kerjasama untuk memajukan tanah dan bangsa Jawa dan Madura secara harmonis. Jangkauan, golongan dan tujuan yang terbatas ini membuat Boedi Oetomo menjadi oraganisasi bersifat kedaerahan serta hanya mementingkan kemajuan priyayi Jawa.
(sumber: merdeka.com)