Kedatangan seorang Maha Rsi Markandeya abad ke-7 memberikan pengaruh besar pada kehidupan penduduk Bali. Beliau adalah seorang pertapa sakti di Gunung Raung, Jawa Timur.
Suatu hari beliau mendapat bisikan gaib dari Tuhan untuk bertempat tinggal di sebelah timur Pulau Dawa (pulau Jawa sekarang). Dawa artinya panjang, karena memang dulunya pulau Jawa dan Bali menjadi satu daratan.
Dengan diikuti oleh 800 pengikutnya, beliau mulai bergerak ke arah timur yang masih berupa hutan belantara. Perjalanan beliau hanya sampai di daerah Jembrana sekarang Bali Barat karena pengikut beliau tewas dimakan harimau dan ular-ular besar penghuni hutan. Akhirnya beliau memutuskan kembali ke Gunung Raung untuk bersemedi dan mencari pengikut baru.
Dengan semangat dan tekad yang kuat, perjalanan beliau yang kedua sukses mencapai tujuan di kaki Gunung Agung (Bali Timur) yang sekarang disebut Besakih.
Sebelum pengikutnya merabas hutan, beliau melakukan ritual menanam Panca Dhatu berupa lima jenis logam yang dipercayai mampu menolak bahaya. Perabasan hutan sukses, tanah-tanah yang ada beliau bagi-bagi kepada pengikutnya untuk dijadikan sawah, tegalan, rumah, dan tempat suci yang dinamai Wasukih (Besakih).
Di sinilah beliau mengajarkan agama kepada pengiringnya yang menyebut Tuhan dengan nama Sanghyang Widhi melalui penyembahan Surya (surya sewana) tiga kali dalam sehari, menggunakan alat-alat bebali yaitu sesajen yang terdiri atas tiga unsur benda: air, api, dan bunga harum.
Ajaran agamanya disebut agama Bali. Lambat laun para pengikutnya mulai menyebar ke daerah sekitar, sehingga daerah ini dinamai daerah Bali, daerah yang segala sesuatunya mempergunakan bebali (sesajen).
Bisa disimpulkan bahwa nama Bali berasal dari kata bebali yang artinya sesajen.
Ditegaskan lagi dalam kitab Ramayana yg disusun 1200SM: "Ada sebuah tempat di timur Dawa Dwipa yang bernama Vali Dwipa, di mana di sana Tuhan diberikan kesenangan oleh penduduknya berupa bebali (sesajen)."
Vali Dwipa adalah sebutan untuk Pulau Vali yang kemudian berubah fonem menjadi Pulau Bali atau pulau sesajen. Tidak salah memang interpretasi ini melihat orang Bali memang tidak bisa lepas dari sesajen dalam menjalankan kehidupan sehari-harinya.
Tags
Artikel